Ketika Leila kembali ke kampung halamannya untuk menjadi dokter kawanan, dia mendapati dirinya terjebak di antara masa lalu dan masa kini—dan cinta dari dua pria—rekan dokter yang tampan dan seorang alpha yang memiliki rahasia. Namun, siapa yang akan membuat jantungnya berdegup lebih kencang?
Menyelamatkan Maximus – Leila Vy

Aplikasi ini telah menerima pengakuan dari BBC, Forbes dan The Guardian karena menjadi aplikasi terpanas untuk novel baru yang eksplosif.

Baca selengkapnya di aplikasi Galatea!
1
Ketika Leila kembali ke kampung halamannya untuk menjadi dokter kawanan, dia mendapati dirinya terjebak di antara masa lalu dan masa kini—dan cinta dari dua pria—rekan dokter yang tampan dan seorang alpha yang memiliki rahasia. Namun, siapa yang akan membuat jantungnya berdegup lebih kencang?
Rating Usia: 18+
Penulis Asli: Leila Vy
“Ya, Bu,” jawabku agak malas, sambil mengambil buku kuliah kedokteran di mejaku yang berisi tentang anatomi manusia serigala dan obat-obatan manusia. Aku memasukkannya ke dalam ranselku.
“Pastikan besok kamu pulang tepat waktu!” Ibuku mengulangi untuk ketiga kalinya hari ini. Dan ini adalah kelima kalinya Ibu menelepon.
Aku mengambil kuliah jurusan kedokteran manusia serigala untuk menjadi dokter kawanan. Hanya tinggal beberapa minggu lagi sebelum aku mendapatkan gelar dokter kawanan.
Setelah tamat kuliah, aku diminta untuk pulang dan diumumkan sebagai dokter kawananku.
Dokter kawanan sulit untuk tetap berada dalam satu kawanan. Hanya sedikit dari kami yang menetap dalam satu kawanan.
Banyak orang yang tidak memiliki kesabaran atau ambisi untuk belajar kedokteran, hal ini menjadikan kami sangat berarti.
Kepulanganku ke rumah berkaitan dengan alpha-ku yang ingin memastikan bahwa setelah dukungannya selama bertahun-tahun, aku akan tetap berada dalam kawanan.
“Sayang, aku sangat bangga kepadamu. Kamu telah menyelesaikan kuliahmu sebagai dokter kawanan.” Suara ibuku sedikit bergetar ketika bicara, dan aku tahu dia akan menangis.
“Bu, jangan menangis. Aku tidak akan pergi. Aku akan pulang besok.” Aku segera meyakinkannya, karena jika ibuku mulai menangis, pasti butuh beberapa saat sebelum aku bisa menutup telepon, dan tangisannya hanya akan membuatku merasa tidak enak.
Aku mengayunkan ransel ke bahu dan keluar dari perpustakaan besar kami.
Aku mengangguk dan melambaikan tangan kepada Bu Larson, pustakawan di kampusku, sebelum menuju ke sepeda motor hitamku yang berada di parkiran kampus.
Aku mengendarai sepeda motor agar lebih mudah berkeliling.
“Bu, aku harus pergi. Aku akan meneleponmu sesampainya di wilayah kawanan. Aku akan pulang dan berkemas, juga menyelesaikan beberapa tugas malam ini. Aku akan segera memberi kabar.”
“Baiklah,” gumam ibuku, sedih rasanya aku harus mengakhiri percakapan begitu cepat.
“Aku sayang Ibu. Sampai jumpa besok,” jawabku.
“Ibu sayang kamu juga, manisku. Hati-hati di jalan.”
Sebagian orang tidak menyukai keheningan, tapi aku merasa keheningan sangatlah nyaman dan menenangkan.
Setelah berjam-jam mengerjakan tugas di tempat tidur, mataku terasa lelah karena aku memaksakan diri agar tetap terjaga.
Aku menggosok mata beberapa kali sebelum akhirnya menyerah dan memejamkan mata, membiarkan diriku tertidur.
