Sienna adalah manusia serigala berusia 19 tahun dengan sebuah rahasia: dia masih perawan. Satu-satunya perawan di kawanannya. Dia berupaya mati-matian agar berhasil melewati Kabut tahun ini tanpa terjerumus oleh hasrat jasmaninya—tetapi ketika dia bertemu Aiden, sang Alpha, dia melupakan semua pengendalian dirinya.
Serigala Milenium – Sapir Englard

Aplikasi ini telah menerima pengakuan dari BBC, Forbes dan The Guardian karena menjadi aplikasi terpanas untuk novel baru yang eksplosif.

Baca selengkapnya di aplikasi Galatea!
1
Sienna adalah manusia serigala berusia 19 tahun dengan sebuah rahasia: dia masih perawan. Satu-satunya perawan di kawanannya. Dia berupaya mati-matian agar berhasil melewati Kabut tahun ini tanpa terjerumus oleh hasrat jasmaninya—tetapi ketika dia bertemu Aiden, sang Alpha, dia melupakan semua tentang pengendalian dirinya.
Rating Usia: 18+
Penulis Asli: Sapir Englard
Ini adalah kisah panas ♨️ dan Episode 1 dimulai dengan beberapa audio panas !
Mungkin lebih baik Anda mendengarkan dengan headphone, atau di tempat pribadi .
Yang bisa aku lihat hanyalah seks.
Ke mana pun aku menoleh, ada tubuh yang gemetar. Ada perubahan wujud anggota badan. Ada mulut yang mengerang.
Aku berlari menembus hutan, napasku terengah-engah, aku mencoba melarikan diri dari hantu duniawi di sekitarku, yang seolah-olah memanggilku. Mengatakan, ayo bergabunglah dengan kami…
Namun, semakin dalam aku berlari ke hutan, suasana hutan semakin gelap dan semakin menggoda.
Beberapa pohon bergoyang bagaikan kekasih. Sementara, pohon-pohon lainnya dengan akar berbonggol dan cabang kurus, tampak seperti pemangsa. Mendekatiku. Mengejarku.
Ada yang mengejarku dalam kegelapan. Sesuatu yang bukan manusia.
Dan kini mulutnya tidak lagi mengeluarkan erangan. Mulut-mulut itu berteriak.
Pesta pora aneh di mana-mana berubah menjadi kekerasan. Bersimbah darah. Mengancam nyawa.
Detik demi detik berjalan dan kegelapan itu siap menyanderaku.
Seks akan mencekikku.
Saat aku merasakan ular akar yang melata di sekitar kakiku, aku tersandung dan jatuh ke lubang menganga di tengah hutan. Namun, sejatinya itu bukan lubang.
Itu adalah mulut. Dengan gigi tajam dan lidah hitam yang menjilati bibirnya, bersiap menelanku mentah-mentah.
Aku mencoba berteriak tapi suaraku terasa hilang.
Aku merasakannya.
Makin jauh.
Makin dalam.
Hingga aku menyatu dengan kedahsyatannya, kegilaan seksual… benar-benar menguasaiku.
***
Aku berkedip. Apa yang aku gambarkan?
Aku duduk di tepi sungai, dengan buku sketsa di tangan, aku memandang ke bawah, ada rasa tidak percaya akan karyaku sendiri. Aku telah menggambar sesuatu yang paling mengganggu…dan visi seksual.
Itu hanya bisa berarti satu hal: Sang Kabut akan datang.
Namun, sebelum aku memikirkan kabut itu atau gambarku lagi, suara tawa genit di dekatku mengalihkan perhatianku. Aku menoleh dan mataku tertuju ke arah sekelompok gadis, yang mengelilinginya.
Aiden Norwood.
Aku belum pernah berjumpa dengannya di sini sebelumnya. Bukan di tepi sungai tempat aku menggambar dan menjernihkan pikiran ini. Kamu tidak menemukan mayoritas jenis kami bercengkerama di sekitar sini.
Mengapa? Aku tidak tahu.
