Manusia serigala usia 19 tahun, Aarya, tidak pernah merasa dirinya adalah wanita romantis yang seputus asa ini hingga laki-laki yang dicintainya meninggalkannya demi jodohnya. Setelah dirundung patah hati, dia menghadiri Pesta Lycan dengan ogah-ogahan, di mana dia bertemu Raja Lycan Dimitri Adonis—yang akhirnya menumbuhkan benih-benih cinta pada pandangan pertama. Kini pasangan yang tengah dimabuk asmara ini harus menghadapi dunia kerajaan yang penuh dengan intrik berbahaya, sembari menghadapi mantan-mantan kekasih yang dicampakkan, bawahan yang cemburu, dan banyak lagi.
Ratu Lycan – Laila

Aplikasi ini telah menerima pengakuan dari BBC, Forbes dan The Guardian karena menjadi aplikasi terpanas untuk novel baru yang eksplosif.

Baca selengkapnya di aplikasi Galatea!
1
Manusia serigala usia 19 tahun, Aarya, tidak pernah merasa dirinya adalah wanita romantis yang seputus asa ini hingga laki-laki yang dicintainya meninggalkannya demi jodohnya. Setelah dirundung patah hati, dia menghadiri Pesta Lycan dengan ogah-ogahan, di mana dia bertemu Raja Lycan Dimitri Adonis—yang akhirnya menumbuhkan benih-benih cinta pada pandangan pertama. Kini pasangan yang tengah dimabuk asmara ini harus menghadapi dunia kerajaan yang penuh dengan intrik berbahaya, sembari menghadapi mantan-mantan kekasih yang dicampakkan, bawahan yang cemburu, dan banyak lagi.
Rating Usia: 18+
Pengarang Asli: Laila
“Dia menciumku dalam-dalam dan aku langsung tahu bahwa kami akan baik-baik saja.” Sambil menutup buku yang telah selesai kubaca, aku menghela napas.
Biasanya aku bukanlah tipe gadis yang terobsesi dengan cerita romantis, tapi kejadian minggu lalu telah mengubahnya.
Yang kulakukan hanyalah membaca kisah romantis yang tidak realistis ini dan tak pelak membayangkan diriku sebagai pemeran utama wanitanya. Lalu siapakah pemeran utama prianya, mungkin kamu jadi penasaran?
Orang sama yang mencuri hatiku empat tahun lalu, Hunter Hall.
“Aarya, kamu ingin ikut aku berbelanja?” Tak salah lagi, itu teriakan ibuku yang tengah menaiki tangga.
“Tidak, Bu,” sahutku membalasnya.
Aarya Bedi, itu namaku. Usiaku 19 tahun, dan jika kamu bisa mengenali namaku, aku orang India, dan ya, aku manusia serigala.
Saat ini, aku tinggal bersama orang tuaku, Sid dan Tara; mereka telah kawin/menikah selama 27 tahun. Kakak laki-lakiku, Sai, berusia 24 tahun dan jodohnya, Zoya, juga berusia 24 tahun.
Kawanan kami disebut Bulan Hitam; aku mencintai komunitas kami. Semua orang saling mengenal dan tumbuh di sini dengan luar biasa. Saat ini, aku sedang menimba ilmu untuk menjadi dokter kawanan; itulah yang selalu ingin kulakukan.
Aku ingat sewaktu sering diejek ketika mengatakan aku ingin menjadi dokter kawanan. Tentu saja warna kulit dan stereotipku adalah penghalangnya.
Bagi banyak orang, itu adalah karier sempurna sebagai orang India, dan kami semua memang dokter, pengacara, atau akuntan. Dulu aku tidak menyukainya, tapi kini aku bisa menerimanya.
Pikiranku berkelana ke Hunter Hall; dia adalah Beta kami. Dia dan alpha kami, Carter Ward, dikirim untuk menjalani pelatihan empat tahun lalu, dan mereka kembali hari ini.
Aku masih ingat hari sebelum mereka pergi. Hunter mendatangiku dengan mata birunya yang indah dan memintaku menunggunya. Aku baru berusia 15 tahun kala itu, tetapi aku akan menunggunya kembali.
Bagaimanapun, aku benar-benar jatuh cinta kepada Hunter. Dia ciuman pertamaku; aku masih ingat rasa kecupan bibirnya di bibirku.
Kebanyakan serigala menemukan jodohnya pada usia 18 tahun, dan karena Hunter tidak ada di sini ketika usiaku 18 tahun dan aku tidak menemukan jodohku, aku yakin Hunter-lah jodohku.