Aku sedang duduk di atas batu dekat danau saat aku mendengar bunyi berisik di belakangku.
Aku berbalik untuk melihat siapa penyusup itu, tapi penglihatan manusia serigalaku tidak begitu jelas dalam mimpi, atau mungkin saja aku tidak melihat apa yang ingin kulihat. Aku menyipitkan mata, tapi hanya sosok hitam tinggi yang bisa kulihat.
“Siapa itu? Tunjukkan dirimu!” perintahku.
Sosok tinggi itu perlahan menghilang, akan tetapi muncul cahaya di depannya. Aku sedikit memiringkan kepala, tidak yakin apakah harus menyentuh atau menghindarinya, tetapi cahaya itu mengirimkan kehangatan yang indah kepadaku yang tak dapat kutolak.
Aku mengulurkan tangan dan menyentuhnya, timbul sensasi kesemutan dari sentuhan itu. Aku tersentak, menarik tanganku sedikit ke belakang sebelum menyentuhnya lagi. Seperti ada aliran listrik menyebar di ujung jariku.
“Apa ini?” aku berbisik.
Seolah-olah cahaya itu mendengarku, dengan cepat memudar—membiarkanku dalam kesendirian dan berharap cahaya putih itu muncul lagi. Aku merintih pelan—melihat sekelilingku.
Pria itu pergi dan begitu juga cahayanya. Apa yang telah terjadi?
Aku terbangun, alarm ponselku berbunyi.
Aku bergegas untuk mematikannya, tapi ponselku tidak mengizinkanku untuk menunda alarm. Aku harus memasukkan pola pembuka kunci ponselku dan menekan tombol snooze.
“Aku sudah bangun!” teriakku, lalu mematikannya.
Aku melihat jam. Ada waktu tepat satu jam untuk bersiap-siap dan mengendarai motorku pulang ke rumah.
Aku segera mandi, mengenakan celana jins gelap, sepatu bot kulit hitam, kaus abu-abu tua yang longgar, jaket kulit hitam, dan membiarkan rambut basahku mengering diterpa angin saat mengendarai motor.
Aku keluar dari kamar tidur, mengambil kunci dan tas ranselku, lalu menuju pintu.
Aku melompat menuruni tangga spiral dan keluar dari pintu utama menuju ke parkiran di mana motorku berada.
Kuletakkan tas ranselku di bagian belakang, mengikatnya dengan tali, menyalakan motorku, dan menuju ke jalan raya.
Aku berkendara selama beberapa jam dan tiba di persimpangan jalan yang mengarah ke wilayah kawananku. Aku belok ke jalan tak beraspal itu dan masih berkendara selama 30 menit lagi sebelum berhenti di depan rumah kawanan.
Orang-orang menatapku saat kumatikan mesin dan turun dari motor. Aku sama sekali tak mengenali wajah mereka, karena aku meninggalkan kawanan dalam jangka waktu yang cukup lama.
Mungkin mereka mengira aku adalah seorang serigala liar, terlihat dari tatapan penasaran mereka kepadaku.
Pintu depan rumah kawanan terbuka dan ibuku berlari ke arahku.
“Ibu.” Aku tersenyum dan menemuinya di tengah jalan, serta memeluknya erat-erat.
“Sayangku, akhirnya kamu pulang.” Ibu mencium dan membelai pipiku. “Kamu sudah banyak berubah.”
Aku tidak merasa begitu. Rambutku masih hitam dan bergelombang. Badanku bertambah tinggi beberapa inci. Pasti, badanku sekarang lebih berbentuk, tetapi aku tidak merasa banyak berubah.
“Apa iya?” tanyaku.
“Ya, kamu tumbuh menjadi wanita cantik.” Matanya mulai berkaca-kaca. Aku menghela napas dan memeluknya lagi.
Para anggota kawanan mendekat, mereka menyadari bahwa aku bukanlah serigala liar, tetapi merupakan bagian dari mereka, anak ibuku.
