Setelah teman-teman Kyla membujuknya untuk bangkit kembali dari mantan pacarnya yang telah berselingkuh dengan cara cinta satu malam, kini dia yakin bisa menghapus cinta dan nafsu sesaat dari pikirannya untuk selamanya. Sekarang dia bisa fokus pada kariernya sebagai asisten pemasaran. Namun, tanpa dia sadari, orang asing berwajah tampan yang baru mengguncang dunianya ternyata bos barunya sendiri. Kyla memutuskan untuk menjaga hubungan mereka tetap profesional, tetapi bos miliardernya tidak mudah menyerah…
Kesalahan Indah – Mel Ryle

Aplikasi ini telah menerima pengakuan dari BBC, Forbes dan The Guardian karena menjadi aplikasi terpanas untuk novel baru yang eksplosif.

Baca selengkapnya di aplikasi Galatea!
1
Setelah teman-teman Kyla membujuknya untuk bangkit kembali dari mantan pacarnya yang telah berselingkuh dengan cara cinta satu malam, kini dia yakin bisa menghapus cinta dan nafsu sesaat dari pikirannya untuk selamanya. Sekarang dia bisa fokus pada kariernya sebagai asisten pemasaran. Namun, tanpa dia sadari, orang asing berwajah tampan yang baru mengguncang dunianya ternyata bos barunya sendiri. Kyla memutuskan untuk menjaga hubungan mereka tetap profesional, tetapi bos miliardernya tidak mudah menyerah…
Rating Usia: 18+
Penulis Asli: Mel Ryle
Kebanyakan wanita pada umumnya akan mengutamakan cinta, karier kedua. Namun, aku bukan kebanyakan wanita. Di usia 26 tahun, aku adalah asisten pemasaran termuda di perusahaan kami dan aku tidak akan membiarkan semua perjuangan keras untuk bisa mencapai posisi itu terbuang begitu saja hanya karena hari jadi.
Jangan salah paham, aku mencintai Alden. Dan aku merasa tidak enak sudah mengacaukan rencana kami. Namun, aku tahu jika dia benar-benar mencintaiku, dia akan mengerti.
Pekerjaan adalah prioritas. Selalu.
Teman-teman wanitaku biasanya tertawa dan mengatakan itu hanya karena aku belum menyadari “potensi orgasmeku yang sesungguhnya”. Coleen selalu berargumen, “Kyla, jika kamu memang benar-benar terpuaskan, pekerjaan akan menjadi hal terakhir di pikiranmu.”
Aku hanya bisa mengejek dan menggelengkan kepala. Coleen, teman-temanku, mereka tidak akan pernah mengerti. Seks? Cinta? Mereka bukan prioritasku. Ada yang salah dengan itu?
Namun, jauh di lubuk hati, aku harus akui…aku pun bertanya-tanya. Apa ada yang kulewatkan? Bukannya Alden pasangan yang buruk. Hanya saja dia praktis, bukan bersemangat.
Dan sebagai wanita karier yang menginginkan stabilitas, itulah yang aku butuhkan!
Jadi, mengapa di malam hari ketika Alden memberiku seks oral…aku hampir tidak merasakan apa-apa? Mengapa ketika dia memasukkan batang kemaluannya ke dalam diriku berulang-ulang, aku malah memikirkan laporan peringkat konsumen?
Apa yang salah denganku?! Mengapa aku tidak bisa lebih menjadi pencetus di tempat tidur dan memberi tahu Alden apa yang benar-benar aku inginkan?
Tidak penting. Aku berjanji kepada diriku sendiri bahwa malam ini, untuk sekali ini saja, aku akan membuktikan kepada Alden dan diriku sendiri bahwa hubungan kami penting. Aku akan memberinya seks terbaik dalam hidupnya.
Sekali saja, ucapku kepada diriku sendiri, pilih cinta, Kyla.
Alden sangat berharga.
