Belle bahkan tidak tahu bahwa manusia serigala itu ada. Di pesawat menuju Paris, dia bertemu Alpha Grayson, yang mengeklaim dia adalah miliknya. Alpha posesif itu menandai Belle dan membawanya ke kamarnya, di mana dia berusaha mati-matian untuk melawan gairah yang membara di dalam dirinya. Akankah Belle tergoda oleh gairahnya, atau bisakah dia menahan hasratnya sendiri?
Diculik oleh Jodohku – Annie Whipple

Aplikasi ini telah menerima pengakuan dari BBC, Forbes dan The Guardian karena menjadi aplikasi terpanas untuk novel baru yang eksplosif.

Baca selengkapnya di aplikasi Galatea!
1
Belle bahkan tidak tahu bahwa manusia serigala itu ada. Di pesawat menuju Paris dia bertemu Alpha Grayson, yang mengeklaim dia adalah miliknya. Alpha yang posesif itu menandai Belle dan membawanya ke kamarnya di mana dia berusaha mati-matian untuk melawan gairah yang membara di dalam dirinya. Akankah Belle tergoda oleh hasratnya, atau bisakah dia menahan hasratnya sendiri?
Rating Usia: 16+
Penulis Asli: Annie Whipple
Aku menarik napas dalam-dalam saat aku berjalan melintasi bandara, sambil menyeret koper di belakangku. Sepertinya aku tidak bisa menenangkan diri, walau berusaha keras.
Aku benar-benar benci terbang.
Dan penerbangan 11 jam ke Paris adalah perjalanan terakhir yang ingin aku lakukan sehari sebelum Malam Natal. Namun, ibuku telah memintaku untuk datang menghabiskan liburan bersamanya dan suaminya.
Aku tahu dia hanya mengundangku karena rasa bersalah.
Aku tidak melihat ibuku selama lebih dari 5 tahun, dan tampaknya tidak ada rasa bersalah dalam dirinya meninggalkanku setelah ayahku sakit.
Hanya butuh setahun baginya untuk menikah lagi dan setahun lagi untuk mendapatkan anak. Dia benar-benar memutuskan hubungan dengan Ayah dan aku, menganggap seolah-olah kami tidak pernah ada.
Jadi, fakta bahwa dia mengundangku untuk datang menemuinya sekarang benar-benar membuatku kesal.
Namun, aku tidak punya orang lain. Paris adalah satu-satunya pilihanku jika aku tidak ingin menghabiskan Natal sendirian.
Melewati keamanan bandara lebih mudah daripada yang aku kira, dan aku tidak kesulitan menemukan gerbangku. Namun, bahkan dengan semua keberuntungan ini, aku masih merasa tidak nyaman.
Aku hanya terbang 2 kali dalam hidupku, keduanya untuk alasan yang aku harap bisa aku hindari.
Pertama kali adalah untuk pemakaman nenekku di Florida. Yang kedua adalah untuk pernikahan ibuku di Paris dengan seorang pria yang belum pernah kutemui sebelumnya—seorang pria yang bukan ayahku.
Jadi, terbang bukan hanya benar-benar menakutkan, tetapi juga selalu membawaku ke situasi yang tidak diinginkan. Aku tahu penerbangan ini tidak akan berbeda.
Aku menunggu untuk naik sekitar setengah jam. Aku ingin datang lebih awal hanya untuk memastikan aku tidak ketinggalan pesawat. Aku tidak ingin harus membayar lebih untuk itu.
Begitu berada di pesawat, aku tidak bisa menahan gemetar di tanganku. Seorang pramugari tersenyum kepadaku ketika aku berjalan melewatinya, dan, menyadari kegugupanku, dia memberiku anggukan meyakinkan.
Aku mencoba sebisaku untuk membalas senyuman itu.
Ketika akhirnya aku berhasil mencapai tempat dudukku, jauh di belakang pesawat, aku menatap pria yang akan duduk di sampingku selama 11 jam berikutnya.