“Terri, dia putrimu?” Seorang pria tua yang tidak asing berjalan ke arah ibuku.
“Ya, dia Leila. Kau lupa? Dia biasa mencuri permen dari sakumu ketika masih kecil.” Ibuku tersenyum saat mengingatkan pria itu.
Aku ingat pria ini sekarang. Namanya Albert. Dia selalu menyembunyikan permen di sakunya untukku. Dia menatapku lalu tersenyum.
“Leila kecil.” Dia tersenyum lembut sambil berjalan ke arahku.
“Albert.” Aku tersenyum dan memeluknya—memasukkan tanganku ke saku kemejanya untuk mengambil permen. Dia menertawakan usahaku.
“Kamu masih sama seperti dulu,” godanya.
“Albert juga,” aku tertawa, saat aku berhasil mengambil permen lolipop. Albert seperti paman yang tidak pernah kumiliki. Dia memujiku dan selalu memanjakanku dengan permen.
“Di mana Ayah?” tanyaku sambil melihat sekeliling.
“Dia pergi dengan alpha ke kawanan lain untuk rapat. Mereka akan kembali besok,” jawab Ibu. “Ayah ingin bertemu denganmu hari ini, tetapi karena urusan kawanan lebih penting, dia menundanya besok.”
“Baiklah, aku lapar. Apakah kalian masak sesuatu untukku? Aku belum pernah makan makanan rumahan yang enak selama ini,” aku tertawa ketika ibuku membawaku ke dalam rumah kawanan.
Baca selengkapnya di aplikasi Galatea!
2
Begitulah rasa sakit. Dia menuntut untuk dirasakan. —John Green
Aku naik ke lantai atas menuju ke kamar tidurku, setelah makan siang bersama ibuku dan Pak Albert. Kamarku berada di lantai pertama rumah kawanan.
Ketika aku membukanya, pemandangannya membuatku teringat saat tinggal di sini.
Kamarku kecil—ada sebuah tempat tidur kecil terletak di sudut ruangan, dengan meja putih dan bangku di mana aku biasa mengerjakan pekerjaan rumah.
Ada poster di dinding dan karya seniku; aku biasa membuat coretan saat di sekolah menengah dulu. Aromaku masih tertinggal di dalam ruangan, meskipun bercampur dengan bau apek.
Kulempar tas ranselku ke lantai, menuju ke tempat tidur, dan duduk di tepinya sambil melihat sekeliling.
Aku bernostalgia. Ada kenangan pahit saat kembali ke sini. Dulu aku menikmati masa remajaku. Masa yang menyenangkan.
Dengan hati-hati, kulepas jaket kulit dan sepatu botku sebelum menuju kamar mandi. Aku melihat pantulan di cermin, rambut hitamku jatuh bergelombang di sekitar wajahku.
Aku jarang merias wajah. Aku tidak suka riasan yang tebal di wajahku.
Aku tidak mengatakan bahwa tubuhku sempurna. Dengan tinggi 162 cm, orang bilang payudaraku terlalu besar. Pinggulku yang lebar sepertinya selalu mendistorsi bentuk tubuhku.
Aku menyalakan keran di wastafel kamar mandiku dan membasuh wajahku dengan air dingin.
Aku bertanya-tanya pukul berapa Ayah akan pulang besok.
Aku juga bertanya-tanya bagaimana kabar alpha muda kami. Aku sering berbicara dengan orang tuaku ketika kuliah, dan mereka memberitahuku bahwa alpha telah menemukan jodohnya.
Dia telah menandainya dan sudah memperkenalkannya kepada kawanan sebagai Luna mereka, tetapi sebuah tragedi terjadi. Ini semua terjadi ketika aku masih kuliah.
Alpha tidak berada di wilayah kawanannya ketika Luna kami meninggal. Dia pergi rapat ketika Luna berlarian di hutan.
Luna sedang istirahat di pinggir sungai ketika kawanan serigala liar menyerangnya. Tubuhnya dicabik-cabik dengan kejam.
