Lyla pergi ke Pertemuan Raya kawanan di jantung Mississippi, dengan harapan tipis akan menemukan jodohnya. Zaman sekarang, jodoh sulit ditemukan, dan jujur saja, Lyla lebih senang bersama cinta masa kecilnya. Saat Panggilan Kawin dimulai di bawah bulan purnama, Lyla mengikuti lolongan yang membuat bergidik, menuntunnya ke jodoh sejatinya—Sebastian, sang alpha kerajaan. Akankah Lyla menerima takdirnya sebagai luna kerajaan, atau dia akan tetap bersama kekasih lamanya yang masih memiliki tempat di hatinya?
Rating Usia: 18+
Panggilan Sang Alpha – Bianca Alejandra

Aplikasi ini telah menerima pengakuan dari BBC, Forbes dan The Guardian karena menjadi aplikasi terpanas untuk novel baru yang eksplosif.

Baca selengkapnya di aplikasi Galatea!
1
“Cium aku lebih dalam,” pintaku.
Caspian menurut, menempelkan bibirnya ke bibirku. Lidah kami terjerat dalam kenikmatan.
Dia berada di atasku, pinggulnya menekan keras ke pinggulku. Aku bisa merasakan kemaluannya mengeras, dan itu membuatku semakin bergairah.
“Astaga, Lyla.”
Kaki Caspian meluncur di antara pahaku, kejantanannya berdenyar dari dalam celana jinsnya. Semua terasa sangat pas, tetapi waktunya salah.
Mungkin seharusnya aku tidak setuju bertemu dengannya untuk terakhir kalinya sebelum perjalanan besar kami esok…
Jeritan mengagetkan terdengar hingga ke dalam mobil, membuat kepalaku terbentur kepala Caspian.
“Itu hanya dari film,” katanya, menggosok benjolan merah yang terbentuk di dahinya.
Suara terengah-engah.
Langkah yang bergegas.
Sebuah geraman yang mengerikan.
Film horor mengerikan sedang diputar di layar raksasa… cerita konyol tentang makhluk mengerikan yang menyerang kota kecil.
Aku menatap Caspian dan tersenyum. “Beginilah kalau kau mengajakku ke sini. Kau kan tahu aku tidak tahan film-film horor.”
Dia membungkuk dan menciumku dengan cepat.
“Dan apa lagi yang lebih menakutkan daripada menonton film horor dengan manusia serigala?” Senyum jahatnya melebar, dan aku berpura-pura takut.
Caspian pacarku dan putra beta kawanan kami.
Kami sudah berteman sejak kecil…tapi aku menaksir dia dari dulu. Dan aku bukan satu-satunya.
Seingatku, teman-temanku suka menggambar sosok Caspian di buku catatan mereka.
Dia badut kelas, dan dia punya energi magnet yang membuat orang tertarik kepadanya.
Namun, aku tidak pernah mengakui pernah naksir dia. Aku merahasiakan perasaanku, mungkin karena saat itu aku menyadari betapa seriusnya perasaan itu.
Jadi dua tahun lalu, pada malam yang menentukan, ketika Caspian memberitahuku kalau dia juga menaruh perasaan kepadaku, aku jadi gadis paling bahagia di dunia.
Dan sejak saat itu, kami tak terpisahkan.
Meskipun ayahnya, beta kawanan, tidak setuju, kami sangat bahagia bersama.
Aku tidak pernah bosan dengan caranya menatapku dengan mata cokelat yang hangat itu…
Atau caranya mencium leherku seperti itu. Saat tokoh film wanita berteriak di layar, aku merasakan adrenalin mengalir.
Caspian terus menciumi tulang selangkaku sampai kemejaku menahannya. Tangannya menyelinap di bawah braku, membelai putingku yang keras.
Pinggulnya bergerak maju mundur, memberikan tekanan lembut. Aku mendesah.
“Tidak di sini,” aku memperingatkan sambil menarik tubuhnya lebih erat ke tubuhku.
“Mengapa tidak?” dia berbisik ke telingaku. “Hanya kau yang kupikirkan…”
Aku menciumnya dan menarik tangannya dari balik bajuku.
“Kau mencintaiku atau ingin meniduriku?”
“Keduanya. Dua hal itu tidak saling eksklusif.”
“Mulai sekarang, buatku keduanya eksklusif.”
Meskipun kami sudah bersama selama dua tahun, kami belum pernah berhubungan seks. Bukannya aku tidak menginginkannya, tetapi aku menghormati adat budayaku.
Aku dan Caspian adalah manusia serigala dari Kawanan Bulan Biru. Dan sebagai manusia serigala, takdir kami terikat kepada jodoh sejati kami, yang—jika kami cukup beruntung untuk menemukannya—akan selamanya bersama kami.
Namun, selama beberapa dekade terakhir, semakin sulit menemukan jodoh sejati. Hal ini menyebabkan ada ratusan serigala tanpa jodoh mereka, dipaksa mencoba hubungan demi hubungan, dan sadar kalau mereka tidak bersama dengan jodoh yang ditakdirkan.
Pertemuan Raya dibuat sebagai tanggapan atas situasi ini, dan menyatukan kawanan sebanyak mungkin. Setiap tahun, ritual kawin berlangsung dengan tujuan mempertemukan jodoh sejati.