Sambil mengerang, aku menggeliat dari tempat tidurku dan berjalan ke rak bukuku. Aku harus memikirkan hal lain, kalau tidak aku bisa gila. Rak bukuku penuh dengan aneka buku. Bisa dibilang aku ini kutu buku.
Jari-jariku menyentuh sampul banyak buku hingga berhenti di satu buku. Aku mengambilnya dan menghela napas. Ini adalah sejarah manusia, manusia serigala, dan lycan. Ini bukan sekadar kisah belaka, tapi fakta murni.
Namun, aku tahu jika aku membaca cerita romantis lainnya, pikiran irasionalku akan selalu mengganggu tidurku.
Aku merasa nyaman di tempat tidur dan mulai membaca. Manusia, manusia serigala, dan lycan semuanya hidup dengan damai, dan kita telah berdampingan selama ribuan tahun hingga kini.
Bukan rahasia lagi bahwa lycan menguasai kami semua; mereka jauh lebih kuat dan perkasa ketimbangi kami manusia serigala.
Keluarga kerajaan kami seluruhnya lycan. Aku selalu menganggap mereka sangat menakutkan; aura mereka seperti itu.
Setelah menelusuri sejarah tentang bagaimana kita semua bersatu untuk pertempuran jaya, aku menemukan bab yang selalu membuatku penasaran.
Jodoh lycan. Mereka dianggap sangat berharga bagi lycan. Disebutkan bahwa jika lycan kehilangan jodohnya, mereka bisa mengamuk dan membunuh ribuan orang serta menghancurkan kota.
Ada pasukan khusus yang dilatih untuk menghadapi situasi seperti itu. Lycan hanya dapat memiliki satu jodoh. Mereka tidak dapat menandai dan kawin dengan orang lain jika jodoh mereka mati, kita manusia serigala bisa.
Bagiku, itu sangat menarik. Jika manusia serigala kehilangan jodohnya, kami memiliki pilihan untuk menemukan kebahagiaan dengan menandai dan mengawini orang lain, tetapi lycan tidak bisa melakukannya.
Itulah alasan jodoh lycan sangat berharga, dan itu juga membuat lycan sangat setia. Di bagian selanjutnya, aku menemukan bagian tentang penuaan. Lycan berhenti menua pada usia 20 tahun.
Banyak yang masih merayakan ulang tahun mereka, tetapi sejatinya mereka masih berusia 20 tahun; mereka dapat hidup hingga ratusan tahun.
Sebelum raja yang saat ini, raja kita sebelumnya memerintah selama 50 tahun sebelum menyerahkan kepemimpinan kepada putranya. Dikisahkan bahwa sang raja pergi bersama jodohnya, dan tidak ada yang mendengar kabarnya lagi sejak saat itu.
Kami manusia serigala juga berumur panjang, tapi tidak sepanjang usia lycan; kami berangsur-angsur menua.
Dikisahkan pula bahwa jika jodoh lycan ternyata manusia atau manusia serigala, tubuh mereka menyesuaikan diri menjadi lycan. Mereka menjadi lebih kuat dan lebih perkasa sehingga dianggap sebagai lycan.
Bagian itu yang selalu membuatku takut, tapi aku tahu bahwa itu benar. Bagaimanapun, sahabatku sekarang adalah seorang lycan.
Meskipun aku tidak pernah mengakuinya kepadanya, aku selalu merasa terintimidasi olehnya. Dia berubah, dan itu membuatku takut.
Mengingat ini bukan buku baru, tidak ada kisah mengenai raja baru kita, Adonis Dimitri Grey. Semua orang memanggilnya Dimitri, dan hanya orang terdekat saja yang boleh memanggilnya Adonis.
Raja kita aneh; ia mengambil alih takhta tanpa jodoh di sisinya, itu tidak pernah terjadi sebelumnya. Semua raja lycan sebelumnya telah menemukan jodoh mereka sebelum menjadi raja.
Dia juga membenci gambar dirinya; hanya ada tiga gambar. Satu ketika lahir, satu lagi ketika saudara-saudaranya lahir, dan yang terakhir ketika dia menduduki takhta.
Aku hanyalah anak kecil ketika dia menduduki takhta; usiaku 10 tahun kala itu. Tidak ada yang benar-benar tahu usia raja yang sebenarnya, dan aku curiga dia pun mungkin tidak memberi tahu siapa pun.
