Hazel Porter sudah sangat bahagia dengan pekerjaannya di toko buku dan apartemennya yang nyaman. Namun, ketika pertemuan mengerikan menjeratnya ke dalam pelukan Seth King, dia baru menyadari ada lebih banyak hal dalam hidup—JAUH lebih banyak! Dia dengan cepat didorong ke dunia makhluk gaib yang dia tidak tahu ada, dan Seth berada tepat di tengahnya: alpha yang garang, tangguh, menawan, yang tidak menginginkan apa pun selain mencintai dan melindunginya. Namun, Hazel adalah manusia biasa. Bisakah hubungan mereka benar-benar berhasil?
Ditemukan – nightnoxwrites

Aplikasi ini telah menerima pengakuan dari BBC, Forbes dan The Guardian karena menjadi aplikasi terpanas untuk novel baru yang eksplosif.

Baca selengkapnya di aplikasi Galatea!
1
Hazel Porter sudah sangat bahagia dengan pekerjaannya di toko buku dan apartemennya yang nyaman. Namun, ketika pertemuan mengerikan menjeratnya ke dalam pelukan Seth King, dia baru menyadari ada lebih banyak hal dalam hidup—JAUH lebih banyak! Dia dengan cepat didorong ke dunia makhluk gaib yang dia tidak tahu ada, dan Seth berada tepat di tengahnya: alpha yang garang, tangguh, menawan, yang tidak menginginkan apa pun selain mencintai dan melindunginya. Namun, Hazel adalah manusia biasa. Bisakah hubungan mereka benar-benar berhasil?
Rating Usia: 18+
Penulis Asli: nightnoxwrites
Catatan: Cerita ini adalah versi asli penulis dan tidak memiliki suara.
Ada hawa dingin di udara dan aroma musim dingin yang mulai mendekati, segar dan berasap.
Aku melilitkan syalku lebih erat di leherku, menangkal hawa dingin ini sebisa mungkin. Di sekelilingku dalam cahaya kelabu, daun-daun terakhir berjatuhan dari pepohonan, menandai akhir musim gugur.
Aku sedang dalam perjalanan pulang dari toko buku tempat aku bekerja, 20 menit berjalan kaki dari apartemenku.
Itu adalah hari yang sibuk. Saat itu awal November dan orang-orang sudah mulai datang untuk membeli hadiah Natal, dan hiruk pikuk akan berlangsung hingga Januari, ketika orang-orang datang untuk menukar hadiah tersebut.
Aku berbelok di tikungan dan melangkah ke jalan tempat aku tinggal, berjalan tidak jauh ke gedung apartemenku, dan menghela napas lega begitu aku keluar dari udara dingin.
Aku tinggal di sebuah gedung berlantai lima, setiap lantai memiliki ruangan apartemennya sendiri. Aku menaiki tangga pertama, yang menuju ke pintuku.
Aku meluruskan papan kecil di mana namaku—Hazel Porter—tertulis dengan tulisan tanganku sendiri yang rapi, sebelum aku memutar kunci dan membiarkan diriku masuk. Aroma vanilla yang familier dari diffuser-ku menyambutku saat aku melangkah masuk.
Apartemenku terdiri dari ruang tamu, dapur kecil, kamar tidur, dan kamar mandi. Apartemenku memang sederhana, tapi apartemen itu milikku, dan rumah kecilku.
Aku telah membeli tempat itu kurang lebih dari setahun yang lalu. Aku telah menabung sejak aku berusia 18 tahun dan pertama kali mulai bekerja di toko buku.
Sepuluh tahun kemudian dan aku masih bekerja di sana, bukan karena aku tidak bisa mendapatkan pekerjaan lain, tetapi karena aku sangat menikmati pekerjaan itu.
Orang tuaku ingin aku melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, tetapi gagasan tentang sekolah lebih tinggi tidak pernah terpikirkan olehku saat masih mengenyam pendidikan sekolah atas.
Selain itu, aku tidak tahu jurusan apa yang harus aku ambil, jadi lebih baik begini. Aku tidak perlu menghamburkan uang hanya untuk sekadar gelar yang tidak aku pedulikan.