Kami berakhir menjadi pasangan seperti ini, dengan pinggul menempel di jok belakang mobilnya, karena sudah kehilangan harapan.
Aku melihat mata Caspian menelan tubuhku. Dia bermandikan cahaya yang berkedip-kedip di layar film; berbagai warna menyinari kulitnya.
“Mari kita resmikan. Di sini, sekarang juga,” dia bersikeras, matanya tertuju kepadaku.
“Pertemuan Raya dimulai akhir pekan ini.”
“Namun, aku cinta kamu.”
Aku menghela napas. Rasanya sangat senang mendengar kata-kata itu. Namun, waktunya tidak bisa lebih buruk dari ini.
“Ritual kawinnya seminggu lagi, dan kita sudah menunggu selama ini. Bukan ide bagus untuk melakukan sesuatu sampai tahu pasti kalau kita tidak punya jodoh.”
Caspian mengerang dan menekan pinggulnya ke pinggulku untuk terakhir kalinya.
Aku merasakan gairah yang familier…keinginan yang tak terhindarkan untuk mengetahui seperti apa rasanya bercinta dengannya…
Dia membuka kancing jinsku. Kemudian ritsletingnya turun dan tangannya menyelinap di bawah celana dalamku.
Setelah beberapa kali meraba-raba, jari-jarinya menemukan intiku, dia menggosok dengan lembut, belum masuk ke dalam.
Astaga.
Aku mengepalkan jari-jariku, berpegangan erat ke bahunya.
“Aku tidak perlu ritual untuk memberitahuku yang sudah kuketahui,” bisiknya di telingaku. “Kaulah satu-satunya untukku, Lyla.”
“Kita setuju untuk menunggu,” aku mengingatkannya dengan napas tertahan.
Bibirnya mencium bibirku, dan tubuhku bergetar.
Aku berharap bisa seyakin Caspian, tapi setiap kali hampir menyerah, aku jadi sulit bernapas.
Bagaimana kalau jodoh sejatiku ada di luar sana?
Lebih baik menunggu sampai kita tahu pasti, kan?
“Sudah kuduga!”
Pintu belakang terbuka, dan mataku yang terbalik melihat Teresa, sahabatku. Dia menatapku antusias.
Dia menyapu sehelai rambut hitam dari wajahnya dan menyeringai, kulit cokelat mudanya menonjolkan senyum cemerlangnya.
“Kau terlambat untuk menginap, berengsek,” katanya, bersandar di pintu.
Aku mendorong Caspian dariku dan dengan cepat mengancingkan celanaku.
“Terima kasih, Teresa. Kau benar-benar tahu cara tepat merusak momen bagus,” gerutu Caspian.
“Aku gagal percaya SETIAP momen denganmu bisa menjadi sangat bagus,” jawabnya.
“Hei…” aku menoleh pelan, memperingatkannya.
Dia mengangkat tangan memberi tanda menyerah dan berjalan menjauh dari mobil, menuju mobilnya sendiri, yang diparkir tak jauh dari sini.
Teresa dan Caspian saling membenci selama ini.
Itu cukup menjengkelkan karena aku tidak bisa berdekatan dengan dua sahabatku secara bersamaan, tetapi sangat merepotkan mengingat ayah mereka adalah alpha dan beta.
“Aku mencintaimu,” katanya lagi sambil memperbaiki posisi kemaluannya.
“Aku juga mencintaimu,” jawabku, memberinya kecupan di pipi. “Sampai jumpa besok.” Aku turun dari mobil dan membungkuk agar bisa melihatnya. “Dan istirahatlah. Kita bisa melanjutkan yang tadi belum selesai. ”
Pintu mobil tertutup rapat, menyisakan sedikit penyesalan.
Aku sadar kalau seharusnya bahagia—Pertemuan Raya bisa menjadi awal dari kehidupan yang sama sekali baru.
Namun, itulah yang paling membuatku takut.
Bagaimana jika aku tidak menginginkan kehidupan baru?
Aku menyaksikan Teresa mencuri pacarku, meninggalkanku hanya dengan kejantanan ngilu dan film horor di teater kendara yang membosankan.
Satu-satunya hal yang tersisa untuk dilakukan hanya pulang dan bersiap-siap untuk Pertemuan Raya.
Aku yakin Ayah akan senang jika aku menemukan jodoh sejatiku.
Ada rasa jengkel yang melintas di benakku saat membayangkan upacara yang dibesar-besarkan itu. Suara ayahku bergema di benakku, sebuah ceramah yang sering dia ulang:
Dewi Bulan akan menunjukkan jodoh sejatimu, Caspian. Jangan terikat kepada Lyla. Ada hal-hal lebih baik untukmu di luar sana.
Aku tidak membutuhkan Dewi Bulan untuk memberitahu keinginanku.
Aku tahu persis apa—atau siapa—itu.
Namun, sayangnya Lyla sama terobsesinya dengan Pertemuan Raya seperti ayahku.
Kami sudah saling mencintai.
Itu saja yang perlu kuketahui.
Namun, ternyata tidak cukup bagi Lyla…
Aku menghela napas, memundurkan mobilku dan meluncur keluar dari teater kendara sebelum jadi sedih.
Jika itu membuat Lyla bahagia, aku akan mengikuti apa maunya.