Tadinya kupikir begitu.
Setelah membaca pesan dari Alden berulang-ulang dan menyadari betapa berartinya hari jadi ini untuknya, aku berhasil meyakinkan bosku, Tn. Leach, untuk mengizinkan aku pulang lebih awal. Aku sempat berpikir untuk memberi tahu Alden kalau aku sedang dalam perjalanan pulang.
Namun, untuk apa memberitahunya kalau aku bisa memberikan dia kejutan?
Dalam perjalanan pulang, aku bertemu dengan sahabatku, Coleen, dan mampir di sebuah toko pakaian dalam. Dia membantuku memilih celana dalam paling seksi di toko itu. Bahan renda hitam dan transparan di bagian yang tepat.
Aku sudah tidak sabar melihat ekspresi wajah Alden saat aku melucuti rok pensilku. Dia akan sangat terkejut.
Di kasir, karyawan toko mulai membungkus celana dalam itu dan dimasukkan ke kantung belanja, tetapi aku menggelengkan kepala. “Tidak perlu.”
Dia mengangkat alis sembari menyeringai, dan menyerahkan celana dalamnya apa adanya.
Aku mengucapkan selamat tinggal kepada Coleen dan naik bus yang hampir kosong, kemudian melepas celana dalam biasa yang aku kenakan dan mengenakan celana dalam seksi ini. Aku bisa saja melakukannya di ruang ganti, tetapi rasanya kurang seru.
Setelah selesai, aku bergegas pulang sesegera mungkin, aku sampai basah karena terlalu bersemangat. Simpan untuk Alden, ucapku kepada diri sendiri.
Turun dari bus, aku langsung melompat ke dalam lift, merasa kegirangan. Meskipun aku lelah bekerja dan habis bertengkar dengan Tn. Leach seharian, aku seperti kedatangan semangat baru.
Tiba-tiba aku merasa pusing dan nakal, membayangkan semua hal yang akan kulakukan kepada pria yang kucintai.
Ketika pintu lift akhirnya terbuka, aku bergegas menuju pintu kami, tidak sengaja air liurku menetes karena memikirkan dia.
Aku memutar kunci, membuka pintu, dan tersenyum paling seksi, senyum jahatku.
“Kejutan, sayang!” seruku.
Namun, ternyata akulah yang mendapat kejutan. Karena saat aku melangkah ke kamar tidur kami, aku menemukan pria yang kucintai, pria yang telah menghabiskan tiga tahun bersamaku, pria yang akhirnya kujadikan prioritas, sedang telanjang bulat dengan wanita lain.
Aku berdiri, membeku, menatap, menolak untuk memercayai apa yang aku lihat. Ini tidak mungkin terjadi. Tidak mungkin terjadi kepadaku. Ini pasti salah satu adegan dalam film, bukan pengkhianatan kejam di kehidupan nyata.
“Sayang,” dia tergagap. “Ya Tuhan, aku pikir—kamu tidak seharusnya…”
“Bedebah,” bisikku.
Aku terdiam. Hampir tidak bisa bernapas. Wanita lain itu, sedang menungganginya dengan posisi koboi, berbalik melihat ke arahku, terkejut.
“Kamu,” kataku, naik pitam.
Dia bukan wanita asing. Dia adalah Mallory Cornfield. Perempuan yang paling kubenci selama masa kuliah. Dari semua wanita yang bisa dia pilih untuk berselingkuh…mengapa dia?
Sekarang, rasa kagetku berubah menjadi amarah memuncak. Tanganku gemetar. Gigiku gemertak. Rasanya mataku bisa copot sebentar lagi.
“Kyla, ini bukan—” mulainya dengan gugup.
“Keluar, dasar pelacur,” kataku dengan dingin.
Tanpa ragu lagi, Mallory bergegas melepaskan dirinya dari selangkangan Alden dan mengumpulkan barang-barangnya, berlari keluar ruangan, tampak terkejut. Bagus. Aku harap dia merasa malu selama sisa hidupnya.