Mungkin ada perasaan menenangkan ketika kami selalu disangka liar. Mungkin airnya ketika masing-masing dari kami terbakar dengan api di dalamnya. Atau mungkin ini hanya tempat yang aku anggap sebagai milikku sendiri.
Tempat rahasia di mana aku bukan salah satu dari mereka. Di mana aku hanyalah aku, Sienna Mercer, seorang seniman otodidak berambut merah, usia 19 tahun. Gadis yang terlihat biasa saja.
Sang Alpha berjalan menuju air, mengabaikan sekelompok gadis yang mengikutinya. Dia tampak seperti ingin menyendiri. Itu membuatku penasaran. Itu membuatku ingin menggambarnya.
Tentu, aku tahu apa risiko menggambar Alpha. Namun, aku tak kuasa menahannya.
Aku mulai menggambarkan sosoknya. Tubuh setinggi nyaris dua meter, dengan rambut hitam legam yang kusut dan mata hijau keemasan yang tampak berubah warna setiap kali dia menoleh, Aiden adalah gambaran yang menimbulkan decak kagum.
Aku baru saja mulai melukis mata indah itu ketika dia menoleh dan mengendus.
Aku terdiam, goresan penaku terhenti. Bagaimana jika dia melihatku sekarang, bagaimana jika dia melihat apa yang aku gambar…
Namun, kemudian hatiku lega dibuatnya, dia kembali memandangi air, tenggelam lagi dalam lamunannya yang kelam. Meski dikelilingi banyak orang, sang Alpha terlihat seorang diri. Jadi aku menggambar sosoknya sendiri.
Aku terus memperhatikannya dari jauh. Aku belum pernah sedekat ini. Namun, sekarang aku bisa melihat bagaimana bisepnya menonjol dari bajunya, bagaimana tulang punggungnya melengkung untuk mengakomodasi perubahan wujudnya.
Seberapa cepat dia bisa berubah, aku membayangkannya. Dia membungkuk, matanya menyelidik seperti mata binatang buas, sampai di sini sepertinya dia sudah setengah jalan.
Seorang pria, ya. Namun, lebih dari itu, dia manusia serigala.
Rupanya yang elok mengingatkanku bahwa Kabut semakin dekat. Itu adalah masa ketika setiap manusia serigala dari usia 16 tahun hingga yang lebih tua menjadi gila karena nafsu, musim di mana semua orang—dan maksudku semua orang—bercinta seperti orang kesetanan.
Sekali atau dua kali setahun, rasa lapar yang tak terduga ini, kebutuhan fisik ini akan merasuki kami semua di dalam kawanan.
Mereka yang tidak memiliki jodoh malah menemukan jodoh sementara dan bermain-main sepuasnya.
Pada kenyataannya, tidak ada seorang pun di kawanan itu yang masih perawan pada usia di atas 16 tahun.
Melihat Aiden sekarang, aku bertanya-tanya apakah rumor yang beredar seputarnya benar.
Apakah itu salah satu alasan dia ada di sini, mengabaikan gadis-gadis itu, merenung di tepi sungai.
Kabar-kabar yang berembus mengatakan sudah berbulan-bulan sejak Aiden membawa wanita ke tempat tidurnya, dia menjauhkan diri dari semua orang.
Mengapa? Jodoh rahasia? Tidak, gosip-gosip di kawanan itu pasti sudah mengendusnya sejak lama.
Lalu mengapa? Apa yang akan terjadi dengan Alpha kita tercinta jika dia tidak memiliki jodoh saat Kabut melanda?
Itu bukan urusanmu, aku menegur diriku sendiri. Apa urusannya bagiku dengan siapa Aiden mabuk kepayang?
Dia 10 tahun lebih tua, dan seperti kebanyakan manusia serigala, hanya tertarik kepada seseorang yang seusianya.
Bagi Aiden Norwood, Alpha dari kawanan terbesar kedua di Amerika Serikat, aku ini bukan siapa-siapa. Aku ingin meninggalkan romantisme masa sekolahku, aku merasa lebih baik seperti itu.
