Ketika seorang remaja pelarian, Quinn, digigit oleh serigala di hutan, dia menemukan dunia yang dia tidak pernah tahu ada — dunia manusia serigala. Sekarang Quinn harus menyesuaikan diri dengan kehidupan barunya di Kawanan Bayangan Bulan, di bawah bimbingan seorang Alpha yang memikat.
Digigit Sang Alpha – Chloe Taylor

Aplikasi ini telah menerima pengakuan dari BBC, Forbes dan The Guardian karena menjadi aplikasi terpanas untuk novel baru yang eksplosif.

Baca selengkapnya di aplikasi Galatea!
1
Ketika seorang remaja pelarian, Quinn, digigit oleh serigala di hutan, dia menemukan dunia yang dia tidak pernah tahu ada — dunia manusia serigala. Sekarang Quinn harus menyesuaikan diri dengan kehidupan barunya di Kawanan Bayangan Bulan, di bawah bimbingan seorang Alpha yang memikat.
Rating Usia: 18+
Penulis Asli: Chloe Taylor
Saat segunung makanan kaleng, selimut, baterai, dan botol airku berjalan menyusuri ban berjalan menuju kasir, petugas itu memandangku dengan curiga.
“Ini sumbangan untuk ke penampungan tunawisma,” aku tersenyum gugup.
Sial, kubilang ke ibuku aku ada di perpustakaan. Kalau aku pulang tanpa membawa buku, Ibu akan tahu aku berbohong.
Aku melihat sampul pudar buku saku Agatha Christie di antara majalah dan tabloid.
“Aku beli ini juga,” kataku, sambil kulempar ke ban berjalan kasir.
Aku membayar dan mengisi ranselku penuh dengan belanjaan persediaanku. Aku harus menyimpan ini di semak-semak sebelum kembali ke rumah.
Malam ini adalah saatnya.
Aku akhirnya akan melakukannya.
Aku akhirnya bisa bebas.
***
Ibu sedang menungguku ketika aku kembali ke pondok kecil kami di hutan.
Aku mencengkam buku sakuku ke dada dengan cemas.
Dia menyipitkan matanya dan mengetuk-ngetukkan jarinya di atas meja kayu ek.
“Ibu tidak bisa membiarkan ini, Quinn.”
“Aku tahu, maafkan aku… Ini tidak akan terjadi lagi,” kataku, sambil menundukkan kepala.
“Kamu benar, ini tidak akan terjadi lagi karena kamu tidak akan ke perpustakaan lagi selama tiga minggu,” katanya tegas.
Biasanya, aku akan protes. Perjalanan ke perpustakaan setempat adalah satu-satunya hal yang membuatku tetap waras. Ibu benar-benar menyekapku di sini.
Dia menyekolahkanku di rumah sampai aku berusia 18 tahun, menutupku dari semua kegiatan sosial di luar rumah.
Hilangnya Bibi Jodie benar-benar mengguncangnya. Aku terlalu kecil untuk mengingatnya, tapi ibuku tidak pernah tersenyum sejak saat itu.
Kali ini, aku akan menutup mulutku. Perjalanan ke perpustakaan bukan masalah lagi.
Setelah malam ini, aku bisa melakukan apa pun yang kuinginkan.
“Kamu melewatkan makan malam—itu 15 menit yang lalu,” kata ibuku dengan dingin. “Jadi kamu akan tidur tanpa makan malam.”
Sambil perutku keroncongan, aku memikirkan tumpukan makanan kalengku di semak-semak, tapi aku bisa bertahan selama beberapa jam lagi.
Saat aku mulai berjalan ke kamarku, aku mendengar ibuku bergumam pelan, berulang-ulang.
“Gadis bodoh. Bodoh, gadis bodoh. Bodoh, bodoh, bodoh.”
“Aku bukan Bibi Jodie,” kataku, tapi dia tidak menjawab. Dia hanya terus bergoyang maju mundur.