Orang tuaku akhirnya bisa menerima hal itu, dan meskipun kami tidak sering bertemu, kami memiliki hubungan yang baik dan aku senang melihat mereka setiap kali mereka datang untuk mengunjungiku.
Mereka pindah ke selatan untuk mencari iklim yang lebih hangat dua tahun lalu.
Aku meletakkan kunciku di ujung meja sebelah pintu di sebuah lorong kecil, melepaskan mantelku, dan membuka syalku sebelum menggantungnya pada gantungan di dinding.
Aku melepaskan sepatu botku dan meletakkannya dengan rapi di rak sepatu di bawahnya.
Aku berjalan menuju dapur, menyalakan lampu saat aku melewatinya. Aku sangat kelaparan, dan lanjut mengubrak-abrik kulkas dan lemari untuk mencari bahan makanan.
Aku memutuskan untuk membuat telur dadar sederhana, karena tidak ingin repot-repot untuk membuat sesuatu yang ribet. Kulkasku terlihat agak kosong, dan aku sudah membuat catatan pengingat untuk berbelanja bahan makanan akhir minggu itu.
Dengan piring yang penuh di tangan, aku berjalan kembali ke ruang tamu.
Aku telah memilih semua perabotanku dengan hati-hati, untuk menciptakan ruang yang menenangkan dan nyaman di mana aku bisa bersantai dan merasa seperti berada di rumah sendiri.
Nuansa netral dengan percikan warna di sana-sini konsisten dalam dekorasi bergaya Skandinavia di setiap ruangan.
Aku merebahkan diri ke sofa tiga dudukan abu-abu, lebih suka duduk di sini daripada di dekat meja dapur—tempat duduk empat—yang cukup sering aku gunakan pada kesempatan langka ketika ada orang yang berkunjung—terutama orang tuaku—untuk makan malam.
Aku meraih salah satu selimutku, selimut putih berbulu halus, dan menutupinya di atas kakiku yang bersilang. Aku menyalakan TV dan mulai menyantap telur dadarku dengan semangat. Aku sangat lapar dan rasanya sangat enak.
“Pembunuhan oleh binatang dilaporkan telah terjadi lagi di Pinewood Valley.
“Binatang yang dimaksud masih belum bisa diidentifikasi, dan penduduk kota disarankan untuk berhati-hati saat pergi mendaki sampai bintatang itu teridentifikasi dan ditangkap,” wartawan laki-laki itu memperingatkan.
Ini adalah yang ketiga dalam bulan ini, aku mencatat. Pinewood Valley adalah kota yang dikelilingi oleh hutan di tiga sisinya, sebagian besar terdiri dari pohon pinus, seperti namanya, dan banyak penduduknya adalah orang yang gemar berjalan kaki.
Serangan binatang memang selalu menjadi risiko, tetapi jarang sekali terjadi dan biasanya hanya terjadi jauh di dalam hutan, jauh dari pusat kota.
Namun, itu berbeda sekarang. Selama beberapa bulan terakhir, frekuensi serangan meningkat dan semakin dekat ke kota. Orang-orang kini kian khawatir, dan memang seharusnya begitu.
Aku bertanya-tanya iseng binatang apa yang menyerangnya saat aku menyendok potongan terakhir telur dadar ke dalam mulutku.
Mungkin beruang atau serigala? Yang aku tahu adalah bahwa binatang itu pasti memiliki cakar. Semua korban mengalami luka dalam dan bekas cakar, kehilangan darah menjadi penyebab utama kematian.
Aku senang bahwa mendaki tidak pernah benar-benar menjadi hal yang kugemari.
Berita lainnya tidak terlalu menarik, jadi aku beralih ke saluran TV lain di mana sebuah acara komedi situasi sedang ditayangkan, dan ketika aku sudah siap untuk tidur, aku berjalan ke kamar mandi untuk mengakhiri malam ini, sembari mematikan lampu saat berjalan.
Begitu berbaring di tempat tidur, aku bersembunyi di balik bantal, dan segera tertidur dengan lelapnya.