Michelle, sahabatku, sudah mati-matian mencarikanku teman bercinta. Dia sudah menjalin suatu ikatan sebelumnya, seperti yang biasa terjadi di antara serigala yang belum berjodoh sebelum Kabut datang.
Dia mencoba menjodohkanku dengan tiga teman kakak laki-lakinya, semuanya tampak sangat baik dan berterus terang bahwa mereka menganggapku cocok untuk bersenang-senang, Michelle tidak mengerti mengapa aku menolak mereka.
“Uhh.” Aku hampir bisa mendengar suara Michelle bergema di kepalaku.
“Kenapa kamu selalu memilih-milih, gadis cantik?”
Karena sebenarnya, aku punya rahasia.
Pada usia 19 tahun, aku adalah satu-satunya serigala betina perawan di seluruh kawanan kami. Aku telah melalui tiga musim, dan tidak peduli seberapa gilanya aku dengan seks, aku tidak pernah menyerah pada keinginan jasmaniku.
Aku tahu. Rasanya aneh jika peduli dengan “perasaan” dan “pertama kali”, tetapi aku menghargai kesucianku.
Bukan karena aku pemalu. Dalam pergaulan kami, tidak ada hal seperti itu. Namun, tidak seperti kebanyakan gadis, aku menolak untuk menetapkan hubungan sampai aku menemukan jodohku.
Aku akan menemukannya.
Aku menyimpan keperawananku untuknya.
Siapa pun dia.
Aku terus membuat sketsa Alpha ketika aku menengadah dan melihatnya, aku terkejut dan rasa ketakutan merasukiku seketika, dia tidak ada di sana.
“Lumayan.” Aku mendengar suara rendah di sampingku. “Namun, mata itu boleh juga diberi sedikit sentuhan.”
Aku berbalik untuk melihatnya, dia berdiri tepat di sampingku, menatap sketsaku…
Aiden.
Sialan.
Norwood.
Sebelum aku bisa mengatur napas, dia mendongak dan mata kami saling berpadu. Aku menegang, menyadari bahwa aku melakukan kontak mata langsung, dan segera membuang muka.
Tidak ada orang waras yang berani menatap mata sang Alpha.
Tatapan itu hanya bisa berarti 1 dari 2 hal: kau menantang dominasi Alpha—alias permintaan kematian. Atau, kau mengajak Alpha untuk berhubungan seks.
Karena aku juga tidak berniat dengan keduanya, satu-satunya pilihanku adalah memalingkan muka sebelum terlambat dan berdoa agar dia tidak salah mengartikan pandanganku.
“Maafkan aku,” kataku pelan, sekadar untuk mengamankan diri. “Kau mengejutkanku.”
“Aku minta maaf,” katanya. “Aku tidak bermaksud mengagetkanmu.”
Suara itu. Meskipun yang terlontar adalah kata-kata paling sopan yang pernah kudengar, kata-kata itu terasa sarat dengan ancaman. Setiap saat, dia mungkin bisa merobek tenggorokanku dengan gigi-gigi manusianya yang tersembul.
“Tidak apa-apa,” katanya. “Sungguh. Aku tidak akan menggigit…sering.”
Aku begitu dekat dengannya sehingga bisa menjangkau dan menyentuh otot-ototnya yang menonjol dan kulitnya yang keemasan. Aku mengangkat mataku dan menatapnya sekilas.
Wajahnya yang brutal dan bergerigi sepertinya tidak menarik, tapi ternyata tampan juga. Alis tebalnya yang terasa kasar jika disentuh, menunjukkan bentuk manusia serigalanya.
Dan hidungnya, meskipun sedikit bengkok—kemungkinan besar patah dalam beberapa perkelahian di masa lalu—tidak bisa mengurangi penampilannya yang begitu seksi.
Alpha mencoba lebih mendekatiku seolah-olah ingin mengujiku. Aku bisa merasakan helai demi helai bulu di tubuhku berdiri karena rasa gelisah. Atau… apakah itu godaan?