Aku tahu tidak akan ada yang dapat menghapus gambar itu dari mataku, itu sudah pasti.
“Sayang,” kata Alden, sembari memakai celana boksernya dan berdiri, mendekatiku. “Kita bisa melalui ini. Kamu dan aku, kita berharga—”
“Jangan mendekat.”
Dia berhenti. Aku tidak pernah merasa sekesal ini sepanjang hidupku. Rasanya seperti ada kuasa lain yang mengambil alih diriku sepenuhnya, dan yang bisa kulakukan hanyalah berdiri terdiam dan menonton, sembari tak berdaya.
“Mallory, dia tidak berarti apa-apa,” kata Alden. “Dia yang mendatangiku. Kami tadi hanya berbicara sambil minum kopi, dan kemudian…satu hal mengarah ke yang lain…dan…”
Aku berkedip. Mendengar nama perempuan jalang itu kembali menyulut emosiku. Aku kemudian mengangkat satu kaki dan melepas salah satu sepatu hak tinggiku. Alden mengerutkan keningnya.
“Apa yang kamu—?”
Lalu aku melemparkannya sekeras mungkin ke wajahnya. Sayangnya meleset, menabrak lampu, dan jatuh ke lantai.
“Ya Tuhan, Kyla!” katanya sambil mundur selangkah.
Kecewa karena meleset, aku dengan pelan mengangkat kakiku yang lain, melepas sepatu hak tinggi yang satu lagi.
“Hei, tunggu dulu.”
Kali ini, aku tepat sasaran. Sepatuku mengenai wajah Alden. Dia membungkuk kesakitan sambil memegangi hidungnya.
“Ahh! Sialan!”
“Alden, dengarkan aku,” kataku. “Waktumu satu hari.”
“Satu hari apa?” katanya dengan suara sayu, tangannya masih menutupi hidungnya yang luka.
“Untuk mengumpulkan semua barangmu dan keluar dari apartemen ini.”
Matanya melebar, sambil menurunkan tangannya. Dia kemudian maju selangkah.
“Tolong, Kyla,” katanya sambil menangis. “Jangan terburu-buru mengambil keputusan sebelum kita menyesal—”
Dan sekarang, bagian luar yang dingin dan tenang yang entah bagaimana berhasil aku pertahankan sampai sekarang, mulai retak. Kenyataan ini membuatku seperti dilempar sepatu tepat di wajah. Tiga tahun sia-sia. Dengan bajingan ini.
“Menyesal?!” Aku tersedak. “MENYESAL?! Kamu ingin menceramahiku soal PENYESALAN?!”
“Kyla,” dia masih mencoba.
“Tidak. Kamu tidak boleh bicara lagi. Kamu tidak usah bawa-bawa tentang penyesalan. Atau cinta. Kamu sudah merusaknya. Kita. Semuanya. Hanya ada satu penyesalan yang layak disebutkan. Aku menyesal pernah mencintaimu.”
Lututnya lantas tampak lemas. Bibirnya bergetar. Dia akhirnya mengerti: ini adalah akhir hubungan kita.
“Satu hari,” aku terengah-engah, kehabisan napas.
Kemudian, aku berbalik dan berjalan keluar, telanjang kaki, ke mobilku. Setelah sampai dan check in ke hotel satu jam kemudian dan duduk di tempat tidur yang asing, air mataku mulai menetes.
Aku tidak tahu berapa lama aku menangis, tetapi ketika selesai, aku berjanji kepada diri sendiri. Aku tidak akan pernah mencintai lagi. Mulai saat ini, karierlah yang akan aku dahulukan. Tidak ada satu pun orang yang dapat merenggut kekuatanku lagi.
Namun, seperti yang aku pelajari nantinya, itulah masalahnya janji.
Tidak ada yang pernah menepatinya.