Nada dering yang tak asing terdengar dari ponselku yang tengah kuisi daya, dan aku bergegas mengambilnya. Melihat nama yang muncul di layar, aku tersenyum dan dengan cepat menjawab.
“Sophia Butler, lama tidak ngobrol,” godaku.
“Aarya Bedi, jangan meledek. Kamu kan tahu aku lagi sibuk,” rengek sahabatku, Sophia.
“Memang kamu benar-benar sibuk? Jangan-jangan Luke yang bikin kamu terjerat?” Aku terus menggoda.
Sophia tertawa, “Kamu menyebalkan. Kamu tahu aku lagi sibuk. Lagian, Pesta Lycan sebentar lagi kan! Apa kamu enggak bersemangat?”
Ah ya, Pesta Lycan. Cara kerajaan memastikan semua kawanan bisa melihat istana dan bertemu raja. Aku membencinya.
Ini adalah kali kedua kawanan kami terpilih untuk hadir, tetapi baru kali ini aku benar-benar ikut. Aku selalu benci acara dansa, pesta dansa sekolah, resepsi pernikahan. Entah mengapa, padahal aku suka dandan.
Alasanku membenci Pesta Lycan, meskipun belum pernah hadir, adalah karena aku merasa diintimidasi oleh para lycan.
Saat pertama kali kami dijemput, aku terserang flu parah. Kakek-nenekku terbang dari Kanada, tempat mereka tinggal, untuk datang menjagaku sementara keluargaku yang lain pergi.
Begitulah cara sahabatku bertemu jodoh lycan-nya, Luke.
Sahabat yang kusebutkan sebelumnya. Sophia bertemu Luke di pesta dansa empat tahun lalu, dan sejak itu, dia banyak berubah.
Jangan salah paham, aku sangat senang ketika dia menelepon dan memberi kabar, bahkan jika aku sedang sakit saat itu. Meskipun hati kecilku tahu aku akan kehilangan sahabatku.
Bagaimanapun, dia adalah seorang lycan sekarang, dan mereka memiliki peran dan tanggung jawab yang sangat penting. Jodohnya, Luke Martin, adalah kepala para prajurit, jadi Sophia selalu sibuk.
Sophia sangat suka berorganisasi, dia bertanggung jawab mengatur acara-acara penting, dan Pesta Lycan adalah acara paling penting yang pernah diselenggarakan Sophia.
“Oh ya? Aku tak sabar lagi,”jawabku dengan sinis.
“Yah, bagusnya, kamu bisa ketemu aku.” Sophia mencoba menghiburku.
“Itu benar. Kita enggak ketemu sudah setahun lamanya. Enggak ketemu sejak kamu pulang ke rumah untuk menengok keponakan kecilmu.” Aku menghela napas.
“Aku juga kangen sama kamu. Semoga aku bisa pulang lebih sering.” Sophia juga menghela napas.
“Kamu sibuk, aku mengerti. Syukurlah ada teknologi ini. Kita selalu bisa mengobrol meskipun tidak bertemu,” kataku.
“Itu benar sekali. Oh, Aarya! Aku cuma enggak sabar untuk ketemu kamu! Kamu berangkat besok, kan?” Sophia bertanya.
“Ya, besok. Pagi-pagi sekali.” Aku menghela napas. “Berhentilah menghela napas! Cobalah sedikit bersemangat,” keluh Sophia.
“Oke, maaf. Aku akan coba.” Aku tertawa.
“Yah, aku harus pergi sekarang. Panggilan tugas, tapi aku tidak sabar untuk ketemu kamu besok,” jawab Sophia.
“Sampai jumpa besok,” sahutku, menutup telepon.
Tidak lama kemudian ibuku masuk ke kamarku dengan Zoya, membawakan tas. Aku tahu apa isinya: pakaianku untuk pesta.
“Aarya, kamu harus berkemas. Kamu tahu kita berangkat lebih awal besok,” kata Ibu, menggelengkan kepalanya ke arahku.
Sembari mengerang, Zoya tertawa dan berkata, “Aku akan membantunya berkemas.”
Ibu mengangguk dan pergi. Zoya menyeretku turun dari tempat tidur dan membantuku berkemas. Bayang-bayang Hunter menghantui pikiranku.
Setelah kami selesai, aku bertanya kepada Zoya, “Jadi, ada berita kapan Hunter dan Carter akan pulang?”
“Kenapa? Enggak sabar, kan?” Zoya tertawa.