Tidak ada yang menemukan jodoh mereka di Pertemuan Raya zaman sekarang…
Teresa dan aku tiba sampai di rumahku jauh melewati waktu tidur orang tuaku biasanya. Aku terkejut melihat mereka duduk sambil tersenyum saat kami masuk ke dapur.
“Kau tidak perlu menunggu kami,” kataku.
“Kami ingin mengucapkan perpisahan malam ini, mengingat kamu akan pergi pagi-pagi besok,” kata ibuku mengantuk.
Aku bertanya-tanya tentang ritual pertama mereka. Betapa takutnya mereka—ketidakpastian akan masa depan menjadi kecemasan di benak mereka.
Orang tuaku adalah pasangan kekasih SMA sebelum mereka berjodoh. Mereka selalu berharap ditakdirkan untuk satu sama lain.
Dan benar.
Pertemuan Raya telah mengonfirmasi hubungan mereka selama ini. Hidup mereka hanya berisi cinta dan kebahagiaan. Hanya itu yang mereka ketahui sebagai jodoh.
Mereka mengalami situasi persis seperti aku dan Caspian.
Namun, apa kami juga akan bahagia?
Aku mencintai Caspian. Sejak masih kecil, sepertinya kami ditakdirkan bersama.
Akankah Dewi Bulan melihat hal-hal dengan cara sama dan menunjukkan kepada kami kalau kami berjodoh?
Caspian sepertinya berpikir begitu…
“Aku pasti menjaga Lyla dengan baik,” kata Teresa. “Aku tahu dia akan membuat kalian bangga.”
“Kalian berdua akan membuat kami bangga,” jawab ibuku.
Aku begitu terperangkap dalam kekhawatiranku sendiri sehingga hampir lupa betapa pentingnya ritual kawin bagi semua orang yang terlibat.
Hasil Pertemuan Raya akan bermakna sama bagi seluruh kawanan, seperti halnya bagi setiap manusia serigala.
Tak seorang pun dari kawanan kami telah dikawinkan selama sepuluh terakhir.
Semakin sedikit pasangan yang dikawinkan, berarti anak yang lebih sedikit.
Apalagi pasangan yang dikawinkan biasanya tidak memiliki lebih dari satu anak serigala..
Orang tuaku sebuah pengecualian, dan adikku yang berusia sembilan tahun, Skye, menjadi anggota termuda kawanan kami.
Masa depan kolektif kami bergantung kepada penyatuan jodoh untuk membantu spesies kami bertahan.
Orang tuaku memberi kami masing-masing pelukan dan ciuman terakhir sebelum naik ke lantai atas.
Teresa memperhatikan mereka pergi sambil tersenyum.
Mengamati sahabatku, aku menyadari kalau hubunganku dengan Caspian bukanlah satu-satunya hal yang belum jelas.
Bagaimana jika hal-hal berubah di antara kami ketika kami menemukan jodoh?
Minggu depan berisi satu tanda tanya besar.
Kemudian Teresa berbalik dan tersenyum nakal kepadaku, dan aku tahu satu hal yang pasti: kami akan selalu ada untuk satu sama lain. Tidak peduli apa hasil ritual minggu depan.
***
“Rasanya aku akan muntah,” gerutuku saat mobil berbelok ke jalan berkerikil lain.
Kami berangkat lebih awal, dan Teresa bersikeras mengemudi sepanjang hari.
Awalnya aku dengan mudah mengizinkannya; pikiranku terfokus pada terlalu banyak hal lain. Namun, setelah beberapa jam, aku menyesal menyetujuinya.
“Oh, dasar manja,” katanya, menekan pedal gas. “Kalau tidak segera sampai di sana, kita akan terlambat untuk pidato pembukaan!”
Perutku melilit saat dia mengabaikan tanda berhenti.
“Kau selalu terlambat,” kataku menahan kesal.
Aku tidak bisa menyalahkan semuanya pada Teresa. Pertemuan Raya membuatku mual. Aku tidak tahu apa yang diharapkan dari sini.
Caspian, Teresa, dan aku baru saja menginjak usia 21 tahun, tahun pertama kami diizinkan hadir.
Faktanya, hampir setiap serigala yang pergi dari Kawanan Bulan Biru akan pergi untuk pertama kalinya.
Namun, kebanyakan dari kami akan kembali sendirian.
Setidaknya aku tidak akan menjadi satu-satunya yang tersisa tanpa jodoh…
“Itu dia!” Teresa tersentak, dan aku mengikuti pandangannya ke ujung jalan.
Tersembunyi di balik beberapa pohon elm dan pohon belalang hitam yang tinggi, di sebuah bukit yang menghadap ke daerah itu, tampak sebuah rumah besar bergaya arsitektur antebellum.
“Rumah Kawanan Kerajaan?” Aku menduga.
Teresa pernah berkunjung sekali, bertahun-tahun yang lalu, untuk urusan bisnis kawanan dengan ayahnya, dan mengeklaim kalau dia telah jatuh cinta.
Tidak hanya dengan rumah itu, tetapi juga dengan alpha, Sebastian. Menurutnya, pria itu adalah “pria terseksi yang pernah ada”.
“Rumahnya indah, ya?” Teresa menghela napas. “Siapa pun yang dikawinkan dengan Alpha Kerajaan akan sangat beruntung.”
“Mungkin dia tidak akan menemukan jodoh.”