Tatapannya memandangi ke atas dan ke bawah tubuhku, berhenti di dadaku untuk beberapa saat sebelum menatap mataku.
Dia menyeringai. “Halo.”
Hebat. Sempurna.
Aku bisa menghabiskan 11 jam berikutnya dilirik oleh bajingan.
“Hai,” sapaku.
Aku mengabaikan Tuan Bajingan itu, mengambil tas jinjingku dan mengangkatnya ke atasku untuk meletakkannya di kompartemen atas.
Menyadari bahwa bajingan itu—yang sekarang melihatku berjuang—telah meletakkan kopernya di tengah kompartemen, aku mendengus, mencoba memindahkannya dengan satu tangan saat aku berjuang untuk memasukkan koperku ke sampingnya.
Aku hampir berhasil memasukkan barang bawaanku ketika aku merasakan ada tangan yang melingkari pinggangku, menyentuh kulit perutku yang terbuka ketika bajuku tertarik naik.
Mengira itu adalah Tuan Bajingan, aku mencoba melompat, tetapi berhenti ketika tangan-tangan itu mengencang di sekitarku dan ada percikan api mengalir di tubuhku.
Aku menyentakkan kepalaku untuk melihat siapa pemilik tangan itu, dan seketika mataku melebar saat aku menatapnya.
Dia sangat memesona… Tubuhnya besar sampai-sampai dia hampir terlihat lucu di pesawat kecil kami.
Otot-ototnya menonjol pada kemeja hitam dan celana jins birunya, membuatku bergumam bahwa dia pasti menghabiskan cukup banyak waktu di gym.
Dia memiliki rambut cokelat tua, mata hijau tua yang memesona, dan rahang yang lancip.
Bibirnya sangat indah dan padat, dan tanpa sadar aku mencondongkan tubuhku, membayangkan bagaimana rasanya menempelkan bibirku ke bibirnya.
Geraman dalam yang tiba-tiba membuatku kembali ke posisi tegak, dan mataku bertatapan dengan matanya yang memergokiku sedang mengamatinya. Pipiku langsung memerah, tapi sebelum aku merasa terlalu malu, dia berkata sesuatu.
“Milikku. Jodohku,” katanya, suaranya yang dalam dan serak terngiang di telingaku. Dia meremas pinggangku dengan lembut saat dahinya turun untuk menyentuh dahiku, dan dia menarik napas dalam-dalam.
Aku mungkin seharusnya menamparnya, tetapi sebaliknya aku membiarkan mataku terpejam dan menikmati perasaan lengannya di sekitarku saat percikan kenyamanan itu menjalari tubuhku. Aku bahkan tidak tahu bahwa memungkinkan bagiku untuk merasakan kenyamanan ini.
Aku merasakan kepalanya menjauh dari kepalaku saat dia membungkuk untuk mencium leherku. Aku memiringkan kepalaku untuk memberinya akses yang lebih baik, dan dia mendengus setuju.
Dan kemudian aku merasakan dia menempatkan ciuman lembut tepat di mana leher dan bahuku bertemu. Pertama lututku lemas, lalu seluruh tubuhku mati rasa saat desahan napas keluar dari mulutku.
Dia tersenyum di leherku, tertawa dan mengambil semua berat badanku ke dalam pelukannya saat aku bersandar sepenuhnya kepadanya untuk menahan diri agar tidak jatuh.
Aku berada di surga yang abadi.
Suara berdeham menyadarkanku dari kelinglungan ini, dan aku mencicit dan mencoba menarik diri, mengingat-ingat di mana aku berada.
Sayangnya, ketika aku mencoba mendorong pria misterius dan sangat tampan itu menjauh dariku, aku lupa bahwa tanganku masih memegang barang bawaanku di kompartemen atas.
Aku mendengar koperku meluncur ke arahku dan aku dengan cepat merunduk, menunggu sudut kerasnya membentur kepalaku.