Aku ingat pernah merasakan sakit yang sangat di dadaku ketika sedang berada di kelas, sampai membuatku mencengkeram dadaku dan jatuh ke tanah.
Aku tahu, itu pasti Luna kami, karena ikatannya dengan kami terputus.
Teman-teman sekelasku khawatir, tetapi semua tahu apa yang terjadi, karena aku belum berjodoh. Mereka tahu bahwa seorang pemimpin dalam kawananku telah mati.
Alpha Maximus menemukan Luna-nya pada usia 18 tahun, dan beberapa minggu setelah mengumumkannya sebagai Luna kami, dia diserang.
Alpha Maximus menerima kenyataan itu dengan susah payah. Ibuku memberi tahu bahwa dia berubah sejak saat itu. Dia jadi lebih menjaga jarak.
Dia mengurung diri di kamar tidurnya, menolak keluar untuk menemui kawanannya.
Setelah sebulan menolak makan dan berkabung, akhirnya dia muncul, tetapi bukan lagi pribadi yang bahagia seperti sebelum semuanya terjadi.
Aku tidak menyalahkannya. Jodoh adalah segalanya bagi manusia serigala. Mereka adalah belahan jiwa yang ditakdirkan untuk kami.
Jodoh adalah satu-satunya pribadi yang membuat kami menjadi lebih kuat dan bisa saling memahami. Ikatan itu mengikat jiwa kami, menjadikan kami satu.
Jika ikatan itu putus atau jodoh kami mati, itu berarti penderitaan abadi.
Beberapa manusia serigala tidak mampu menanggung penderitaan, dan mereka lebih memilih untuk mati bersama jodohnya, entah itu dengan bunuh diri atau menolak untuk melanjutkan hidup.
Aku tidak bisa membayangkan rasa sakit yang dialami alpha kami. Aku kagum pada bagaimana dia menghadapinya selama tiga tahun sejak kematian jodohnya.
Aku tidak dekat dengan alpha. Usia kami terpaut dua tahun, dan aku selalu menyendiri. Tidak ada yang memperhatikan, dan aku suka itu.
Setelah berkeliling dan meletakkan barang-barangku di kamar lamaku, aku kembali ke bawah untuk bertemu dengan yang lain.
Aku yakin semua anggota kawanan penasaran denganku, karena dulu aku benar-benar seorang penyendiri; tidak ada yang memperhatikan siapa aku sampai saat ini.
Ketika aku tiba di lantai bawah, beberapa anggota kawanan yang lebih tua berdiri di sekitar rumah kawanan dan berbicara dengan ibuku.
Ada beberapa yang seusiaku sedang duduk di area umum sambil mengobrol. Ketika melihat aku, mereka semua berhenti bicara.
Ibuku berjalan ke arahku dan mengajakku menemui semua orang. Dengan canggung aku memaksakan diri tersenyum kepada mereka, meskipun mereka menatapku dengan tidak nyaman.
“Saudara-saudara, ini putriku, Leila. Beberapa dari kalian mungkin mengingatnya sejak di SMA. Dia sekolah ke perguruan tinggi untuk belajar menjadi dokter kawanan kita. Dia hanya berkunjung sebelum kembali untuk menyelesaikan kuliahnya. Dia akan selesai akhir bulan ini dan akan kembali bersama kita,” kata ibuku bangga sambil memelukku dari belakang.
Beberapa anggota yang lebih tua menganggukkan kepala mereka sambil menatapku. Seorang lelaki berjalan ke arahku—dia seumuran denganku dan tampak familier—tapi aku tidak bisa mengingat namanya.
“Selamat datang kembali, Leila. Aku Will.” Dia mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan.
“Terima kasih. Sangat menyenangkan bisa kembali ke sini lagi—mengembalikan banyak kenangan.” Aku tersenyum kepadanya.