***
Aku menarik selimutku. Sebentar lagi, ibuku seharusnya—
Tepat waktu. Dia membuka pintu kamarku yang berderit dan mengintip ke dalam, memastikan aku tertidur.
Setelah beberapa saat, dia menutupnya, menguncinya dengan satu klik.
Tidak apa-apa—aku tidak akan pergi melalui pintu.
Aku membuka selimutku dan turun dari tempat tidur, sudah berpakaian lengkap.
Aku mengeluarkan buku berlubang dari rakku, yang berisi sepasang tang untuk pekerjaan berat.
Aku menggunakannya untuk melonggarkan baut di jendelaku dan tanpa bunyi mengangkatnya. Aku melihat ke bawah, tidak terlalu tinggi untuk melompat turun, tetapi aku tidak ingin mengambil risiko.
Melarikan diri membutuhkan satu hal, yaitu kaki yang bisa berjalan.
Aku mengikat seprai-sepraiku dan melemparkannya ke luar jendela, aku memastikan sudah diikat dengan kuat mengitari tiang tempat tidurku.
Aku melihat kamarku untuk terakhir kalinya, tapi aku tidak merasakan sentimen atau nostalgia. Sulit untuk merasa sayang kepada penjara.
***
Aku memukulkan senter ke telapak tanganku sampai berkedip menyala.
Hanya terlihat hutan di segala arah. Entah mengapa, ibuku merasa berada di pondok terpencil di hutan lebih aman, tetapi isolasi hanya membuatku merasa jadi lebih rentan.
Terlihat gelap dan membingungkan, tapi aku harus mulai bergerak.
Ketika ibuku mengetahui aku sudah pergi, dia mungkin akan memulai perburuan untuk mencoba melacakku.
Aku tidak akan menjadi tahanan lagi. Aku sudah mengorbankan 18 tahun hidupku untuk sesuatu yang terjadi kepada bibiku, yang bahkan hampir tidak kukenal.
Sudah waktunya untuk memulai hidup.
Aku mulai berjalan melalui hutan, berharap bisa menjauh dari pondok sebelum matahari terbit.
Saat masuk lebih dalam ke hutan, aku memikirkan semua buku yang aku baca tentang gadis-gadis muda yang berkeliaran di hutan. Menyimpang dari jalan setapak.
Aku memikirkan kata-kata ibuku…
Apa pun bisa terjadi setelah gelap.
***
Setelah beberapa jam, aku benar-benar tersesat. Setiap pohon tampak sama. Setiap langkah maju mungkin juga jadi langkah mundur.
Aku sama sekali tidak tahu, aku mungkin saja sedang menuju kembali ke pondok.
Tasku yang berat membebaniku dan kelopak mataku terasa lebih berat.
Aku harus menemukan tempat untuk mendirikan kemah dan tidur nantinya.
Saat aku mengantuk, secercah cahaya menarik perhatianku.
Aku melihat rambut pirang putih panjang bergelombang menghilang di balik pohon.
Apakah ini hanya imajinasiku, atau ada orang lain yang benar-benar ada di sini?
Ketika aku mendekati pohon itu, sesosok wanita melayang ke pohon lainnya di kejauhan.
Aku berani bersumpah mendengar cekikikan.
“Hei, siapa kamu?” Aku memanggil.
Aku mengikuti sosok yang menari itu saat dia melayang dari satu pohon ke pohon berikutnya, menutupi wajahnya.
Dia begitu anggun dan misterius, rambutnya yang panjang membimbingku seperti cahaya.
Aku mulai berlari lebih cepat. Aku perlu tahu siapa dia.
Tiba-tiba, dia berbalik dan menatap lurus ke arahku. Dia memiliki wajah paling cantik yang pernah kulihat. Dan matanya…
Matanya memiliki warna abu-abu perak yang sama persis dengan mataku.
Aku berkedip, dan dalam sekejap, dia menghilang. Mungkin itu benar-benar hanya imajinasiku.
Aku tersadar berada di tempat terbuka kecil. Aku mulai mendirikan kemah, menggelar beberapa selimut di atas tanah dan menggantung satu selimut di atas cabang rendah untuk membentuk tenda darurat.