“Pembicaraan seperti itu membuat depresi,” kata Teresa acuh. “Pikirkan hal-hal bahagia. Kalau jejaka Kerajaan bukan motivasimu, aku tidak tahu apa lagi yang bisa. ”
Aku mendelik dan memutuskan untuk memanjakan fantasinya, meskipun hanya untuk seminggu. “Kau berada di urutan berikutnya untuk menjadi alpha kawanan kita. Jika ada yang berpeluang dengan Sebastian, itu kau.”
“Kau tidak pernah tahu,” katanya, menyalakan lampu tanda bahayanya. “Mungkin aku akan memanggil kamu Luna Kerajaan di akhir Pertemuan Raya.”
Aku mendengus. Dia pikir semudah itu.
Aku mungkin satu-satunya gadis di Pertemuan Raya yang tidak tertarik kepada Sebastian. Selera humor Dewi Bulan pasti buruk kalau menjodohkan aku dengan Alpha Kerajaan.
“Terserah. Kita sudah sampai?”
“Astaga, ya. Tenangkan dirimu,” kata Teresa sambil berbelok di tikungan lain.
Seolah-olah ada sulap, sebuah rumah besar bergaya Italia muncul. Sebuah rawa kecil tepat di belakangnya memberikan nuansa Mississippi yang sesungguhnya.
Hotel Fleur de Lis.
Kami berhenti di tempat parkir dan keluar untuk meregangkan tubuh.
“Sudah kubilang aku akan membawa kita ke sini tepat waktu,” dia membual.
“Dan utuh juga!” seruku, mengeluarkan tasku dari bagasi.
Aku melihat sekeliling tempat parkir, mencoba mengidentifikasi mobil yang kukenal. Mobil Alpha Hugo tidak jauh dari kami. Dan mobil Beta Alexander diparkir di sampingnya.
Itu berarti Caspian sudah ada di sana.
Mungkin minggu depan, ketika tahu pasti kalau kami bukan milik orang lain, akhirnya kami bisa berduaan lagi.
Lalu dia akan berusaha keras berterima kasih kepadaku karena membuatnya menunggu begitu lama.
Aku tersenyum membayangkan ingin melupakan semua ini dan kembali ke kehidupan dan rutinitas lama. Meredakan kekhawatiran yang bersarang di diriku.
Kami masuk dari pintu depan ke lobi dan dilanda suasana cemas.
Alpha Hugo dan Beta Alexander berada di tengah keributan, ekspresi mereka serius sambil meneriakkan perintah.
“Ayah?” Teresa berkata saat kami mendekat, dirinya beralih ke mode alpha-dalam-pelatihan.
“Oh, Nak, syukurlah.” Alpha Hugo memeluk kami. “Kami mulai khawatir.”
“Mengapa?” Teresa bertanya. “Apa yang sedang terjadi?”
“Aku sudah mengadakan rapat darurat,” jelasnya. “Segera ke ke kamar hotel kalian, lalu bergabunglah dengan kawanan kita di ruang tamu utama. Ada serangan di perbatasan Kawanan Kerajaan.”
“Serangan?” Aku bertanya.
“Kami akan menjelaskan lebih lanjut nanti,” kata Alpha Hugo. “Pergilah sekarang, temui yang lain.”
Teresa dan aku berjalan ke ruang tamu utama, menerobos kerumunan manusia serigala lainnya. Ada banyak kawanan lain yang berkumpul di sana, dan mereka semua telah mendengar berita .
Teresa menyenggol lenganku dan mengalihkan perhatianku ke puncak tangga besar. “Ya, lihat siapa itu,” dia bergumam.
Aku berjinjit, menjulurkan leherku ke kerumunan untuk melihat sekilas.
Alpha Kerajaan.
Sebastian.
Teresa benar. Dia benar-benar tampan.
Rambut pirangnya disisir ke belakang, kaus hitam ketatnya nyaris tidak membatasi otot-otot yang beriak di bawahnya, dan rahang tajam seolah mampu membelah batu.
Dan matanya…
Matanya berwarna biru elektrik, dan aku syok saat kami saling bertatapan.
Dia menyeringai kepadaku, dan sikap angkuhnya mengirim sensasi tajam ke tulang punggungku.
Astaga.
Tiba-tiba berita tentang serangan jahat bukanlah hal paling mendesak di pikiranku…
Karena ada sensasi baru yang menekan di antara kedua kakiku.
Tak kukira seluruh situasi ini bisa menjadi lebih rumit…
Baca selengkapnya di aplikasi Galatea!
2
“Seperti yang telah kalian dengar, ada serangan di perbatasan Kawanan Kerajaan,” Alpha Hugo mengumumkan kepada Kawanan Bulan Biru.
“Namun, Alpha Sebastian secara pribadi meyakinkanku ancaman telah dinetralkan, dan ritual akan berlanjut sesuai rencana.”
Teriakan dan siulan anggota kawanan kami memenuhi ruangan.
“Sekarang, seperti yang kalian semua tahu, minggu ini mungkin menjadi masa terpenting dalam hidup kalian,” lanjut Alpha Hugo.
“Perayaan dimulai dengan pesta koktail malam ini, dan panggilan kawin tinggal dua malam lagi. Di sana kalian akan tahu Dewi Bulan telah memberkati kalian dengan jodoh atau tidak. ”
Dia melihat sekeliling kepada kami semua dan tersenyum.