Namun, tidak ada yang terjadi, dan sebaliknya aku mendengar, “Hati-hati, cantik.”
Aku menatap pria di depanku, yang satu tangannya dengan posesifnya melingkar di bajuku, di bagian punggungku. Tangannya yang lain sekarang memegang koperku di atas kepalaku.
Dia tersenyum kepadaku dan mengedipkan mata sebelum memasukkan tasku ke dalam kompartemen dan menutupnya.
Masih dengan tangannya di punggungku, dia berbalik untuk melihat wanita di belakangnya yang telah berusaha mendapatkan perhatian kami selama momen intens kami. Wanita itu tampak terkejut, dan dengan ragu-ragu berdeham sekali lagi.
“Maaf, aku hanya perlu ke tempat dudukku, dan kalian menghalangi jalan. Aku tidak bermaksud mengganggu reuni kalian. Kalian berdua jelas sudah lama tidak bertemu.” Dia tersenyum manis.
Ingin mengoreksinya, aku membuka mulut untuk mengatakan bahwa kami belum pernah bertemu sebelumnya, tetapi pria yang menahanku menimpali.
“Kami baru saja menemukan tempat duduk kami. Kami akan menyingkir sebentar lagi.” Suaranya halus dan menenangkan.
Wanita itu mengangguk menghargai.
Aku pergi untuk menjauh, berharap bisa menghindar dari situasi yang canggung ini, tetapi pria itu hanya mempererat pegangannya padaku.
Dia membungkuk dan berbisik di telingaku: “Tidak secepat itu… Kau tidak akan lolos semudah itu.”
Kemudian dia menatap si bajingan yang akan duduk di sebelahku selama penerbangan. “Pindah,” katanya kepadanya.
Tuan Bajingan hanya duduk di sana dan menatap kami sejenak, sepertinya masih memproses seluruh pertemuan yang baru saja terjadi. Itu membuatku sangat tidak nyaman karena dia telah mengamati kami.
“Apa?” Dia bertanya.
“Minggir,” ulang pria tampan itu. “Aku duduk di situ.”
“Maaf? Aku tidak akan pindah. Ini tempat dudukku.”
Pria yang menahanku menggeram pelan. “Ini, ambil milikku.” Dia menyerahkan tiketnya kepada Tuan Bajingan. “Ini kelas satu,” katanya, memperhatikan pria itu memeriksa tiket itu dengan alis terangkat.
“Sekarang, pergilah,” katanya perlahan—hampir mengancam—seolah-olah dia menantang pria itu untuk mempertanyakan perintahnya lagi.
Si bajingan itu menatap kami sekali lagi sebelum dia bangkit dan dengan cepat meraih tasnya, bergerak melewati kami dengan tergesa-gesa tanpa melakukan kontak mata. Aku terperangah melihatnya.
Apa yang baru saja terjadi? Ini berubah menjadi hari yang aneh.
“Ayo, cantik,” kata tetangga baruku yang misterius, dengan lembut mendorongku ke kursi dekat jendela sambil mengikuti dari belakang.
Aku duduk dan melihatnya duduk di sebelahku. Aku tidak yakin harus berkata apa, masih sedikit kaget dan malu dengan apa yang baru saja terjadi.
“Um, maaf sebelumnya,” gumamku, menyelipkan sehelai rambut ke belakang telingaku dan menundukkan pandanganku. Aku ingin orang ini menyukaiku. “Aku jarang sekali menyentuh orang asing seperti itu, aku bersumpah.”
Aku tertawa gugup. Ketika dia tidak menjawab, aku berdeham.
“Oke…jadi kenapa kau menyerahkan tiket kelas satumu untuk duduk jauh-jauh ke sini?”
Tiba-tiba tangannya memegang daguku dan memutar kepalaku. Mataku bertemu dengannya, dan tangannya bergerak untuk menangkup pipiku.
“Karena aku ingin berada di sisimu,” katanya serak.
Dia mengusapkan ibu jarinya ke tulang pipiku saat dia mengamati setiap bagian wajahku.