Aku tidak tahu apakah wanita tadi itu nyata atau hanya isapan jempol belaka yang terbentuk karena aku kurang tidur dan hanya sedikit makan kacang polong kalengan, tapi bagaimanapun juga, aku harus terlelap.
Aku tertidur, berharap hari esok akan memberiku kebebasan yang aku dambakan…
***
Au-uuu-uuu!
Aku tersentak bangun mendengar suara lolongan di kejauhan—mungkin serigala.
Hari masih gelap; aku tidak tidur lama.
Mataku mencoba menyesuaikan diri dengan kegelapan saat aku mendengar gemerisik dedaunan di kejauhan.
Aku sudah mempersiapkan banyak hal, tapi aku belum siap menghadapi serigala.
Aku mulai memasukkan semuanya kembali ke dalam tasku. Mungkin hal yang terbaik adalah terus bergerak. Aku tidak tahu seberapa jauh lolongan itu, tapi aku tidak ingin mencari tahu.
AU-UUU-UUU!
Lolongan itu menjadi dua kali lebih keras. Juga semakin dekat.
Aku membutuhkan sesuatu untuk membela diri. Aku cepat-cepat mematahkan cabang pohon terdekat dan memegangnya di depanku seperti pedang.
Aku sangat berharap wanita misterius itu akan muncul kembali dan membimbingku ke tempat yang aman, tetapi aku sendirian.
Aku mulai berlari, tidak sengaja bertabrakan dengan cabang-cabang pohon dan semak berduri. Aku harus keluar dari hutan ini.
Suara cakar besar dan kuat yang menginjak daun-daun kering mulai bergema di seluruh hutan.
Makhluk itu mendekat dengan cepat.
Aku mencoba mempercepat langkahku, tapi aku tersandung akar pohon dan tergelincir ke tanah.
Saat aku bangun berlutut, aku melihat serigala besar yang menggeram berdiri tepat di depanku, air liur menggantung dari taringnya yang tajam.
Bekas luka mengerikan terukir di sisi kiri wajahnya.
Aku meraih cabang pohonku dan mulai mengayunkannya dengan liar, tetapi serigala itu tidak terpengaruh.
Dia menerjang ke arahku, tapi aku berhasil menusukkan tongkatku ke hidungnya, dan dia mengeluarkan teriakan.
“Pergi!” Aku berteriak, berharap untuk menakut-nakutinya.
Mata merah serigala itu menyipit saat dia mulai mengintai lebih dekat.
Aku tidak bisa lari.
Tidak ada yang mendengarku berteriak.
Serigala itu menerkamku dan mendorongku ke tergeletak, cakarnya menancap di dadaku.
Ya Tuhan, aku akan mati.
Dia menggeram lapar ke arahku seolah-olah memakan ketakutanku.
Air mata mulai membasahi wajahku.
Aku menancapkan kukuku ke dalam tanah, mencoba menarik diriku untuk bangkit, tetapi serigala itu terlalu berat.
Dia hampir terlihat seperti sedang menyeringai saat membuka rahangnya lebar-lebar dan—
KRIK.
Aku menjerit karena rasa sakit terhebat yang pernah kurasakan menembus tubuhku.
Serigala itu menancapkan taringnya yang besar ke kakiku.
Dia turun dariku dan berjalan menuju ke dalam kegelapan, meninggalkanku hingga kehabisan darah.
Kupikir serigala biasanya menghabisi mangsanya, tapi yang ini sepertinya tidak peduli.
Kepalaku mulai berputar saat darah membasahi celana jeansku.
Tidak mungkin aku bisa bergerak. Di sinilah aku akan mati.
Saat pandanganku mulai kabur, serigala lain keluar dari semak-semak.
Yang ini bahkan lebih besar dari yang sebelumnya, dengan bulu abu-abu dan mata cokelat, tapi tidak bertindak agresif.