***
TIGA BULAN KEMUDIAN…
Tak kusangka aku akan pergi kencan. Ya, tiga bulan adalah waktu yang lama untuk tidak berhubungan seks. Namun, saat aku memakai sepatu wedges Marc Jacobs ini, yang bisa kupikirkan hanyalah sepatu hak tinggi yang kulempar ke wajah Alden.
Yang membuatku teringat dia dan Mallory di ranjang itu. Yang membuatku memutar ulang kejadian di malam menjijikkan itu lagi.
Ya Tuhan, bagaimana aku bisa menghapus kenangan buruk ini? Aku telah memaksakan diriku untuk fokus pada pekerjaan, memusatkan seluruh energiku pada klien kami, dan melakukan semua yang aku bisa untuk mengalihkan perhatianku. Namun, tetap saja, tiga bulan kemudian, aku masih tersiksa.
Teman-temanku yakin mereka punya solusinya. Permainan. Jika kalian memberitahuku beberapa bulan yang lalu kalau malam ini akan segera menjadi giliranku, aku mungkin akan bilang kalian gila.
Namun, aku sudah di sini, didandani, siap pergi ke bar asing untuk berhubungan seks dengan orang asing.
Sejak kapan cinta satu malam dapat memperbaiki keadaan apa pun?
Saat aku memanggil taksi dan menunggunya datang, aku berusaha untuk menguatkan diri. Jika teman-temanku ingin bermain-main, itu adalah urusan mereka. Namun, itu tidak berarti aku harus mengikuti aturan permainan mereka.
Sambil mengambil napas dalam-dalam, aku melangkah keluar, menguatkan diriku untuk menghadapi malam ini. Tidak ada seorang pria pun yang akan berakhir di tempat tidurku, kataku kepada diri sendiri. Tidak akan.
Namun, ketika malam berlanjut, aku sadar, rencana lain sudah menungguku.
Baca selengkapnya di aplikasi Galatea!
2
Aku mematikan ponselku dan menggelengkan kepalaku, jengkel. Coleen adalah teman terbaik yang bisa orang harapkan, tapi itu tidak berarti dia mengerti aku. Sejak putus, dia memasuki fase main-main. Hal itu lebih mudah baginya.
Dan karena kami bekerja di gedung yang sama, Coleen menyaksikan langsung tiga bulan yang suram dalam hidupku. Dari semua teman-teman wanitaku, dia adalah orang yang paling menginginkan hal ini untukku.
Aku duduk di kursi belakang taksi, menyaksikan orang-orang mulai pergi keluar untuk menikmati dunia malam, lampu-lampu kota menerangi hasrat dan gairah mereka. Aku tahu malam ini aku seharusnya menjadi salah satu dari mereka.
Namun, aku tidak tahu bagaimana caranya, karena semua yang ada dalam pikiranku adalah bekerja lembur di kantor.
Kami akhirnya tiba di bar, dan aku menarik napas dalam-dalam. Kamu pasti bisa, kataku kepada diriku sendiri. Ini semua hanyalah pura-pura. Ikut bermain saja. Lalu kabur.
Aku melangkah masuk, berusaha sebisanya terlihat percaya diri. Dan di sanalah mereka, duduk di sebuah bilik, sudah mabuk dan bergosip. Para sahabatku.
“Itu dia!” kata Megan sambil melambai ke arahku. “Ayolah, Kyla. Kamu harus ikutan.”
***
Permainan ini dimulai ketika salah satu dari kami putus di kuliah. Ketika Rose dicampakkan pacarnya, seorang cowok populer di kampus, melalui pesan, cewek malang itu kemudian patah hati. Dia tidak mau makan, hampir tidak bisa tidur. Kami perlu bertindak drastis.
Jadi, suatu malam, kami mengajak Rose pergi keluar dan berjanji bahwa sebelum matahari terbit, dia akan mendapatkan cinta satu malam dengan pria pilihan kami.