“Tidak, aku cuma ingin tahu, itu saja.” Aku menggerakkan mataku.
Zoya adalah satu-satunya di kawananku yang tahu bahwa Hunter pernah menciumku dan aku mencintainya. Semua orang hanya mengira aku menaksir dia.
Aku tidak ingin orang tuaku tahu, dan terutama kakak laki-lakiku. Ia tidak akan menerima berita itu dengan baik, tetapi aku tahu aku bisa memercayai Zoya.
“Yah, mereka pasti segera datang. Kamu gugup?” tanya Zoya.
“Sedikit. Aku enggak sabar untuk ketemu dengannya,” aku mengakui.
Zoya dan aku duduk di tempat tidurku dan mengobrol sebentar. Aku senang bisa terbuka kepada Zoya; pada dasarnya dia seperti saudaraku.
Sai berkata ia senang bila melihat adiknya memiliki hubungan baik dengan jodohnya. Aku hanya beruntung Zoya sangat keren! Setelah Sophia pergi, aku merasa kesepian, tetapi Zoya selalu ada untukku.
Tak lama berselang, pendengaran manusia serigalaku menangkap suara mobil yang datang di jalan setapak. Aku melompat, jantungku berdegup kencang lantaran gugup.
Waktunya kini tiba. Aku bisa melihat Hunter setelah empat tahun.
Zoya memegang tanganku saat kami berjalan turun bersama. Apa aku kelihatan baik-baik saja? Aku mengusap rambutku, dan Zoya menggelengkan kepalanya.
Tarik napas dalam-dalam, Aarya, kamu bisa. Tidak apa-apa. Untungnya, rumah kami berada di dekat rumah kawanan, tempat alpha dan beta tinggal bersama keluarga mereka.
Sai menunggu kami di lantai bawah dan memegang tangan Zoya. “Ayo kita menemui alpha dan beta kita.”
Zoya tidak pernah melepaskan tanganku saat kami berjalan tidak jauh ke tempat mobil itu diparkir. Jantungku berdetak sangat cepat, aku hanya ingin melihat Hunter.
Kami berjalan ke arah mobil itu, dan serigalaku gelisah. Apakah itu pertanda yang selama ini kucari? Jodohku ada di sini?
Mimpiku menjadi kenyataan. Hunter akan keluar dari mobil itu, dan ia akan tahu bahwa kita berjodoh. Mendengar pintu mobil terbuka, kepalaku tersentak mendengarnya.
Pertama, alpha kami, Carter Ward, keluar. Dia tidak berubah sedikit pun. Yah, kecuali lebih berotot. Mata hijaunya berbinar penuh kenakalan dan kebahagiaan. Yap, Carter masih sama.
Ia menyibakkan sebagian rambut pirangnya dari wajahnya sebelum memeluk orang tua dan adik laki-lakinya. Aku melihat saat dia menyapa semua orang sebelum berhenti padaku.
Aku beruntung calon alpha ingin menjadi temanku. Selama sekolah, Carter selalu ada untukku, dan aku belum bisa membalasnya.
Aku menganggapnya sebagai salah satu teman terbaik, bersama dengan Sophia.
Senyum merebak dari wajahnya, dan aku pun membalas senyuman itu. Tak lama kemudian, Carter menyongsongku dan memutar tubuhku, hingga orang-orang tertawa.
“Aarya! Oh, aku betul-betul rindu sama kamu! Kamu banyak berubah. Sudah mulai puber, ya?” Carter menggoda.
Aku melingkarkan bola mataku dan memeluknya. “Senang bisa bertemu dengan kamu juga, Carter. Kamu tidak berubah sama sekali. Jangan khawatir, terkadang orang terlambat,” candaku, dan membuat orang tua Carter tertawa.
Carter tersenyum dan memelukku lagi. “Aku benar-benar rindu kamu, Senyum.”
“Aku juga rindu kamu,” aku menyengir mendengar nama panggilan Carter untukku, yang tidak dilupakannya.
Mendengar pintu mobil terbuka, aku melirik melewati bahu Carter untuk melihat sosok tubuh yang kukenal keluar dari mobil. Punggungnya menghadapku, sehingga dia tak tahu aku berdiri di belakangnya.
Aku ingin melihat mata birunya yang penuh cinta dan kekaguman untukku.
Carter menyingkir dan berdiri di sampingku, yang menurutku agak aneh. Bukankah dia harus terus menyapa semua orang?