Malah, dia menyenggolku dengan hidungnya saat mataku terpejam.
Baca selengkapnya di aplikasi Galatea!
2
Kabut tebal menyelimuti hutan saat aku berjalan melewatinya, menggerakkan tanganku melintasi cabang-cabang pohonnya.
Mereka semua mati, tapi entah bagaimana bahkan lebih indah dari pohon yang tertutup dedaunan.
Putih mutiara, halus, dan membentang ke langit begitu tinggi sehingga aku tidak tahu di mana ujungnya.
Semuanya tampak sama dari segala arah, tapi aku tidak merasa tersesat.
Anehnya justru terasa menenangkan.
Suara dengungan rendah berdengung dengan menyenangkan di udara dan saat angin sepoi-sepoi mengacak-acak rambutku, rasanya seperti berbisik di telingaku.
Aku melihat sekilas rambut pirang putih panjang yang pernah kulihat di suatu tempat sebelumnya.
Aku berlari ke sana dan gumpalan asap mulai berputar di sekitarku hingga menjelma menjadi wanita cantik.
Dia terlihat sangat akrab dan saat dia menggenggam tanganku, melayang agak tinggi dari tanah, aku tahu aku bisa mempercayainya.
“Quinn, kamu harus banyak belajar.” Dia tersenyum hangat. “Ini tidak akan mudah pada awalnya, tetapi ada orang-orang yang akan memandu dalam perjalananmu.”
“Seperti kau?” aku bertanya.
“Tidak, Nak, aku telah membawamu sejauh yang aku bisa. Tempatku bukan di duniamu.”
“Aku tidak mengerti… Apa yang akan terjadi kepadaku? Apa aku masih hidup?” aku bertanya, bingung.
“Ya, tapi ketika kamu bangun, hidupmu tidak akan sama seperti dulu. Kamu ditakdirkan untuk hal-hal yang jauh lebih besar, anakku.”
“Siapa kau? Bagaimana aku mengenalmu?”
“Kamu mengenalku di dalam hatimu, Quinn.”
Dia meletakkan jarinya yang panjang dan anggun di jantungku.
“Ingat kata-kata ini—kamu akan tahu siapa yang bisa kamu percaya…” katanya, mulai memudar.
“Tunggu, kata-kata apa? Jangan pergi dulu!”
Aku mengulurkan tangan kepadanya, tiba-tiba membuat suatu koneksi.
“Apakah kau… bibiku?”
“Lupus Paulo,” katanya lembut, menghilang.
***
Bip. Bip. Bip.
Bip. Bip. Bip.
Apa yang terjadi? Di mana aku?
Penglihatanku kabur, tetapi ruangan ini tampak nyata—semuanya putih.
“Gigitannya dalam, tetapi akan sembuh—seiring waktu. Namun, prosesnya akan jauh lebih cepat setelah transisi tubuhnya.”
“Dan kapan tepatnya itu, Dokter?” tanya suara yang dalam dan serak.
“Sulit menentukannya, tetapi seharusnya tidak lama.”
Siapa orang-orang ini? Bunyi apa itu?
Sebuah infus menempel di pergelangan tanganku dan monitor di sebelahku perlahan berbunyi.
Apakah ini rumah sakit?
“Apa menurut Dokter tubuhnya dapat melakukan transisi?” tanya suara serak itu lagi. “Dia sangat… kecil. Mungkin bisa terbelah menjadi dua.”
“Mungkin, Alpha-ku, tapi waktu akan menjawabnya.”
Alpha? Transisi? Apa yang mereka bicarakan? Apa yang akan terjadi kepadaku yang bisa membelahku menjadi dua?
Jantungku mulai berdetak lebih cepat, dan bunyi bip di monitor juga bertambah cepat.
Infusku secara otomatis menyalurkan sesuatu ke lenganku yang membuat rileks.
“Tolong kabari aku untuk informasi terbaru tentang statusnya?” Pria bernama Alpha bertanya.
“Tentu saja, Alpha-ku. Aku akan segera menghubungimu kalau ada perubahan.”