“Wow, bagaimana aku bisa begitu beruntung?”
Aku mencondongkan tubuh menjauh darinya, tidak yakin bagaimana harus menanggapinya. Aku pasti salah dengar.
“Maaf, apa yang kau katakan?”
Dia hanya tersenyum dan menggelengkan kepalanya. “Tidak. Jangan khawatir tentang itu, cantik.” Dia mencondongkan tubuh ke arahku dengan tangan terentang. Kami dekat sebagai dua orang asing.
“Aku Grayson. Siapa namamu?”
Hampir seolah-olah aku linglung, aku mendengar diriku berkata, “Belle.”
Senyumnya melebar. “Belle,” katanya kepada dirinya sendiri. “Belle-ku.”
Matanya sangat menawan. Aku hanya bisa menatapnya. “Uh-huh…,” kataku tanpa sadar.
Dia tertawa lepas. Apakah aku mengatakan sesuatu yang lucu? “Ikatan kita kuat; aku bisa mengetahuinya.”
Apakah hanya aku, atau tidak adakah perkataannya yang masuk akal? “Apa? Ikatan kita?” Aku bertanya.
Dia menyingkirkan helaian rambut yang menerpa wajahku. “Jangan risaukan hal itu.”
Aku sekali lagi tersentak dari linglung, yang sepertinya terus dia lakukan, ketika seorang bayi di belakang kami menjerit keras. Menyadari betapa dekatnya aku dengan pria itu – Grayson – aku melompat mundur.
Aku bisa merasakan napasnya di wajahku.
Sekali lagi aku tertawa gugup, lalu meletakkan tanganku di pangkuanku, berusaha untuk tidak terlihat canggung seperti yang kurasakan.
Orang ini mungkin mengira aku gila.
“Jadi, bisnis atau pelesir?” Grayson bertanya.
Baca selengkapnya di aplikasi Galatea!
2
“Apa?” Aku menatap Grayson sekali lagi.
“Apakah kau akan pergi ke Paris untuk bisnis atau pelesir?”
Oh, benar. Aku hampir lupa di mana aku berada. Sarafku kembali tegang ketika aku ingat bahwa pesawat kemungkinan akan lepas landas sebentar lagi.
“Oh, um, tidak juga, kurasa. Aku akan mengunjungi ibuku dan suaminya.”
Aku tentunya memasang wajah muram sehingga Grayson bertanya, “Dan kau tidak senang melihat ibumu dan suaminya?”
Aku menggelengkan kepalaku.
“Tidak, tidak sejak dia meninggalkan ayahku dan aku yang sakit untuk pergi ke Paris dan menikahi kekasihnya yang kaya,” aku mendengar diriku mengatakannya.
Aku berhenti. Aku tidak percaya aku baru saja mengatakan itu.
Aku tidak memberi tahu siapa pun tentang ibuku, dan sekarang aku baru saja menceritakan semuanya kepada orang asing.
Aku menatapnya. Ekspresinya termenung.
“Maafkan aku. Aku tidak tahu kenapa aku mengatakan itu. Sesungguhnya aku bukan orang gila di pesawat yang berbagi seluruh kisah hidupnya dengan orang asing yang duduk di sebelahnya.”
Grayson menatap mataku dalam-dalam—hampir seperti sedang mencari sesuatu—lalu dia meraih sandaran tangan di antara kami dan mengangkatnya sehingga tidak lagi menghalangi. Aku memperhatikan gerakannya dengan saksama.
“Um… Apa yang kau lakukan?”
“Ssst…,” kata Grayson. Dia meraih pinggulku, yang sudah condong ke arahnya, dan menarikku sehingga lututku menyentuh lututnya.
Percikan kenyamanan itu menjalar ke atas dan ke bawah tubuhku lagi saat tangannya menemukan jalan di balik bajuku dan ke punggungku, di mana ibu jarinya mulai membuat lingkaran yang menenangkan.