“Aku bangga dengan kalian semua. Jadilah dirimu sendiri. Cobalah untuk tidak gugup, karena rencana Dewi Bulan di luar kendali kalian. Bersenang-senanglah minggu ini.”
Yang benar saja.
“Satu hal lagi sebelum kalian pergi,” Beta Alexander menimpali, melangkah maju. Tatapannya tertuju kepadaku. “Jika saat ini kalian sedang menjalin hubungan dengan orang lain yang hadir di sini, untuk menghormati acara sakral ini, harap seminimal mungkin menunjukkan kemesraan.”
“Cas,” aku memanggilnya ketika kerumunan mulai menghilang di sekitar kami. Melepaskan lengannya, aku mundur untuk memberi jarak di antara kami.
“Kurasa ayahmu benar,” kataku kepadanya. “Mungkin kita harus istirahat dulu.”
Senyum Caspian memudar. “Kau ingin istirahat untuk Pertemuan Raya?”
“Ya,” jawabku sambil meringis, berharap bisa menyelesaikan pembicaraan ini secepat membuka plester. “Bukannya tidak bisa menghabiskan waktu bersama, tapi menurutku kita harus menjadi teman, bukan…kekasih.”
Caspian menggigit bibirnya dan mengangguk.
“Ini cuma seminggu. Sesulit apa, sih?” Aku bergegas.
“Aku tidak merasa kau ingin aku menjawab itu,” jawabnya.
Ketika menatap pacarku, aku menyadari kalau dia ada benarnya.
Jika salah satu dari kami menemukan jodoh di Pertemuan Raya, maka kami tidak akan pernah bersama lagi.
Aku mungkin tidak akan pernah mencium Caspian lagi.
Membayangkannya saja membuat perutku mual.
“Hei.” Suara Caspian membawaku kembali. Dia telah tenang kembali, dan menyentuh lenganku.
“Aku mengerti maksudmu. Kita akan bisa melewati ini, oke?”
Dia memberiku senyum santai yang kusukai.
Meskipun Caspian terluka dan bingung, dia memastikan untuk menghibur aku.
Dan itu sangat berarti, lebih dari yang bisa kuungkapkan.
“Terima kasih,” bisikku.
Dia menarik kembali tangannya dan tersenyum sekali lagi sebelum berbalik dariku.
Aku memandang Caspian pergi, bertanya-tanya mengapa rasanya seolah dia membawa sepotong hatiku bersamanya.
***
Tak lama kemudian, Teresa dan aku menuruni tangga besar hotel. Pesta sudah mulai.
Namun, aku sangat cemas.
“Lihat ini, Ly!” Teresa berseru. Lobi telah benar-benar berubah. Bola disko memantulkan marmer putih dan aksen emas, dan ruangan penuh dengan serigala yang sedang bersenang-senang.
Aku berharap kalau saja aku bisa begitu santai.
Banyak serigala memutuskan tetap melajang sampai upacara kawin pertama mereka untuk menghindari emosi berantakan seperti yang kuhadapi saat ini.
Teresa menggamit lenganku dan menyeretku ke bar.
Sementara dia memesan minuman untuk kami, aku melihat pemandangan di sekitar.
Aku hanya beberapa jam berkendara dari kampung halamanku, tetapi merasa seperti berada di dunia yang sama sekali baru.
Dunia kekayaan, kekuasaan… dan penuh dengan kemungkinan.
Lagu-lagu kuartet jazz diputar di bar, dan bas dalam musik dansa terdengar dari ujung ruangan.
Acara meluap ke teras belakang, yang ditutupi kanopi lampu berkelap-kelip.
Peserta acara ini itu masih muda dan tampil keren. Meskipun kami semua tinggal di Amerika Serikat, tamu-tamu lain tampak eksotis bagiku.
Ada sekelompok pria berkulit sawo matang dengan rambut panjang dan kalung cangkang puka yang langsung kukenali sebagai Kawanan Gelombang Pasang.
Aku melihat seorang gadis kutu-buku-tapi-modis bergabung dalam percakapan mereka. Dia menyentuh kacamata berbingkai kawatnya dan wajahnya merona sesaat.
Kawanan Pusaka dari New England, tebakku.
Aku merasakan seperti ada yang memandangku, jadi aku berbalik ke tangga besar… dan kemudian membeku.
Sebastian, sang Alpha Kerajaan, tidak bergeming saat mata kami bertemu. Namun, tatapan biru esnya mengejutkanku.
Lengannya yang kuat disilangkan, kemeja kancingnya digulung hingga siku. Aku tidak bisa berpaling, bertanya-tanya mengapa ada orang yang terlihat begitu serius di sebuah pesta.
Kemudian tatapan Sebastian berpindah ke tempat lain di antara kerumunan.
Aku mencoba kembali tenang, mengutuk jantungku yang berdebar kencang. Alpha tidak memandangku, dia hanya memandang sekilas ke wajahku.
Aku menarik napas dalam-dalam. Tenanglah, Lyla. Ada ratusan orang di pesta.
Lebih banyak yang bisa dilihat selain seorang alpha yang moody.
Segerombol orang berjiwa bebas dengan pakaian bergaya eklektik penuh payet, masuk dari teras, dan aku bertanya-tanya siapa mereka itu.
“Kawanan Hidup Cepat, dari Las Vegas.”
Aku menoleh untuk mendapati mata cokelat Caspian yang tersenyum.