Aku mulai kehilangan kesadaran lagi, tetapi wanita cantik itu tidak kembali memeriksaku.
Hanya terdengar kata-katanya.
Lupus Paulo.
***
Ketika sadar lagi, aku menyipitkan mata ke lampu neon terang yang tergantung di atasku.
Aku merapikan dan menarik ke belakang rambut hitamku yang diikat menutupi mataku.
Pencahayaan selalu menjadi bagian dari rumah sakit yang paling tidak aku sukai.
Aku mencoba untuk bergerak, tetapi langsung menyadari kesalahanku.
Aku meringis kesakitan dan mengatupkan rahangku. Aku tidak akan pergi ke mana-mana. Aku menunduk menatap kakiku yang terbungkus.
Sial, kurasa kakiku terkilir.
Aku bertanya-tanya siapa yang membawaku ke sini…
Kupikir serigala itu sudah menyantapku sampai habis.
Saat kenop pintu kamarku berderak, tiba-tiba aku merasakan gelombang ketakutan di perutku.
Bagaimana jika itu ibuku? Apa yang akan dia lakukan kepadaku? Aku sudah berada di ranjang rumah sakit, tapi sejujurnya aku lebih takut kepadanya daripada serigala yang menempatkanku di sini.
Alih-alih ibuku, datanglah gadis yang paling menyenangkan, imut, dan baik hati, membawa seikat bunga mawar yang indah.
“Hei,” katanya dengan sedikit aksen Selatan.” Akhirnya kau bangun juga.”
Mata hijaunya berkilau di bawah rambut pirangnya yang bergelombang, dan pipinya yang merah bahkan lebih merah dari bunga mawarnya.
Dia meletakkan bunga mawarnya di samping tempat tidurku dan duduk, menatapku dengan rasa ingin tahu.
Kenapa dia penasaran? Justru aku yang memiliki pertanyaan.
“Siapa… Siapa kau?” aku tergagap. “Dan bagaimana aku bisa sampai di sini?”
“Aku Sky,” katanya dengan nada ceria. “Ya, seperti tempat berkumpulnya awan, burung, dan sinar matahari.”
Kedengarannya benar. Gadis ini sangat ceria sehingga hal itu menular.
“Aku adalah perwakilan penyambutan di sini.” Dia tersenyum.
“Kau menyambutku ke mana?”
“Ke Kawanan Bayangan Bulan, pastinya.”
Dia pasti merasakan kebingunganku karena dia langsung tersentak dan menutup mulutnya.
“Ya ampun, mungkin belum saatnya aku mengatakan apa pun. Aku memang besar mulut. Kau tidak tahu apa yang terjadi, ya?”
“Aku diserang oleh serigala dan sekarang aku berada di ranjang rumah sakit… Hanya itu yang aku tahu.”
Sky dengan gugup menggigit kukunya yang panjang saat kusebut serigala.
“Astaga, bagaimana aku menjelaskan ini kepada manusia?” dia bergumam.
Manusia? Oke, apa maksudnya?
“Kau mulai membuatku takut, Sky… Apa itu Kawanan Bayangan Bulan?”
“Yah, itu semacam keluarga… Sebuah keluarga yang kau akan, uh, masuki…karena insidenmu.”
“Astaga, kau bukan bagian dari semacam aliran sesat, kan? Aku sudah membaca banyak buku, dan ini tidak pernah berakhir baik untuk pelarian,” kataku, mulai cemas.
Sky justru tampak lega.
“Oh, tidak, bukan seperti itu. Kau pasti mengira aku benar-benar aneh,” dia tertawa. “Tidak, kami keluarga manusia serigala, satu kawanan.”
Rahangku terbuka. Apakah ini semacam lelucon sinting? Di mana kamera tersembunyinya?
Dia baru saja mengatakan manusia serigala.
Aku teringat kembali serigala di hutan—bagaimana dia meninggalkanku setelah menggigitku.