Aku mengeluarkan suara napas dari balik tenggorokanku. Tangannya yang lain terangkat untuk menangkup wajahku.
“Kau tidak perlu khawatir tentang apa pun sekarang,” bisik Grayson. “Aku akan menjagamu.” Dia membungkuk sehingga bibirnya menyentuh telingaku. “Kau milikku.”
Aku menoleh ke belakang agar bisa melihat matanya. “Maksudmu apa?”
Dia menyeringai. “Maksudku…” Ibu jarinya menyentuh bibir bawahku, dan aku tersentak.
“Semuanya”—dia mencium kelopak mataku—”tentang”—dia mencium kelopak mataku yang lain—”kau”—bagian atas hidungku—”milikku.” Akhirnya bibirnya bertemu dengan bibirku.
Mataku terpejam menikmati ciumannya. Perasaan itu euforia, seperti kembang api dan ledakan. Tanganku naik ke bahunya yang besar dan berotot dan meremasnya.
Aku mengeluarkan erangan lembut.
Aku merasakan dia menyeringai di bibirku, dan aku berhenti sejenak. Jangan, jangan menyeringai. Menyeringai berarti dia mungkin berhenti menciumku, dan aku benar-benar tidak ingin itu terjadi.
Tanpa melepaskan bibirku dari bibirnya, aku berlutut dan mendorong dadaku ke dadanya, menikmati percikan api yang datang di mana pun tubuh kami bertemu.
Tanganku naik ke rambutnya dan menarik wajahnya lebih dekat ke wajahku.
Dia mengerang setuju.
Tiba-tiba dia meremas pinggulku erat-erat, lalu mengangkatku ke pangkuannya sehingga lututku berada di kedua sisinya. Aku mendorong dadaku ke dadanya, dan dia memperdalam ciuman kami, memasukkan lidahnya ke dalam mulutku.
Tangannya meremas pinggulku dan kemudian meluncur ke balik bajuku untuk mencengkeram pinggangku, ibu jarinya menyentuh bagian bawah braku.
Ya Tuhan, apakah di sini semakin panas?
Seseorang berdeham di sebelah kami, dan seolah-olah mereka memutar tombol di otakku: aku tiba-tiba menyadari apa yang kami lakukan.
Aku tersentak ke belakang, tetapi Grayson mengencangkan cengkeramannya, menahanku dengan kuat di pangkuannya.
Aku menatap pramugari yang berdiri di samping kami.
“Maaf, Nona, tapi saya harus meminta Anda kembali ke tempat duduk Anda dan mengenakan sabuk pengaman Anda. Pesawat akan lepas landas.”
Aku menganggukkan kepalaku dengan cepat, merasakan wajahku menjadi merah padam. Aku bergegas turun dari pangkuan Grayson, dan, untungnya, dia melepaskanku kali ini. Aku duduk di kursiku dan segera memasang sabuk pengamanku.
Pramugari melihat Grayson mengenakannya juga, lalu dia mengangguk dan pergi.
Ya Tuhan. Ya Tuhan. Ya Tuhan.
Aku meletakkan tanganku di wajahku untuk mendinginkan pipiku yang terbakar.
Aku tidak percaya aku baru saja melakukan itu. Ada apa denganku?
Aku sangat malu, aku bahkan tidak bisa memaksa diriku untuk melihat Grayson. Aku telah merangkak ke pangkuannya dan menekannya seperti pelacur yang memohon kepadanya untuk masuk ke celana dalamku.
“Hei, hei, hei,” aku mendengar Grayson berkata. “Apa yang salah?” Dia menyentuh lenganku.
Aku menyentakkan lenganku, mengabaikan betapa aku ingin dia tetap memegangiku.
“Jangan sentuh aku,” bentakku.
Grayson membuat suara menggeram di balik tenggorokannya sehingga mengejutkan. Aku menatapnya dan melihat ekspresi intens di wajahnya.