Tubuh Will tinggi—aku hanya setinggi dagunya jika berdiri di sampingnya. Dia adalah anak yang tampan. Struktur wajahnya membuatnya terlihat lebih muda dari usia sebenarnya.
Mata birunya berkilat nakal saat dia menatapku dengan penuh kekaguman, yang menurutku agak aneh, apakah aku menarik? Sepertinya aku pernah sekelas dengannya di salah satu mata kuliah.
“Yah, jika kamu ingin melihat-lihat atau butuh bantuan di sekitar sini, jangan ragu meminta kepadaku. Aku ingin sekali mengajakmu berkeliling.” Dia mengedipkan mata.
“Terima kasih,” jawabku kecut. “Aku akan mengingatnya.”
Aku menoleh ke ibuku, yang tersenyum gembira dengan percakapan kami, sementara aku mengernyitkan alis, bertanya-tanya apa yang membuatnya begitu bahagia.
Dia hanya mengangkat bahu dan memelukku dengan erat.
“Karena aku akan kembali ke sini untuk menjadi dokter kawanan, aku ingin tahu apakah aku bisa melihat bangsal rumah sakit. Aku hanya ingin melihat barang inventaris dan membiasakan diri dengannya,” jawabku.
“Aku bisa mengantarmu,” Will menawarkan diri, dengan cepat. Aku menyipitkan mataku kepadanya, merasa sedikit aneh dengan keinginan kuatnya.
“Bagus sekali,” jawabku, dan memberi isyarat kepadanya untuk mengantarku. Dia menuju ke lorong bagian kanan di rumah kawanan.
Kami berjalan berdampingan. Dia orang yang suka bicara.
Dia bercerita tentang hidupnya, dan kemudian menanyakan beberapa pertanyaan pribadi yang kujawab dengan ragu. Tapi biarlah, ini awal yang baik untuk berteman.
Sesekali tubuhnya menyentuh tubuhku dengan samar, tetapi itu tidak menghasilkan percikan apa pun.
“Jadi, inilah bangsal medis. Kami memiliki sekitar lima kamar tidur untuk anggota kami.” Dia menunjuk lebih jauh dan aku melihat lima pintu di sepanjang dinding lorong.
“Ini adalah jalan menuju kantor dokter kawanan kami, dan tepat di sebelah kantor dokter kawanan adalah ruang penyimpanan.” Dia menunjuk ke kirinya saat berbicara.
Bangsal medisnya kecil—sangat kecil—karena manusia serigala jarang terluka, dan jika terluka, mereka sembuh dengan sangat cepat.
Ruangannya berlantai kayu dan berdinding kering dengan cat warna krem. Ada celah kecil yang memisahkan kamar pasien dengan area yang menuju ke tempat yang akan segera menjadi kantorku.
Di lorong kecil yang membagi ruangan, ada sofa beludru cokelat dan sofa untuk anggota keluarga yang menunggu.
“Aku menyukainya,” jawabku pelan. “Ini kecil, tetapi memberikan suasana yang nyaman bagi anggota keluarga yang merasa cemas.”
Will melihat sekeliling saat aku menyampaikan tanggapan, dan dia menganggukkan kepalanya, juga merasakan suasana yang sama.
Kemudian dia berbalik ke arahku dan memberiku senyum cerah.
“Kamu akan menjadi dokter kawanan yang baik—yang cantik pula.” Dia mengedipkan mata padaku dan menyeringai.
“Terima kasih,” jawabku canggung. “Terima kasih telah mengajakku berkeliling. Aku akan memeriksa ruang penyimpanan. Sampai jumpa.”
Dia mengangguk, dan saat aku berjalan ke ruang penyimpanan, aku masih bisa merasakan tatapannya di punggungku.
Will tidak memberiku kesan buruk, aku tahu dia tertarik kepadaku, itu yang membuatku bingung, karena aku merasa bahwa aku tidak menarik.
Namun, jika dia menyukaiku, berarti dia menyukaiku, pikirku saat memasuki ruang penyimpanan.
Baca selengkapnya di aplikasi Galatea!