Dan kemudian serigala abu-abu besar itu—bagaimana dia menyenggolku secara protektif…
Mungkinkah yang dia katakan…?
“Aku tahu ini berat untuk dicerna, Quinn, tapi manusia serigala memang ada. Kami sudah ada selama berabad-abad, kami hanya bersembunyi. Jujur saja, manusia tidak akan menyikapi hal ini dengan baik. Mereka mungkin akan mengambil garpu rumput dan obor saat melihat sesuatu yang bersifat supranatural.”
Tidak. Tidak. Ini gila. Tidak mungkin ini nyata.
“Dengar, Sky, kau tampak seperti orang yang baik, menurutku begitu, tapi aku tidak tertarik bergabung dengan perkumpulan manusia serigalamu atau apa pun itu. Ada beberapa anak gotik yang bermain peran di perpustakaan setiap hari Jumat… Mungkin kau bisa membawa lembar pendaftaranmu ke—”
“Quinn, kau lucu sekali. Perkumpulan itu untuk penyihir. Kami inikawanan. Dan kau tidak perlu mendaftar. Kau sudah menjadi anggota,” katanya sambil menunjuk bekas gigitan di kakiku.
Ada yang lucu di sini, tapi itu bukan aku.
“Aku sebenarnya hanya ingin bicara kepada dokter, kalau kau bisa—”
Pintu tiba-tiba terbuka, dan seorang pria dengan rambut abu-abu pirang masuk ke dalam ruangan. Otot-ototnya menonjol keluar dari baju putih tipisnya dan mata emasnya menghipnotis.
Aku belum pernah melihat orang yang begitu tampan selama hidupku dan ketertarikan instan yang aku rasakan terhadapnya terasa memabukkan.
Aku takut dan bingung secara bersamaan.
Kenapa aku merasa begitu tertarik kepadanya? Ini bukan perasaan yang normal.
Saat dia berbicara, aku mengenali suaranya yang serak. Dia adalah pria yang disebut oleh dokter sebagai Alpha.
“Sky, apa yang sudah kamu katakan kepadanya?” katanya dengan kasar.
Sky tiba-tiba tampak pucat. “Aku baru saja menyambutnya ke dalam kawanan. Aku pikir dia butuh pendekatan yang lebih… Lembut, ya, untuk memudahkannya.”
Pria ini seolah-olah tidak mengenal “pendekatan lembut”. Kosa katanya tegas, lugas, dan keras.
“Keluar. Aku perlu bicara dengannya sendirian,” perintahnya.
Sky menatapku dengan tatapan meminta maaf saat dia meninggalkan ruangan. Tiba-tiba aku berharap gadis serigala sinting itu kembali.
Aku menghindari kontak mata langsung dengannya. Mata emas itu menatapku dari atas ke bawah tubuhku, dan terlepas dari betapa tidak nyamannya hal ini, aku menyukai cara dia menatapku.
“Namamu,” katanya dengan nada mendominasi.
“Quinn.”
“Quinn…” katanya, mengujinya.
“Dan namamu?” tanyaku gugup, masih membuang muka.
Dia tidak menjawab, tapi dia melangkah ke tepi tempat tidurku. Aku bisa merasakan panas memancar darinya dan itu menghangatkanku luar dalam.
“Lihat aku,” perintahnya.
Dia pikir dia siapa? Keren atau tidak, dia tidak bisa begitu saja memberiku perintah…
Saat aku mendongak dan menatap langsung ke matanya, sesuatu seperti mimpi terjadi. Aku merasakan hubungan yang tidak terlukiskan dengan orang asing ini. Aku merasa seolah-olah dia baru saja menjadi bagian dari diriku.
Tampak dari ekspresi terkejut di wajahnya, dia pasti merasakannya juga.
“Bagaimana…bagaimana ini bisa? Kau bahkan belum berubah,” katanya, tertegun.
Mata emasnya tetap terkunci pada mata perakku, kami berdua tidak bisa berpaling.
“Jadi, kaulah jodohku…”
Baca selengkapnya di aplikasi Galatea!