Rahangnya terkatup dan napasnya dalam, dadanya naik turun dengan cepat. Dan, oh ya, matanya hitam pekat. Pupil, selaput iris, dan bagian putih matanya semuanya hitam.
Aku tersentak dan bergegas mundur sampai punggungku membentur dinding di belakangku.
“Ya Tuhan. Matamu.”
Matanya melebar dan kemudian terpejam. Dia menarik napas dalam-dalam, dan ketika matanya terbuka lagi, matanya kembali normal.
Aku menjadi gila. Itulah satu-satunya penjelasan logis. Kematian ayahku dan rasa takut bertemu ibuku lagi akhirnya menghampiriku.
“Aku minta maaf,” katanya. “Hanya saja… kau tidak bisa menyuruhku untuk tidak menyentuhmu.”
Jantungku mulai berdetak lebih cepat. Mungkin dia yang gila. “Maksudmu apa?”
Dia mencondongkan tubuh ke depan, ada tatapan intens di matanya.
“Oh, sayang, apakah kau sudah lupa?” Tangannya menggenggam lututku dan mengusap ke atas dan ke bawah kakiku.
“Kau milikku, ingat?”
Darahku mendidih. Itu adalah ketiga kalinya dia menyebut aku miliknya. Pria ini pikir dia siapa?
Tentu, dia tampan. Aku telah menghempaskan diriku kepadanya dan sangat tertarik kepadanya, tetapi itu tidak berarti aku miliknya. Aku adalah diriku sendiri. Aku bukan milik siapa-siapa.
Aku terutama bukan milik seorang pria yang baru saja aku temui dan yang tidak mengenal batasan pribadi.
Aku membuka mulut untuk memberinya pendapatku, tetapi terhenti ketika aku merasakan pesawat tiba-tiba bergerak.
Aku pasti benar-benar melewatkan bagian di mana mereka menjelaskan di mana semua pintu keluar dan bagaimana mengencangkan sabuk pengaman.
Itu mungkin yang terbaik: itu hanya akan membuatku lebih gugup.
Saat pesawat menambah kecepatan, jantungku berdetak kencang di tulang rusukku dan tanganku mulai gemetar. Aku meraih tangan Grayson yang masih menjepit kakiku dan aku memejamkan mata.
Aku mencoba menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri, tetapi napasku keluar lebih seperti hasrat yang menggebu-gebu.
Ya Tuhan… Apa aku mengalami sesak napas?
“Belle,” aku mendengar Grayson berkata. “Belle, sayang, ada apa?” Aku merasakan tangannya terangkat untuk mencengkeram bahuku.
Aku menggelengkan kepalaku dengan panik, suaraku hilang. Aku takut jika aku berbicara, aku akan menangis.
“Belle,” suara Grayson berkata kepadaku. Terdengar lebih menenangkan kali ini.
“Lihat aku, Belle. Aku ingin kau melihatku, cantik. Biarkan aku melihat mata biru yang indah itu.”
Aku hanya menggelengkan kepalaku lagi. Pesawat itu melesat saat terangkat dari tanah. Aku merintih dan mendorong diriku lebih jauh ke dinding.
“Belle, aku bersumpah demi Tuhan, jika kau tidak melihatku, aku akan menciummu lagi, dan siapa yang tahu ke mana arahnya…”
Apakah dia benar-benar baru saja mengatakan itu? Aku pada dasarnya akan mengalami serangan jantung, dan dia mengancam akan menciumku?
Aku membuka mataku. Wajah Grayson sangat dekat dari wajahku. Dia tersenyum.
“Ada mata yang indah itu.”
Napasku sedikit melambat. Dia sangat luar biasa menawan. Bagaimana mungkin seseorang bisa begitu tampan?
Dan menawan, dan manis, dan menghibur, dan pencium yang luar biasa…
Pesawat tiba-tiba berguncang lagi—kali ini lebih keras—dan sebagian besar penumpang tersentak.
Suara pilot terdengar dari pengeras suara kabin, meminta maaf atas turbulensi, mengatakan bahwa cuaca tampak lebih serius dari yang diperkirakan semula.