Mungkin dia ingin menyaksikan saat Hunter dan aku saling menyapa satu sama lain sebagai teman. Ya, memang harus begitu.
Serigalaku terus gelisah, memicu pikiranku bahwa Hunter memang jodohku. Aku melihat rambut cokelat mudanya tertiup angin. Punggungnya masih membelakangiku; aku hanya ingin ia berbalik.
Apa yang ditunggunya?
Tepat ketika aku mengiranya akan berbalik, dan momen indah yang kuimpikan akan terjadi, Hunter tiba-tiba kembali ke mobil dan mengulurkan tangannya.
Jantungku seketika terhenti tatkala melihat tangan indah menyambut tangan Hunter. Senyuman serta-merta hilang dari wajahku dan berubah menjadi ekspresi kekecewaan.
Baca selengkapnya di aplikasi Galatea!
2
Carter memegang tanganku, dan sekarang aku menyadari mengapa dia berdiri di sisiku. Dia tahu tentang Hunter dan aku berciuman, dia tahu tentang perasaanku kepada Hunter, dan dia tahu aku akan hancur ketika menyaksikannya.
Mataku tidak lepas dari punggung Hunter saat dia membantu seorang gadis cantik keluar dari mobil. Mereka berdua memang pasangan serasi. Hatiku terasa seperti hancur berkeping-keping.
Naluri serigalaku berkecamuk bukan karena Hunter akan menjadi jodohku, tetapi karena Hunter punyajodoh lain. Ada perbedaan besar.
Air mataku mulai menetes, namun kucoba menahannya. Hunter tak tahu betapa berartinya dirinya bagiku; aku harus kuat.
Aku memalingkan wajahku ke arah Carter, yang tampak merasa bersalah. Aku tersenyum sedih kepadanya dan menggelengkan kepalaku. Itu bukan salahnya, dan bukan salah Hunter, sungguh; kamu tidak bisa memilih jodohmu.
Namun, sekali ini saja, aku berharap andaikan aku bisa memilih jodohku. Melihat orang yang kamu rindukan mengajak jodohnya berkeliling dan memperkenalkannya serasa bagaikan merobek-robek jantung.
Sia-sialah waktu empat tahun, berdiam menantinya bagaikan orang bodoh dan dungu.
Hunter berjalan bersama pasangannya. Senyum di wajahnya adalah kepiluan lain bagiku.
Aku berharap senyum itu untukku, tetapi ternyata hanya untuk jodohnya, dan itu bukan aku.
Aku melepaskan tangan Carter dan menyeka telapak tanganku yang berkeringat pada celana jinsku. Hunter memperkenalkan pasangannya kepada Sai dan Zoya; dan selanjutnya kepadaku. Aku tidak bisa membiarkannya melihat betapa kesalnya aku.
Sebaliknya, aku akan tampak bahagia untuknya, seperti orang lain. Aku berharap bisa melewati momen perkenalan ini tanpa air mata yang menetes.
Aku menarik napas dalam-dalam saat Hunter mendekatiku. Tiba-tiba kenangan kita empat tahun lalu melintas di depan mataku. Senyumnya yang indah, ciuman yang luar biasa, janji-janjinya.
Kupejamkan mataku, aku tersadar dari lamunanku. Saat aku membukanya, Hunter tersenyum kepadaku, tidak seperti biasanya. Hanya senyum ramah, seperti yang dia berikan kepada orang lain.
“Aarya, aku ingin kau berkenalan dengan jodohku, Lana Reed.” Hunter memberi isyarat kepada pasangannya.
“Senang bertemu denganmu, Lana. Semoga berhasil menjinakkan yang ini,” candaku.
Lana tertawa dan berkata, “Aku menyukaimu! Kamu lucu. Semoga kita bisa lebih sering mengobrol bersama. Aku butuh lebih banyak teman wanita.”
Getir mendengar kata-katanya; dia sangat baik. Aku menjadi sulit membencinya.
“Tentu saja. Aku ingin sekali bergaul denganmu.” Aku tersenyum. Sialan, aku terlalu sopan. Kenapa aku tidak mengatakan kepadanya bahwa aku tidak ingin bergaul dengannya?
Lana balas tersenyum, dan mereka berlanjut jalan. Carter telah pergi, dan aku dibiarkannya berdiri diam bersama pikiranku.
Zoya dengan lembut menyentuh bahuku, membuatku terkejut. Aku menatapnya dan melihat kesedihan di matanya. Aku menghela napas dan menggelengkan kepalaku.