“Lain kali jika kau menggambarku,” kata Aiden, “mendekatlah.”
“Oh…o…oke,” aku tergagap seperti orang idiot.
Dan kemudian, secepat kemunculannya yang tiba-tiba, Aiden Norwood berbalik dan pergi, meninggalkanku di tepi sungai sendirian. Aku menghela napas, merasakan setiap otot di tubuhku melemas.
Aneh rasanya melihat Alpha keluar sehari-hari dari Rumah Kawanan, markas untuk semua kegiatan kawanan. Sebagian besar dari kami menjumpai Alpha di pertemuan atau pesta. Selalu dalam acara yang formal.
Apa yang terjadi di sini hari ini jarang terjadi.
Aku bisa melihat, dari tatapan cemburu para penggemar Aiden yang membuntutinya ke sini, yang tidak aku pedulikan, bahwa ini bisa dengan cepat lepas kendali.
Bahkan sedikit saja interaksi dengan seorang wanita, terutama gadis muda jelata seperti aku, akan cukup untuk membuat para betina paling nakal menjadi gelisah, memporak-porandakan dinding Rumah Kawanan hanya demi mencicipi sang Alpha.
Peristiwa besar pasti membuat Alpha stres. Dan alpha yang tertekan berarti alpha yang tidak berfungsi, yang berarti kawanan yang tidak berfungsi…kamu bisa bayangkan.
Tidak ada yang menginginkan itu.
Aku memutuskan, dengan sedikit cahaya mentari yang tersisa hari itu, akan menuntaskan menggambar untuk menjernihkan pikiranku. Hanya aku dan sungai yang penuh kedamaian ini.
Namun, yang bisa kusaksikan hanyalah mata Aiden Norwood.
Dan betapa salahnya aku menggambarnya. Alpha benar. Aku bisa melakukannya dengan lebih baik.
Jika bisa…aku ingin lebih mendekat. Namun, kapan aku bisa sedekat itu lagi?
Saat itu, aku belum tahu apa yang sekarang kuketahui. Bahwa dalam beberapa jam, Kabut akan dimulai.
Bahwa aku akan menjadi binatang yang gila bercinta. Dan Aiden Norwood, Alpha dari Kawanan Pantai Timur, akan memainkan peran yang sangat penting dalam kebangkitan seksualku…
Itu sudah cukup untuk membuat seorang gadis melolong.
Baca selengkapnya di aplikasi Galatea!
2
Kamu tidak bisa memutuskan kapan dan di mana Kabut menerpamu.
Kamu sedang berkendara? Lebih baik menepi dengan cepat atau kamu bisa menyebabkan kecelakaan 50 mobil.
Sedang bekerja? Catatkan kepulanganmu di mesin absensi dan berlarilah ke perbukitan atau kamu dan bosmu mungkin bisa menjadi lebih dari sekadar rekan kerja.
Saat aku duduk untuk makan malam, aku berdoa agar itu tidak menimpaku saat aku bersama keluargaku—tempat yang paling buruk, dalam pikiranku.
Ketika aku membantu mengatur meja dan menyajikan sepiring lasagna buatan sendiri untuk Selene, aku melihat ke pintu belakang, kalau-kalau aku harus melarikan diri mendadak.
Aku duduk untuk bersantap bersama seluruh keluarga, yang sudah berada di tengah percakapan yang hangat.
“Ada apa, Jeremy?” kata ibuku, mengangguk kepada jodoh kakakku. “Kamu hampir tidak mengatakan sepatah kata pun sejak kamu datang. Bagaimana pekerjaanmu?”
“Kamu tidak perlu menjawabnya, Konselor,” kata Selene, menatap Ibu dengan tatapan jenaka.
“Yah”—Jeremy tertawa—”Jika kamu meminta gosip tentang kepemimpinan kita, Melissa, kamu tahu aku tidak bisa membocorkan informasi semacam itu.”
“Bahkan tidak mengangguk untuk mengonfirmasi atau menyangkalnya?”