Ternyata berhasil.
Kami menunjuk pria itu, dia langsung mengambil kesempatan. Dan begitu saja, hati Rose pulih kembali.
Rose kemudian mengakui kalau bukan karena hal ini, dia tidak akan pernah memiliki keberanian. Dan dengan membiarkan kami memilih prianya, dia tidak perlu khawatir untuk membuat perbandingan dengan mantannya.
Itu hanya seks asal-asalan, tidak lebih.
Dalam beberapa minggu, Rose kembali ke dirinya yang penuh semangat.
Beberapa bulan kemudian, ketika hubungan Marie juga kandas dengan menyedihkan, kami menyarankan ide yang sama. Dan, mulai dari situ, sebuah kebiasaan baru—dan aneh—terbentuk.
Sejak saat itu, kami semua bersumpah untuk memainkan permainan ini setiap kali salah satu dari kami gagal dalam hubungan percintaan. Itulah mengapa aku ada di sini malam ini.
“Bagaimana dengan para pria itu?” tanya Megan sambil mengangguk ke meja biliar.
Aku menoleh untuk melihat tiga pria tampan, mereka adalah penggemar olahraga, kalau melihat dari fisiknya masing-masing, mereka sedang mengobrol santai sambil bermain biliar. Salah satu dari mereka membungkuk di atas meja, menggeser stik biliar bolak-balik di antara jempol dan jari telunjuknya.
Pemandangan itu saja sudah cukup untuk membuat wanita tersipu malu.
“Jangan mereka,” desisku pelan. “Mereka terlalu…entahlah…keren.”
Marie mendengus mendengarnya. “Kamu bercanda, ya? Masalahnya mereka terlalu tampan untukmu?”
“Bukan,” kataku, mengerutkan kening. “Masalahku adalah mereka sadar kalau mereka tampan. Tidak ada pria yang bertingkah seperti itu, kecuali mereka mengetahuinya.”
“Dan apa masalahnya dengan itu, ya?” Coleen bertanya, meneguk martininya.
“Ya, Kyla,” sembur Rose, yang sudah terlalu mabuk untuk menyadari perkataannya sendiri. “Jangan jadi pengecut.”
Megan mencoba menengahi situasi, menepuk punggungku. “Aku tahu pasti aneh rasanya membuka diri lagi, tapi lihat saja nanti. Aku yakin kamu akan suka.”
“Intinya, kamu tahu peraturannya,” kata Coleen. “Setelah putus dari Landon, aku juga tidak ingin melakukan permainan ini. Namun, kalian yang memaksaku, dan aku tidak pernah menyesali itu.”
Mereka semua benar, tentu saja. Aturan adalah aturan. Namun, aku tidak seperti mereka. Aku hanya pernah mengencani satu pria. Dan aku tidak pernah melakukan cinta satu malam dalam hidupku. Jadi, hal ini benar-benar asing buatku.
Rose, membaca pikiranku, membawa gelas cosmo-ku ke arahku. “Lebih enak kalau kamu sudah minum.”
Aku menggelengkan kepalaku, menatap mereka semua dengan jijik. Kemudian, aku menenggak minumanku sekaligus dan berdiri.
“Baiklah. Aku akan pergi. Sialan kalian. Untung saja aku sayang sama kalian.”
Mereka semua menyeringai nakal, Rose berteriak mabuk. Coleen meraih tanganku sebelum aku pergi. “Kasih tahu si pirang kalau aku menaksir dia,” katanya, sambil mengedipkan mata.
Aku memutar mataku, berbalik, dan mendekati ketiga pria di meja biliar tanpa sepatah kata pun.
Jantungku berdebar-debar. Aku hampir tidak bisa melihat jelas, aku sangat takut. Pengkhianatan Alden tidak membuat karier profesionalku terbengkalai; yang ada, menjadi lajang malah membuatku lebih fokus. Namun, ini?