Jantungku berhenti berdetak. Apa Caspian melihatku menatap Sebastian?
“Aku baru saja merokok bersama mereka di teras,” tambahnya sambil mengedipkan mata.
Jawaban itu kuanggap artinya tidak.
Aku mendengus tertawa. Kegugupan yang kurasakan karena melihatnya di sini segera menghilang.
“Hai, Asspian,” sapa Teresa, memberikanku minuman berwarna hijau terang.
“Teresa, kau sebenarnya tidak jelek-jelek amat,” jawab Caspian dan Teresa mendelik. “Itu minuman apa?”
“Alkohol terkuat yang ada. Mereka menamainya 'rawa'.”
Aku meneguk—dan tersedak. Minuman itu tidak hanya kuat, tapi sekeras radioaktif.
“Aku juga butuh segelas,” gumam Caspian sambil berbalik ke bar.
Aku mengangkat gelas untuk bersulang ke gelas Teresa.
“Untuk minggu terbaik dalam hidup kita,” dia bersulang.
“Untuk teman-teman yang membantu kita melewatinya,” jawabku.
Kami masing-masing meneguk kembali isi gelas, meskipun aku hanya bisa menyesapnya.
“Astaga, pria-pria dari Kawanan Bintang Tunggal pasti yang terseksi,” seru Teresa sambil melirik sekelompok koboi berpakaian denim. “Mereka menuju ke lantai dansa!”
Teresa menyeret tanganku dan Caspian mengikuti kami.
Musik elektronik semakin keras saat kami mencapai ambang pintu, dan kemudian kami melangkah ke ruang besar yang penuh dengan manusia serigala yang berdisko.
Lampu menyala di sekitar kami saat Teresa mengangkat tanganku dan memutar tubuhku.
Saat kami berdisko, aku mulai membiarkan diriku lepas dan meneguk radioaktif lagi.
“Sepertinya aku menemukan teman-teman yang seru!” seseorang berteriak menembus kerasnya suara musik.
Aku menurunkan minumanku dan menyambut gadis di depanku. Dia tinggi, pirang, cantik, dan jelas ramah. Seperti seorang supermodel.
“Aku juga gadis rawa!” dia menjelaskan dengan senyum mencela diri sendiri, mengangkat minuman hijau nuklirnya sendiri. “Aku Magnolia!”
Dia mengulurkan tangannya yang bebas dan aku menjabatnya. Genggamannya kuat.
“Lyla,” teriakku menjawab, “dan ini Teresa dan Caspian.” Caspian mengangkat gelasnya dan keduanya bersorak.
“Selamat datang di Kawanan Kerajaan!” katanya.
Dia anggota Kawanan Kerajaan…jadi itu alasan dia begitu sempurna.
“Bajumu keren,” seru Teresa.
“Terima kasih, kawan!” Magnolia berteriak sambil berdisko.
Saat lagu berubah, lampu semakin redup, dan lampunya menjadi lebih intens. Aku tidak tahu apa karena ruangan yang panas atau karena minuman keras, tetapi aku perlu mencari udara segar.
Teresa dan Caspian sedang bersenang-senang dengan Magnolia, jadi aku menyelinap pergi.
Aku berbelok ke lorong sempit dan masuk ke ruangan kosong.
Membuka pintu kaca geser, aku melangkah ke teras kecil yang menghadap ke halaman rumput yang rapi dan gelap.
Aku duduk di salah satu kursi dan menghela napas.
Pesta itu baru awal dari Pertemuan Raya, dan aku sudah kewalahan.
Saat itu, pintu terbuka di belakangku.
Seseorang telah bergabung denganku di teras, dan aku menoleh untuk melihat siapa.
Dan kemudian aku sesak. Dia.
Sebastian. Terlihat sama sibuk dengan pikirannya sendiri seperti sebelumnya.
Ketika melihatku, dia berhenti. Jelas, dia tidak berharap menemukan siapa pun di sini.
Namun, pintu sudah tertutup. Sudah terlambat.
Aku hanya berdua dengan Alpha Kerajaan.
“Oh. Hai,” sapa Sebastian. Kemudian dia berpaling dariku menuju pemandangan gelap di depan kami.
“Hai,” jawabku, berusaha terdengar biasa saja. Sepertinya aku tidak panik kalau Alpha Kerajaan memergokiku berkeliaran di Fleur de Lis.
Sebastian menghela napas, dan aku melihat otot-otot bahunya yang lebar mengendur di balik kemejanya.
Apa yang dia pikirkan? Dia begitu misterius bagiku. Dan entah kenapa, aku ingin mencari tahu tentangnya.
“Boleh duduk denganmu?”
Suara Sebastian membawaku kembali ke dunia nyata.
“Silakan,” jawabku. “Ya, sebenarnya, aku yang tamu.”
Dia menyunggingkan senyum sambil duduk. Membuat alpha tersenyum terasa seperti sebuah prestasi. Dia tampaknya orang yang serius.
“Selamat datang. Apa pendapatmu tentang Kawanan Kerajaan?” Dia bertanya.
Mengapa Alpha Kerajaan harus peduli dengan pendapatku?
“Mmm, baik.” Dia mengangkat alisnya, seolah mendorongku untuk memotong basa-basi. “Maksudku, aku belum pernah ke hotel lebih bagus. Hanya saja, Pertemuan Raya, uh… membuatku kewalahan.”