“Ibu,” kata Selene. “Dia adalah Kepala Pengacara Kawanan. Tugasnya adalah menjaga rahasia mereka.”
“Namun…” Ibu menghela napas. “Aku tidak perlu tahu apa-apa tentang konsekuensi itu. Hanya obrolan ringan. Seperti…apakah benar Alpha dan Jocelyn kita bukan lagi sejoli dan sekarang dia berkencan dengan beta-nya, Josh?”
“ Ibu,” kata Selene dan aku serempak.
Jeremy menyeringai. “Aku tidak berkewajiban menjawab itu.”
“Oh, kalian tidak menyenangkan, kalian semua.”
Wanita itu bertingkah lebih seperti remaja daripada orang tua kedua putrinya. Namun, kami lebih mencintainya karena itu. Sepanjang masa.
“Kamu bisa bertanya kepadaku tentang pekerjaanku, begitulah,” kata Selene.
“Aku melakukannya, bukan?” Ibu balas sembari melahap lasagna. “Aku yakin sudah.”
Selene memutar matanya. Ibu selalu ingin Selene mengejar karier yang lebih stabil. Merancang busana, pikir ibuku, bukanlah pekerjaan. Itu adalah hobi.
“Satu hari, ada tren masuk, tren lain keluar,” katanya. “Begitulah kenyataan pada pakaian dan seluruh industri, Selene! Berpikirlah jangka panjang.”
Nah, sekarang Selene telah berhasil, dia membuktikan nasihat Ibu yang salah selama bertahun-tahun, dan secara aktif bekerja di salah satu perusahaan perancang busana terkemuka di kota itu.
Namun, Selene selalu mengabaikan hinaan Ibu begitu saja. Di setiap tingkatan, dia adalah versi aku yang lebih cantik, lebih pintar, dan lebih sukses.
Setiap kali aku mengatakannya dengan lantang, yang—sering kali—aku lakukan, Selene akan menyemangatiku dengan lembut dan hanya berkata, “Kamu masih muda, Si. Masih banyak waktu.”
Namun, terkait impianku, karier masa depanku sebagai artis terhebat di dunia, aku tidak pernah sabar. Suatu hari, aku akan membuka galeriku sendiri.
Suatu hari segera, aku berjanji kepada diriku sendiri. Aku tidak peduli apa yang Ibu katakan. Selene telah membuktikan bahwa Ibu tidak selalu benar dalam segala hal.
“Tidak apa-apa, Bu,” kata Selene, mengubah topik pembicaraan. “Gosip itu lebih menarik. Omong-omong soal…”
Mata Selene melirikku. Aku memberinya gelengan kepala tanpa suara. Jangan.
“Ada ide siapa yang mungkin menjadi jodohmu musim ini, Si?”
“Ooooh, ya,” kata Ibu, berbalik ke arahku. “Apa, atau haruskah kukatakan, siapa yang ada di menu tahun ini?”
“Serigala betina tidak pernah mengungkapkan rahasianya,” kataku, pura-pura malu.
Untuk sesaat, keluargaku benar-benar tampak seperti mereka akan ganti topik.
Aku punya cara untuk melakukannya—mengarahkan percakapan, mengambil kendali, memfokuskan perhatian kepada siapa pun kecuali kepadaku. Meskipun aku yang termuda, aku selalu memiliki kemampuan berwibawa itu.
Namun, ibuku menangkapnya.
“Lagi-lagi dia,” kata Ibu, menggelengkan kepalanya. “Si dominan kecil kita selalu membuat kita tunduk kepada keinginannya. Ayo, Si. Beri tahu kami. Kamu sudah punya teman laki-laki?”
“Beberapa dari kita suka menjaga kehidupan kita yang paling pribadi, Bu,” kataku.
Ibu mengangkat bahu. “Tidak ada yang perlu disembunyikan. Aku tahu ayahmu pasti menantikan Kabut tahun ini, kan, sayang?”
“Aku menghitung detik demi detik,” kata Ayah, mengangkat gelas anggurnya, tersenyum nakal.
“Semua. TOLONGLAH. Sangat menjijikkan.”