Aku bahkan tidak tahu bagaimana cara berbicara dengan seorang pria lagi. Apa yang harus aku katakan?
Ketika aku mencapai meja biliar, ketiga pria itu berbalik, melihat kedatanganku. Tuhan, mereka bahkan terlihat lebih tampan dari dekat.
Yang satu berambut pirang dan tampak lucu, seperti golden retriever versi pria. Yang lain berambut gelap dan bermata gelap, tatapan matanya serius dan terlihat mendominasi, biasanya bukan tipeku, tetapi aku tahu Rose akan menyukainya.
Pria di tengah, memegang stik biliar, orang yang sudah menarik perhatianku sejak awal…Aku tidak tahu bagaimana menggambarkannya. Rambutnya cokelat muda dengan gaya acak-acakan, matanya biru seperti lautan, fisiknya mengesankan dan kekar.
Dan tidak seperti teman-temannya, ekspresi pria ini benar-benar tidak bisa dibaca.
Poker face sejati.
Si rambut pirang tersenyum genit. “Bisa dibantu?”
Aku menarik napas dalam-dalam, mengetahui bahwa teman-temanku semua sedang memperhatikanku dengan serius. Jika aku berniat curang dalam permainan ini, aku hanya bisa berharap pria-pria ini tidak akan menginginkanku.
“Oke,” kataku. “Singkat saja. Kalian lihat empat wanita di seberang ruangan duduk di meja itu, kan? Mereka mau aku berhubungan seks dengan salah satu dari kalian malam ini.”
Pria pirang dan pria berambut gelap itu menatapku tidak percaya. Pria di tengah hanya menatap, tanpa ekspresi. Aku berusaha menjelaskan hal ini dengan singkat kepada mereka.
“Omong-omong, aku tidak benar-benar ingin melakukannya. Namun, jika kalian ikut permainan ini dan salah satu dari kalian memberikanku nomor telepon—nomor apa saja, nomor lotre pun boleh—aku akan memberikan kalian sesuatu sebagai balasannya.
Pria berambut gelap itu menyeringai. “Berikan apa, tepatnya?”
“Nomor wanita berbaju kuning. Namanya Coleen. Dan dia tertarik dengan kamu,” kataku sambil mengangguk kepada si pirang.
Pria pirang itu mempertimbangkannya, matanya menjelajah. Aku tahu aku harus bertindak cepat atau aku akan kehilangan keberanian.
“Jadi?” Aku bertanya. “Bagaimana menurut kalian?”
“Yah,” pria di tengah akhirnya berbicara, “ini pertama kalinya ada yang menanyakan ini kepada kami.”
Aku menatap, agak terkejut sesaat. Aku hampir mengira pria dengan poker face itu terbuat dari batu. Namun, dia berbicara dengan suara yang nyaring dan meyakinkan. Dia dan teman-temannya saling menatap satu sama lain, lalu kembali menatapku.
“Oke,” katanya sambil mengangguk. “Permainan yang menarik. Namun, aku ingin menanyakan satu hal ini terlebih dulu. Kamu mau nomor siapa?”
Saat dia mencondongkan tubuhnya ke arah cahaya, aku bisa melihat sifat nakal di mata biru itu. Hal itu lantas membuat jantungku berdebar kencang.
“Itu tidak penting,” kataku. “Bisa salah satu—”
“Pilih,” dia menuntut.
Aku menggigit bibirku, menunduk, lalu kembali menatap matanya. Aku tahu jawabanku sejak aku berjalan ke arah mereka. Jadi, mengapa tidak jujur?
“Kamu,” kataku dengan pelan.
Ujung bibirnya melebar membentuk seringai puas. Dia mengedipkan mata.
“Mintalah dan kamu akan mendapatkannya.”