“Benar sekali,” jawabnya sambil menghela napas. “Tahu tidak, di Pertemuan Raya tahun lalu hanya 50 ikatan kawin yang terbentuk selama acara.”
Aku menggelengkan kepalaku. Tentu saja, aku tahu kalau jumlahnya terus berkurang dari tahun ke tahun. Namun, hanya 50 ikatan jodoh baru? Hanya 100 serigala yang dikawinkan?
Artinya peluang tahun ini suram.
“Sepertinya Dewi Bulan marah kepada kita,” lanjutnya. “Dengan angka buruk dan serigala liar tahun ini, membuatku bertanya-tanya apa pantas repot-repot mengadakan Pertemuan Raya.”
Dia menunduk ke tangannya. Aku hampir tidak percaya dia begitu jujur kepadaku.
“Jika tidak ada Pertemuan Raya, 100 serigala itu tidak akan menemukan jodohnya,” kataku pelan.
Dia memandangku lagi. “Benar juga. Ini tahun pertamamu?”
Aku mengangguk, bertanya-tanya bagaimana dia tahu. Mungkin karena aku terdengar muda dan naif. Namun, kata-katanya selanjutnya membuatku lengah.
“Sudah kuduga. Kalau tidak, aku pasti akan mengingatmu,” katanya, bibirnya terangkat tersenyum nakal.
Astaga. Apakah Alpha Kerajaan MERAYUKU?!
Jantungku berdegup kencang.
Aku menganggap Sebastian sebagai tipe pemikir serius, tapi sekarang penasaran apa ada lebih banyak hal dalam dirinya daripada penampilan luarnya.
“Lyla! Sedang apa di sini? Aku mencari ke mana-mana—”
Aku berbalik untuk melihat Caspian keluar dari pintu geser. Wajahnya berubah ketika dia mengenali Sebastian.
Kalau aku tidak bingung sebelumnya, sekarang aku benar-benar bingung.
“Kurasa tempat ini tidak terlalu rahasia, kalau kalian berdua menemukannya,” kata Sebastian.
“Oh maaf. Aku tidak bermaksud—” Aku bergegas.
“Aku bercanda.” Alpha mengerutkan kening. “Sebastian.”
Caspian menyipitkan matanya, meneliti alpha. “Caspian. Aku pacar Lyla.”
“Hmm,” gumam Sebastian acuh tak acuh. Dia kembali menatapku, dan ada sesuatu yang tak terbaca dalam ekspresinya.
Aku merasa wajahku memerah.
Dan kemudian kami semua diam, dan kesunyian yang canggung mengisi setiap detik yang menyiksa.
“Ayo kembali ke pesta? Teresa menunggu kita di lantai dansa,” kata Caspian.
“Tentu,” jawab Sebastian dan aku bersamaan, berdiri dari kursi kami.
Alpha melewati pintu dan Caspian menyentuh lenganku.
“Dia sepertinya… aneh,” bisiknya, dan aku menatap Caspian dengan tatapan memperingatkan.
Ketika kami kembali, pestanya bahkan lebih heboh.
Kami menyeberangi ruangan menuju lantai dansa, dan dengan mudah menemukan Teresa. Dia berdisko dengan Magnolia di belakang kerumunan, bersenang-senang.
“ALPHA SEBASTIAN!” Magnolia berteriak.
Saat kami mendekat, si pirang cantik memeluknya.
“Tampaknya kalian sudah bertemu tunanganku!” dia berseru.
Aku menatap mata Teresa dan mencoba menyembunyikan ekspresi terkejutku.
Alpha Kerajaan punya tunangan?! Itu tidak biasa bagi seseorang yang akan melakukan ritual kawin.
“Selamat atas pertunangan kalian!” Caspian menjawab, terlihat agak terlalu bahagia untuk mereka.
Sementara itu, perutku terasa aneh.
“Ayo, kita minum lagi?” kataku di telinga Teresa.
“Oh, kau bahkan tidak perlu bertanya!” jawabnya, menyeretku ke bar. “Segelas Rawa lagi?”
“Kau paham benar.”
Aku akan membutuhkannya untuk melewati pesta ini.
***
Aku tersenyum melihat ponselku, menggeleng. Aku melirik Teresa di tempat tidur lain di kamar hotel, masih mendengkur walau sudah pagi.
Sayangnya, aku tidak pernah bisa tidur kalau sedang mabuk.
Dan saran Caspian tidak sepenuhnya berarti menjaga jarak, tapi kedengarannya menyenangkan.
Setelah mandi cepat dan berganti pakaian, aku membuka pintu penumpang mobil Ford milik Caspian dan duduk.
“Ke mana?” Aku bertanya.
Dia tersenyum kepadaku, dan aku melihatnya mengedipkan mata melalui kacamata hitamnya. Janggutnya menggemaskan dan rambutnya acak-acakan tertiup angin dari jendela yang terbuka.
“Aku yang tahu, kau yang cari tahu.”
Setengah jam kemudian, kami berhenti di tempat parkir. Perjalanan ini telah memulihkanku dari sisa pengar semalam, dan aku siap untuk menjelajah.
Saat aku turun dari mobil, sebuah tanda menarik perhatianku.
“Rawa Cypress,” aku membaca keras-keras, menggelengkan kepala. “Masih belum cukup minum Rawa, Cas?”