Aku melirik ke luar jendela dan melihat bahwa hujan turun, dan langit dipenuhi kilat.
“Ya Tuhan, beginilah aku akan mati,” kataku. Seluruh tubuhku gemetar.
Pesawat berguncang lagi pada saat yang sama ketika deru guntur datang dari luar. Aku menjerit ketakutan saat air mata mulai mengalir dari mataku.
“Belle, sayang, kemarilah,” kata Grayson dengan nada gelisah. Aku menatapnya dan melihat bahwa dia mengulurkan tangannya, mengajakku untuk bersandar kepadanya.
“Apa?” aku bertanya dengan gemetar. “T-tidak!”
Sesuatu mencengkram tanganku lebih erat. Aku menunduk untuk melihat bahwa aku memegang tangannya dengan kedua tanganku. Aku segera melepaskannya dan mendorongnya menjauh dariku.
Kenapa aku begitu sensitif dengan pria ini?
Dia mengusap rambutnya saat dia melihatku panik. Dia tampak kesakitan. “Tolong, Belle, biarkan aku membantumu.”
Aku menggenggam dinding di belakangku, berharap itu akan menstabilkan tubuhku yang gemetar. “Bagaimana?”
Sebelum aku bisa menjawabnya, pesawat diguncang oleh guntur keras dan sambaran petir yang aku bersumpah pasti menghantam kami. Orang-orang berteriak ketika tas jatuh dari kompartemen atas.
Aku berteriak histeris dan menutupi wajahku dengan tangan.
“Ya Tuhan. Ya Tuhan. Ya Tuhan,” aku terisak. Ini adalah mimpi terburukku.
“Belle,” kata Grayson. Suaranya lebih jernih dari sebelumnya, dan tiba-tiba semua suara lain menghilang. “Lihat aku.”
Seolah-olah aku berada di bawah kendalinya, aku melepaskan tanganku dari wajahku dan menatap Grayson. Matanya hitam kembali.
Namun, kali ini tidak menakutkan. Kali ini, mata itu hampir menenangkan.
“Kemarilah,” katanya perlahan.
Aku menganggukkan kepalaku dan praktis menyandar ke dadanya, mendekatinya sejauh jangkauan sabuk pengamanku. Aku melingkarkan lenganku di tubuhnya dan mencengkeram kemejanya di genggamanku.
Dia juga memelukku, mengangkat bajuku sehingga kulitnya yang telanjang menyentuh punggung dan perutku.
“Apa yang sedang kau lakukan?” tanyaku, menggigil karena merasakan kulitnya di kulitku, dan percikan kenyamanan menjalari tulang punggungku sekali lagi.
Aku merasakan dia mengelus rambutku. “Maaf, aku tahu ini pasti aneh untukmu. Hanya saja semakin banyak kita melakukan kontak kulit, semakin tenang perasaanmu.”
Dia melepaskan lenganku dari sekelilingnya, dan, untuk sesaat, aku merasa kecewa. Namun, kemudian dia mengangkat kemejanya dan meletakkan lenganku kembali ke tempat semula.
Aku bisa merasakan perutnya…
“Lihat? Lebih baik, kan? Menyentuhku bisa membantu.” Aku merasakan dia mencium puncak kepalaku.
Dia benar. Aku bisa merasakan detak jantungku melambat dan sarafku mulai tenang. “Bagaimana ini terjadi?” Aku bertanya. Aku sangat bingung.
Apa yang terjadi?
Sebelum dia bisa menjawab, ada ledakan guntur lagi. Aku merintih dan mendorong wajahku ke dadanya sejauh mungkin.
Lengannya mengencang di sekitarku, dan tangannya memijat punggungku.
“Ssst, nona manis. Tenanglah bersamaku…,” bisiknya, mulutnya menyentuh telingaku. Aku merasakan bahuku perlahan melepaskan ketegangannya. Suaranya begitu halus, begitu menenangkan—sepertinya dia memiliki kekuatan magis.