Aku tidak ingin berbicara, dan aku membutuhkan simpati. Aku hanya ingin duduk di kamarku dan menangis, tapi aku belum bisa meninggalkan tempat itu.
Alih-alih mataku mengikuti Hunter dan Lana, aku fokus pada Carter, yang saat ini sedang berbicara dengan anggota dewan.
Setelah dia selesai berbicara dengan anggota dewan, dia berbalik dan menatapku, mungkin merasakan tatapanku yang mengarah kepadanya.
Dia menghampiriku dan berbisik, “Pulanglah, Aarya. Aku mengizinkanmu. Jangan berdiri di sini saat kamu terluka. Kamu harus pulang.”
Aku menatapnya dengan air mata berlinang dan berbisik lirih, “Mengapa kamu tidak memberitahuku?”
Carter tampak gundah. Ia menyeka air mataku yang menetes.
“Oh, Senyum. Aku tidak tahu bagaimana. Aku tidak ingin memberitahumu lewat telepon atau surat. Aku ingin memberi tahu langsung, tetapi aku tidak punya kesempatan untuk itu. Aku minta maaf.”
Sambil mendengus, aku menghela napas, “Itu bukan salahmu. Aku harus melanjutkan hidup, tapi juga perlu waktu untuk menerimanya.”
Carter menganggukkan kepalanya, mengerti apa yang kukatakan. Dia mencium keningku dan aku berbalik, kembali ke rumahku.
Aku mendengar Carter memberi tahu keluargaku dan semua orang bahwa dia membiarkanku pulang karena aku lelah. Sesampaiku di rumah, aku bergegas ke atas dan berganti pakaian yang nyaman.
Aku biasa memakai kaus Hunter setiap malam saat tidur, tapi aku mengeluarkannya dari lemari dan membuangnya langsung ke tempat sampah. Aku seharusnya tidak memakainya lagi; aku tidak punya hak atas Hunter ketika dia telah menemukan jodohnya.
Ya, jodohnya. Hatiku bahkan lebih hancur, jika belum hancur total.
Kuhempaskan badanku ke atas tempat tidur, kubiarkan air mataku jatuh berderai hingga membasahi bantalku, dan kubiarkan diriku menangis. Patah hati ini terlalu berat untukku.
Sekian lama aku mendambakan jodoh, mendambakan apa yang dimiliki orang tuaku, kini aku tak lagi menginginkan jodoh. Aku tidak ingin seseorang mencintaiku; aku hancur. Aku tidak ingin merasakan sakitnya memiliki jodoh.
Jodoh seharusnya menyenangkan hati, dan dulu aku percaya dengan sepenuh hati, tapi kini tidak lagi. Jodoh menyebabkan rasa sakit dan kesedihan. Siapa yang menginginkan itu?
Air mataku terus berlinang ketika keluargaku pulang. Terdengar ibuku berhenti di luar pintu kamarku, dan semoga dia tidak akan masuk.
Aku menahan napas untuk menghentikan isak tangisku. Jika Ibu mendengarku menangis, itu akan mendorongnya masuk ke kamarku.
“Tara, biarkan dia tidur. Besok kita berangkat lebih awal,” suara ayahku terdengar pelan. Aku mendengar langkah kaki menghilang, dan aku menatap langit-langit kamarku. Ayah benar, kami akan memulai aktivitas lebih awal besok. Aku perlu istirahat.
Kupejamkan mataku, kubiarkan diriku tenggelam di alam mimpiku.…
**
Dengungan keras membuatku mengerang saat aku berguling dan mematikan alarm ponselku. Hari ini adalah hari Pesta Lycan.
Aku takut karena tahu aku akan lelah. Semoga aku bisa tertidur di dalam mobil.
Kupaksakan diri untuk bangun dari tempat tidur, lalu mengenakan pakaian dan merasa ngeri ketika melihat kantong di bawah mataku. Jelas tadi malam bukanlah malam yang membuatku bisa tidur nyenyak.
Sambil menghela napas, aku bersiap-siap dan merias wajah agar terlihat sedikit lebih hidup.
Ketika aku turun, orang tuaku tengah menikmati hidangan teh, dan Sai dan Zoya sedang sarapan.
Tiba-tiba empat pasang mata itu menoleh ke arahku, dan aku mendapati kesamaan di balik tatapan mereka. Simpati.