Itu menjijikkan, tentu saja. Namun, bukan itu alasan yang mengusikku. Ibuku selalu menjadi makhluk yang bebas secara seksual. Tidak, yang tidak aku sukai adalah kebohongannya.
Ketika aku mengatakan keperawananku adalah rahasiaku, aku bersungguh-sungguh. Bahkan ibuku pun tidak tahu.
Itu aneh, karena kami selalu terbuka dengan satu sama lain tentang segala hal. Dia tidak pernah menyembunyikan kebenaran dariku.
Baik tentang bagaimana dia bertemu Ayah, yang merupakan manusia. Baik tentang bagaimana mereka berdua memiliki putri satu-satunya, Selene. Dan tentu saja baik tentang bagaimana mereka menemukanku.
Mereka sebenarnya bukan orang tua kandungku.
Aku ditemukan di kereta dorong yang ditinggalkan di luar rumah sakit tempat ibuku bekerja. Bukan berarti itu penting, kata Ibu selalu.
Aku akan mengubah topik pembicaraan menjadi apa pun, apa pun selain Kabut ketika itu terjadi.
Aku mematung. Ada cairan yang menghangat dan berdenyut di dalam organ intimku, membuat tubuhku terasa seperti terbakar.
Napasku terasa sesak, keringat menutupi setiap inci kulitku, dan sebelum aku bisa menahannya, jahitan celana jinsku menekan ketat ke selangkanganku.
Aku gemetar karena kerinduan yang tiba-tiba dan tak tertahankan.
SIAL.
Helaan napas kasar keluar dari mulutku sebelum aku sempat menghentikannya, dan ketika aku membuka mata, yang terus terbelalak, aku melihat semua orang di ruang makan memiliki reaksi yang sama denganku.
Tidak, tidak, tidak.
Tidak di sini.
Tidak di sekitar keluarga.
Cara kakakku menatap Jeremy. Cara ibuku bangkit dari tempat duduknya, bersandar ke arah ayahku.
Aku tidak tahan. Aku berlari dari ruangan itu secepat kakiku bisa membawaku.
Dapur.
Lorong.
Pintu depan.
Dan keluar menembus malam yang dingin di mana aku jatuh berlutut.
Kabut menggerayangi tubuhku bagaikan ular berbisa. Puting susuku mengeras dan perutku bergidik, mengencang karena hasrat seksual.
Tenggorokanku tersumbat dan aku berjuang untuk bernapas. Bahkan di tengah embusan angin malam, di mana pakaian masih membalut tubuhku, aku ingin menanggalkannya.
Aku ingin tangan seseorang menyentuh buah dadaku, perutku, organ intimku…
Ya Tuhan. Kabut tidak pernah sekuat ini.
Mungkin itulah akumulasi dari setiap kebutuhan seksual dan frustrasi yang telah kupendam selama tiga musim terakhir.
Aku sewajarnya menduga itu. Tentu saja ini akan terjadi. Apa yang telah aku pikirkan? Aku tidak menghiraukannya. Dan sekarang aku harus menebusnya.
Aku melihat ke belakang rumahku, tempat di mana aku biasanya menemukan keamanan dan kenyamanan. Namun, tidak sekarang. Tidak mungkin. Orang tuaku mungkin sudah memanfaatkan Kabut dengan sebaik-baiknya.
Bayangan Selene dan Jeremy tidak jauh lebih baik. Namun, mereka bertindak lebih seperti manusia, tidak seperti serigala—menghargai batasan, privasi, norma sosial.
Mereka mungkin akan berhasil kembali ke apartemen mereka di pusat kota sebelum akhirnya bertindak mengikuti dorongan itu.
Aku menyingkirkan mereka semua dari pikiranku dan berlari ke jalan setapak menuju hutan.
Aku melewati manusia-manusia, yang sama sekali tidak menyadari, mereka asyik dengan urusan mereka sendiri, dan beberapa serigala yang, seperti aku, berada di tahap pertama Kabut dan aku mencoba mengikuti jejak mereka.