“Minuman favorit baruku,” jawabnya, sambil merangkul pinggangku. Aku bersandar padanya, lalu teringat kesepakatan kami.
Sial! Perkara “teman” ini lebih sulit dari yang kukira.
Aku menarik diri dan dia mengangkat tangannya, pura-pura tidak bersalah. “Sepertinya di sini hanya ada rawa,” katanya.
Kami mulai menyusuri jalan setapak yang berhutan. Matahari menerobos masuk melalui puncak pohon, dan hanya ada kami di sekitar sini.
“Apa pendapatmu tentang pesta tadi malam?” Aku bertanya.
Dia mengangkat bahu. “Tidak apa apa. Entahlah, aku tidak begitu menyukai acara Pertemuan Raya. Terlalu banyak orang baru, terlalu banyak tekanan. Aku lebih suka bersamamu saja.”
Aku mempertimbangkan kata-katanya, bertanya-tanya apa Alpha Sebastian salah satu dari orang baru yang lebih suka Caspian hindari.
Aku setengah setuju dengannya. Tadi malam membuatku merasa kewalahan juga, dan aku tidak sepenuhnya paham alasannya.
Ada tekanan untuk menempatkan diri di luar sana, untuk menjalin hubungan baru.
Dan tentu saja, untuk menjalin hubungan yang sangat penting… menemukan jodoh.
Jalur itu menuju menuju jalan setapak kayu yang menggantung di atas rawa yang berwarna hijau neon.
Kami terus berjalan, saling menunjuk burung dan reptil yang muncul, ketika akhirnya aku mendengar suara deru yang aneh.
“Apa itu buaya?” Aku bertanya-tanya.
“Itu perutku,” jawab Caspian. “Aku melewatkan sarapan dan lainnya…”
“Ayo kembali dan cari makanan untukmu!” Aku menjawab. “Kamu mau makan apa? Gumbo? Udang karang?”
Aku menyebutkan semua makanan lokal yang kutahu.
“Aku hanya mau burger,” Caspian mengakui.
Kami kembali lewat jalur yang sama saat kami datang. Waktu berlalu dengan cepat, seperti yang selalu terjadi saat kami bersama.
Kami tidak selalu mengobrol sepanjang jalan. Hanya menikmati kebersamaan satu sama lain.
Bahkan aku lapar lagi seiring waktu, jadi aku hanya bisa membayangkan bagaimana perasaan Caspian.
“Sialan, sialan! Lyla, tunggu!” Caspian meraih sikuku dan aku berhenti.
“Kau hampir membuatku terkena serangan jantung, kau sebenarnya —?”
Caspian tampak seperti baru saja melihat hantu. Dia menunjuk ke tanah di depan kami… dan kemudian tanah itu bergerak.
Seekor ular!
“Sebenarnya, ularnya agak lucu,” kataku.
“Ssst!” Caspian menarikku mendekat kepadanya, merangkulku.
Suara gemeretak pelan terdengar di telingaku.
“Apa itu…?” tanya Caspian.
“Ular derik,” jawabku.
Tentu, ular itu berbisa. Namun, kalau kau tidak mengganggunya, dia tidak akan menyerangmu.
Lengan kuat Caspian memelukku lebih erat. “Ssst,” bisiknya di telingaku, menghiburku… padahal dia yang ketakutan.
Aku tersenyum sambil bersembunyi ke dadanya, pura-pura ketakutan.
Aku mengintip ular itu. Ia menjulurkan lidahnya yang panjang dan bercabang, suara desisnya terdengar di udara…
Lalu merayap pergi, ke dalam hutan.
“Aku berhasil!” Caspian berkata, matanya melotot karena kagum.
Aku memeluknya di sekelilingnya. “Bagaimana kau tahu apa yang harus dilakukan?!” tanyaku, memompa egonya sedikit saja.
“Aku tidak tahu,” akunya. “Aku sangat ketakutan.”
Aku mundur, dan mungkin dari cara dia menatapku…
Namun, aku tidak bisa menolak. Aku menciumnya dalam-dalam, tanpa syarat. Dan dia membalas ciumanku.
Dia menarik diri, dan sorot mata kuningnya begitu intens hingga jantungku berdetak kencang.
“Lyla, persetan dengan ini. Pertemuan Raya, panggilan kawin… semua hal yang memisahkan kita.”
Dadaku nyeri mendengar ketulusan dalam suaranya.
“Aku cinta kamu, Lyla. Aku memilihmu. Aku tidak perlu Dewi Bulan untuk memberitahuku. Ayo kabur. Sekarang… kita bisa meninggalkan semua omong kosong ini.”
Caspian berusaha mengatur napas. Dia terlihat sangat tampan, begitu yakin.
Dan kenapa aku belum yakin juga?
Aku mencintai pria yang berdiri di depanku. Aku kenal dia.
Dan tahun lalu, hanya 50 ikatan kawin yang terbentuk di Pertemuan Raya.
Mengapa aku butuh persetujuan Dewi Bulan kalau sudah memiliki semua yang kubutuhkan untuk bahagia?
Aku menelan gumpalan yang menyumbat tenggorokanku dan aku bertemu dengan tatapan Caspian…
Bisakah aku benar-benar melarikan diri dengannya?
Baca selengkapnya di aplikasi Galatea!