Aku tidak butuh simpati mereka. Yang benar-benar aku inginkan hanyalah berbaring di tempat tidur dan menangis sepanjang hari, tetapi aku tahu itu tidak akan terjadi. Aku harus membuktikan kepada Hunter dan diriku sendiri bahwa aku kuat.
Ayahku memberiku secangkir kopi, dan aku tersenyum.
Mom dan Zoya menceritakan tentang betapa menakjubkannya pesta itu karena ini adalah pertama kalinya bagiku. Aku bersyukur atas selingan itu.
Setelah kami sarapan, kini saatnya untuk berangkat. Aku masuk ke dalam mobil, segera menyetel musik dari ponsel dan menyandarkan kepala ke kaca yang dingin.
Ayah dan Ibu membiarkanku sendirian saat musik itu membawaku ke duniaku. Tak lama berselang, aku pun tertidur, cukup membuat tubuhku bisa beristirahat.
“Aarya, bangun.” Ibuku dengan lembut mengguncangku.
Aku mengusap wajah dan mataku dan menyadari kami berada di SPBU. Kurentangkan tanganku, aku pun turun dari mobil. Zoya dan Sai turun dari mobil mereka dan melambai kepadaku.
“Ayo carilah sesuatu untuk dimakan dan pastikan kamu pergi ke toilet. Kita masih punya waktu dua jam lagi,” kata Ibu sambil menyodorkan uang tunai.
Sambil menghela napas, aku berjalan ke toko untuk membeli makanan. Orang-orang memalingkan wajahnya saat melihat wajahku cemberut.
“Senyum. Atau haruskah aku memanggilmu Cemberut? Kenapa wajahmu bersedih?” Carter mengacak-acak rambutku.
“Uhh, serius? Memangnya rambutku kenapa?” Aku berontak, mendorong Carter menjauh dan merapikan rambutku.
“Sudah empat tahun aku tak bisa mengacak rambutmu, dan reaksi kamu sangat luar biasa, seperti biasanya.” Carter tertawa.
Mataku berkelana ke sekitar toko tetapi terhenti tatkala aku mendengar tawa bahagia yang memuakkan dari Lana. Oh bagus, hal terakhir yang aku inginkan adalah melihat Lana dan Hunter.
“Ayolah, Senyum. Cepat cari makanan,” kata Carter lembut, membawaku ke arah lain toko.
Aku mengemas sebatang cokelat dan sebotol air. Saat aku berdiri di antrean, aku mendengar tawa itu lagi. Mereka berada di belakangku.
Tarik napas dalam-dalam, Aarya, napas dalam-dalam. Yang perlu kamu lakukan hanyalah membayar dan pergi. Jangan memperhatikan mereka, teriakku kepada diri sendiri.
Aku meletakkan barang-barangku di konter dan mataku berkelana saat aku mendengar Lana tertawa lagi. Apa yang Hunter katakan kepadanya? Jangan pedulikan itu, aku tidak ingin tahu.
Setelah membayar, aku bergegas keluar dari toko, aku membutuhkan udara segar. Aku ingin menunggu Carter, tetapi aku juga tidak ingin mengambil risiko bertemu dengan Hunter dan Lana.
Ayo putuskan. Jelas aku memilih opsi terbaik, yaitu pergi ke mobil dan menghindari melihat Hunter dan Lana.
Untungnya, Ayah sudah ada di dalam mobil. Dia tersenyum saat aku naik ke kursi belakang. Aku menatap ke luar jendela, dan melihat Hunter dan Lana.
Dengan memandangnya saja, mereka terlihat seperti pasangan mesra yang menjijikkan. Selalu menunjukkan kemesraan dan mengganggu semua orang.
Hunter meletakkan lengannya di atas bahu Lana dan menciumi lehernya, di depan umum! Mereka mempertontonkan kemesraan itu kepada semua orang. Lana tampak menikmatinya.
Aku mengerutkan wajah dan, pada saat yang sama, melakukan kontak mata dengan Carter, yang tersedak di belakang mereka. Hal itu membuatku tertawa. Dia tersenyum kepadaku, melihatku tertawa, dan berpura-pura menggorok lehernya.
Setidaknya aku tahu bahwa aku bukan satu-satunya yang benci melihat ini.
Begitu Ibu kembali ke mobil, Ayah memberi tahu bahwa kami hanya punya waktu kurang dari dua jam. Saat itu sudah pukul 11 pagi, jadi kami akan tiba di sana sekitar pukul satu siang.