Aku akan melakukan apa pun yang dia minta aku lakukan selama aku terus mendengar suaranya.
“Ini untuk kita. Itulah yang ingin aku lihat.”
Makin banyak guntur mengguncang pesawat. Aku menekan wajahku lebih dalam ke dadanya dan tersentak.
“Eh-eh,” katanya. “Jangan begitu.” Bibirnya menempel di telingaku, meninggalkan ciuman.
“Dengarkan suaraku. Yang bisa kau dengar hanyalah suaraku, sayang.” Dia memberikan ciuman di leherku.
Dia benar. Sekali lagi, suara-suara lain menghilang. Bayi-bayi yang menangis, penumpang yang berteriak, guntur yang menderu, hujan yang deras—semuanya menjadi sunyi.
Yang tersisa hanyalah aku dan dia.
“Satu-satunya hal yang bisa kau dengar adalah suaraku. Bukankah itu benar?”
Aku mengangguk.
“Bagus. Sekarang, tarik napasmu perlahan.”
Napasku berubah dari napas yang cepat dan terengah-engah menjadi napas yang lambat dan dalam.
“Anak yang baik.” Bibirnya terus bergerak di sepanjang leherku. “Jangan takut. Aku bersamamu. Aku akan menjagamu.”
Ciumannya terasa seperti sihir. Suaranya seperti sihir. Segala sesuatu tentang dia adalah sihir. Aku tidak berada di pesawat lagi. Aku tidak di mana-mana lagi.
Hanya aku dan Grayson—lengannya memelukku, bibirnya di kulitku. Aku tenang.
Dan kemudian bibirnya menemukan titik di leherku yang membuat api sensasinya menjalar ke seluruh tubuhku. Aku terkesiap.
Grayson tersenyum di kulitku. “Hmm …” Dia mulai mengisap di titik itu, lidahnya menjilati kulitku, meninggalkan rasa geli yang menjalar ke jari kakiku.
Jari-jarinya menggali pinggangku, dan aku merasakan sesuatu bangkit di dalam diriku—perasaan yang sudah lama tidak kurasakan.
Seluruh tubuhku bergidik, dan aku memiringkan kepalaku ke samping untuk memberinya akses yang lebih baik. Tawanya yang dalam bergetar di sekujur tubuhku.
“Hmm… Suka itu, kan?” dia berbisik di kulitku.
Aku bahkan tidak bisa menjawab. Rasanya seperti aku menggunakan obat-obatan. Semuanya bergerak begitu lambat.
Aku menghela napas dalam-dalam yang terdengar lebih seperti rengekan karena dia berhenti menciumku. Aku tidak tahu persis apa yang aku inginkan, tetapi aku membutuhkan sesuatu yang lebih—sesuatu yang aku tahu dapat diberikan oleh Grayson.
Aku memiringkan kepalaku lagi, berharap dia akan terus menciumku.
Dia menghela napas. “Aku tahu, cantik, aku tahu. Namun, bukan di sini. Tidak sekarang.” Dia menempatkan satu kecupan lagi di titik itu. “Namun, aku berjanji, aku akan menjadikanmu milikku. Segera.”
Aku tidak mengerti apa yang dia maksud. Jadi, aku hanya bergerak lebih dekat dengannya, menghirup aroma surgawinya. Parfum jenis apa yang dia gunakan?
“Itu benar,” katanya. “Aku di sini dan kau aman. Tidak ada hal buruk yang akan terjadi kepadamu lagi. Kita akan menciptakan kehidupan yang paling menakjubkan bersama-sama. Aku tidak akan pernah membiarkanmu pergi.”
Apa yang baru saja dia katakan?
“Namun, untuk saat ini,” katanya, “kau perlu istirahat.”
Aku menatapnya. Matanya masih hitam.
“Tidurlah.”
Dan duniaku menjadi gelap.
Baca selengkapnya di aplikasi Galatea!