Sialan. Hanya dengan sedikit perhatian darinya, aku sudah terpikat. Aku tidak menginginkan nomornya. Aku ingin dia. Aku bisa merasakan sisi rasionalku kalah melawan keinginanku yang sebenarnya. Namun, aku mencoba membuang pikiran itu.
Aku tidak akan menidurinya di meja biliar ini. Meskipun aku menginginkannya.
Dia mengambil serbet di dekatnya, mencatat nomornya, lalu mengopernya lewat meja biliar. Aku melihatnya.
Dia menggelengkan kepalanya. “Bagaimana caramu meneleponku jika ini nomor bohongan?”
Sial, dia ternyata jago. Aku bisa merasakan wajahku memerah seperti layaknya remaja polos. Saat aku mengambil secarik kertas itu, aku melihat namanya tertulis di sana.
“Kamu Jensen?”
“Ya, dan kamu?”
“Kyla.”
“Baiklah, Kyla, aku bisa melihat dari raut wajah temanku, Grant, kalau dia juga terpikat dengan temanmu di sana. Bisakah kamu memberikan nomor teleponnya kepada temanmu?”
Grant, si pirang, dengan cepat mencatatnya dan menyerahkannya. Aku merasa seperti sedang dibodoh-bodohi entah bagaimana, seolah-olah pria ini, si Jensen, dengan mata birunya yang menghanyutkan dan ekspresi wajahnya yang lembut, bisa mengaturku.
Aku berdeham, mengangguk kepadanya, berusaha memegang kembali kendali. “Terima kasih karena telah membantuku.”
“Tidak masalah, Kyla,” katanya, matanya berkilat. “Hubungi saja kalau perlu hal yang lain.”
Setelah itu, aku berbalik dan berjalan kembali ke arah meja teman-temanku, berdoa agar aku tidak terpeleset dan jatuh tertelungkup. Aku tahu Jensen masih memperhatikanku.
Akhirnya, aku sampai di meja para sahabatku yang terlihat sangat puas. Melihat seringai di wajah mereka, aku tahu aku telah bermain dengan benar.
“Jadi?” Coleen bertanya dengan hati-hati.
“Ini, Coleen,” kataku, menyerahkan nomor Grant. “Dia juga tertarik dengan kamu.”
“Dan?” Megan ditekan. “Bagaimana dengan yang lain? Pria yang kamu ajak bicara?”
“Aku mendapatkan nomornya. Jadi, aku akan mengirimkannya pesan nanti malam saja. Saat kita semua pulang ke rumah.”
Megan, yang sudah sangat mabuk saat ini, menyipitkan matanya dengan tatapan curiga. “Apakah, kamu… berusaha curang dalam permainan, Kyla?”
Semua orang lalu menoleh menatapku. Sialan. Sepertinya rencanaku tidak akan berjalan dengan mudah? Aku menoleh ke arah Jensen, yang sedang membungkuk di atas meja, sambil memukul bola biliar lainnya.
“Baiklah,” kataku. “Aku akan mengirimkannya pesan sekarang juga.”
Kemudian, aku mengeluarkan ponselku.
Aku melihat ke arah Jensen, melirik dari ponselnya ke arahku, sedikit senyum di bibirnya. Tubuhku meneriakkan jawaban, tapi pikiranku memiliki ide lain.
Aku tidak menoleh ke arahnya kali ini. Aku tahu, jika aku melakukannya, dia akan dapat membaca pikiranku. Sebaliknya, aku malah memasukkan ponselku ke dalam tas, mengambil mantel, menoleh ke teman-temanku, dan memasang senyum nakal.
“Baiklah, sayang-sayangku,” kataku. “Permainan dimulai.”
Kemudian, aku berbalik dan berjalan ke arah orang asing dengan mata biru laut, mendengar para sahabatku bertepuk tangan dan bersorak di belakangku.
Kami akhirnya keluar dari bar. Namun, ke mana tepatnya kami pergi?
Baca selengkapnya di aplikasi Galatea!