Ketika Ayah mulai mengemudi, aku menghabiskan satu jam pertama untuk makan dan membaca buku yang telah kubawa. Tidak ada lagi novel roman bagiku, ini buku misteri yang mendebarkan. Pasti cocok dengan seleraku.
Jam kedua, aku tertidur lagi. Mungkin ini lebih baik; aku butuh tidur sebelum Pesta Lycan malam ini.
Ibu membangunkanku ketika kami tiba di hotel. Carter datang ke mobil kami dan menyeringai ketika melihatku mengusap kantuk dari mataku.
“Putri Tidur akhirnya terbangun,” katanya, menyodorkan tangannya kepadaku.
Aku meraih tangannya dan berkata, “Terserah. Aku butuh tidur, kalau tidak aku tidak akan bisa bertahan malam ini.”
“Aku juga butuh tidur, tapi tidak bisa, aku yang harus mengemudi,” keluhnya saat kami berjalan ke resepsionis hotel.
Aku mentertawakan wajah Carter dan berkata, “Yah, tidurlah saat kita check-in.”
“Jadi, Senyum. Malam ini, jadilah teman kencanku ke Pesta Lycan. Aku tidak bisa membayangkan pergi dengan orang lain. Kamu udara yang kuhirup,…,” kata Carter secara dramatis.
Aku memukulnya sembari bercanda, “Oke, dasar sok dramatis. Tak usah berlebihan. Aku akan pergi denganmu.”
“Bagus. Jika kamu menolak, aku akan tetap memaksamu.” Carter mengedipkan mata kepadaku dan pergi ke tempat orang tuanya check-in.
Aku terkekeh melihat sikap konyolnya. Carter hebat dalam mengalihkan perhatianku, dan aku tahu itu sebabnya dia bertingkah lebih konyol dari biasanya.
Saat aku berjalan ke arah orang tuaku, telingaku secara tidak sengaja tertuju kepada percakapan Hunter dan Lana.
“Aku tidak bisa menunggu sampai kita mendapatkan kamar kita. Aku hanya ingin merobek pakaian ini dari tubuhmu, ”kata Hunter.
“Kamu jangan bicara begitu! Semua orang bisa mendengarmu,” seru Lana.
“Biarkan mereka mendengar. Aku tidak peduli. Aku cuma ingin memamerkanmu malam ini di pesta dansa,” jawab Hunter.
Sambil menggelengkan kepala, aku fokus pada hal lain. Rasanya seperti aku mengganggu percakapan pribadi mereka, tetapi masih saja menyakitkan.
Hunter jelas tidak ingat apa yang terjadi empat tahun lalu, atau dia tidak peduli. Dia bahagia, dan dia telah berpaling.
Rencanaku adalah pergi dengan Hunter malam ini karena di dunia mimpiku, kupikir kita akan menjadi jodoh. Aku yang berada di posisi Lana, tetapi itu ternyata bukan aku.
Semakin cepat aku menyadarinya, semakin baik.
Sambil mendesah, aku berjalan menuju orang tuaku, yang menyerahkan kunci kamarku. Syukurlah aku punya kamar sendiri karena saat ini aku sedang berusaha keras untuk tidak membiarkan air mataku berderai.
Ayah dan Ibu berada di lantai yang berbeda denganku, jadi aku berpisah. Ibu memperingatkanku untuk mulai bersiap-siap pukul 4 sore karena mobil akan datang pukul 7 malam untuk menjemput kami.
Zoya dan Sai berada di lantai sama dengan orang tuaku, jadi aku sendirian di lantai ini.
Keberuntungan akhirnya berpihak padaku karena Hunter dan Lana tidak berada di lantaiku. Zoya mengirimiku pesan tepat ketika aku masuk ke kamar dan mengatakan mereka ada di lantainya.
Carter mengirimiku pesan menanyakan apa aku ada di lantai sama dengannya, dan tentu saja dia satu lantai denganku.
Dengan cepat aku membongkar dan mencolokkan ponsel untuk mengisi daya. Bayangan Hunter dan Lana menghantuiku.
Saat itu pukul 2 siang, aku harus melakukan sesuatu sebelum pikiran itu menguasaiku. Aku berjalan menuju kamar mandi dan menanggalkan pakaian, menyalakan pancuran.
Ketika masuk ke pancuran air panas, air mataku mulai menetes. Air mata itu terus menetes, dan aku membiarkannya. Aku harus mengeluarkan perasaanku. Aku membiarkannya larut bersama air mata dan kesedihanku.
Baca selengkapnya di aplikasi Galatea!