Lebih mudah bagi mereka. Mereka tidak perawan. Mereka banyak berhubungan seks selama musim lalu. Bukan aku. Aku membuang pikiranku yang kotor itu.
Di pintu masuk hutan, aku menanggalkan pakaianku. Aku tidak peduli jika ada yang melihatku. Aku harus berubah wujud.
Di sini.
Sekarang.
Biasanya, aku memegang kendali penuh ketika aku berubah, tetapi tidak ketika Kabut datang. Tidak. Aku tidak bisa tinggal dalam bentuk manusia ini lebih lama lagi.
Aku memejamkan mata dan merasakan kebahagiaan berubah.
Biasanya, aku akan merasakan setiap perubahan: anggota tubuh meregang, otot-otot menegang, tubuh tumbuh lebih tinggi, bulu merah, sama dengan rambut manusiaku, yang tumbuh dari kulitku membalut seluruh tubuhku.
Namun, tidak sekarang. Sekarang, aku tidak merasakan apa-apa selain Kabut.
Aku menarik napas dan suaraku menggeram. Jari-jariku, sekarang ditumbuhi cakar hitam pekat. Melalui mata serigala, semuanya lebih agresif, lebih kejam.
Terutama sekarang. Saat Kabut baru saja dimulai.
Sekarang dalam bentuk serigala sempurnaku, aku berlari jauh ke dalam hutan.
Angin dingin menerpa bagian atas buluku, tanah yang keras lembap di bawah kakiku, dan aroma hutan memenuhi hidungku.
Lolongan bergema di hutan. Suara dari mereka yang tidak memiliki jodoh. Mereka yang sedang mencari pasangan.
Aku mengumpat dalam hati. Dalam Kabut-ku, aku lupa memikirkan dampaknya.
Masuk ke hutan di awal musim bagaikan memohon untuk ditiduri. Hutan ini bagaikan jeruji penjara. Semua haus dan memiliki hasrat bodoh.
Detik demi detik, para serigala akan mengendus aromaku dan menyadari bahwa aku belum ada yang memiliki. Mereka akan menguntitku hingga aku menyerah. Lebih dari seekor, aku yakin itu.
Sebuah permainan, sebuah tantangan, bagi siapa saja yang bisa menaklukkan lebih dulu serigala betina yang tidak berjodoh.
Bahkan jika tubuhku menginginkan yang berbeda, aku tidak akan menyerah begitu saja. Serigala-serigala ini bisa berhubungan seks sebanyak yang mereka inginkan. Aku tidak menghakimi. Namun, aku sedang menunggu.
Menunggu saat itu datang, sesegera itu, tatapan pengakuan yang tiba-tiba tak terlukiskan ketika dua manusia saling melakukan kontak mata dan tahu bahwa mereka adalah jodoh seumur hidup.
Aku tidak sabar menunggu hal itu terjadi kepadaku.
Namun, di sini, di hutan saat awal Kabut? Itu tidak mungkin, begitulah setidaknya.
Aku menjadi sangat menyadari kehadiran serigala jantan, setiap gerakan mereka, aroma mereka.
Aku berlari tanpa rasa khawatir, melepaskan feromon ke udara, memikat mereka lebih dekat. Dan segera aku tahu mereka akan membuatku terpojok.
Ada lima dari mereka. Semuanya serigala jantan yang lapar.
Tubuhku menyukainya. Oh, sungguh.
Untuk sesaat, aku bertanya-tanya apakah ini akan menjadi tahunnya?
Akankah aku akhirnya menyerah? Apakah aku akan memberikannya sekaligus kepada lima serigala jantan itu? Haruskah aku akhirnya kehilangan keperawananku, di sini, sekarang, di tengah hutan?
Saat Kabut menerpa dan semua keinginan menunggu jodohku mulai mencair, aku bertanya kepada diriku sendiri, apa yang bisa menghentikanku? Sejujurnya? Aku pun menginginkannya.
Benar, bukan?
Baca selengkapnya di aplikasi Galatea!