Aku bangun keesokan paginya, siap untuk menjalankan rutinitas normalku di tempat kerja. Aku bangun, membuat roti panggang, menggosok gigi, berpakaian, dan mengepang rambut ikalku ke belakang.
Aku menatap diriku sendiri di cermin, dan aku seperti melihat versi perempuan ayahku balas menatapku, dengan rambut merah, mata biru, dan hidung yang sedikit cekung.
Aku selalu terlihat seperti dia—orang-orang juga telah mengatakan hal itu kepadaku selama bertahun-tahun—tetapi kemiripan itu tampaknya meningkat seiring bertambahnya usiaku.
Satu-satunya hal yang kudapat dari ibuku adalah bibir yang sedikit lebih penuh dan tubuhnya yang mungil. Memiliki tubuh yang pendek telah membuatku frustrasi selama bertahun-tahun. Aku selalu berharap tubuhku lebih tinggi.
Aku meraih mantel dan syalku dan mempersiapkan diri untuk menghadapi cuaca musim gugur yang dingin.
Aku tiba di toko buku jauh lebih awal, dan aku memanfaatkannya dengan membuat cokelat panas untuk diriku sendiri di ruang istirahat bersama Crystal, salah satu rekan kerja dan sahabatku.
Seorang wanita muda berwajah ceria dengan kulit karamel dan rambut ikal dengan warna yang sedikit lebih gelap dari kulitnya.
Aku merasa optimis, dan aku yakin ini akan menjadi hari yang baik.
***
Pada akhir jam kerjaku, aku merasa lelah, tetapi puas. Aku benar-benar menikmati pekerjaanku.
Aku kemudian berjalan pulang seperti biasa, dan semuanya baik-baik saja sampai aku berbelok di tikungan dan mendapati diriku berhadapan dengan sosok berkerudung.
Aku melangkah ke samping untuk berjalan melewatinya, tapi dia mengulurkan tangannya, menghentikan langkahku. Terkejut, aku berbalik untuk berjalan kembali ke tempat asalku, tapi dia tidak sendirian lagi.
Hari-hari lebih singkat belakangan ini, dan saat ini sudah gelap gulita.
Tidak ada orang lain di sekitar, sejauh yang aku lihat. Orang-orang lebih suka berada di dalam ruangan di tempat yang hangat.
Jantungku berdegup kencang saat merasakan kepanikan dalam diriku.
Kedua pria itu bertubuh besar dan berotot, dan mereka berdua mengenakan mantel berkerudung, membuat wajah mereka tertutup bayangan.
Mereka mendorongku ke sebuah gang, memastikan mereka cukup dekat sehingga aku tidak bisa melarikan diri.
Salah satu dari mereka mencondongkan tubuh lebih dekat, dan aku berani bersumpah kalau pria itu mengendusku. Aku bergidik dan pikiranku berpacu, memainkan berbagai skenario yang berbeda tentang apa yang bisa terjadi selanjutnya di kepalaku.
Aku ingin berteriak minta tolong, tapi sepertinya aku tidak bisa menemukan suaraku, dan teriakan itu tertahan di tenggorokanku.
“Yah, baiklah. Cuma sendirian, ya?” salah satu pria bertanya dengan suara serak, jari-jarinya meraih daguku, memaksa pandanganku ke arahnya. Aku tidak bisa melihatnya dalam gelap, tapi aku bisa merasakannya.
Yang lain terkikih mengancam saat dia meraih lenganku dan mendorong tubuhku ke dinding.
Aku memejamkan mata, menguatkan diri untuk apa pun yang akan mereka lakukan kepadaku, karena aku tahu bahwa aku tidak memiliki kesempatan melawan mereka. Jantungku rasanya seperti akan keluar dari dadaku.
Tiba-tiba terdengar suara menggeram dan lengan yang telah menjepitku ke dinding terlepas.
Pria ketiga, yang jauh lebih besar dari dua pria, sekarang berdiri di depanku, berbalik dari arahku. Dia tidak mengenakan apa-apa selain jins dan kaus.
Dalam situasi yang membingungkan itu, yang bisa aku pikirkan hanyalah bagaimana dia tidak menggigil kedinginan. Itu adalah hal bodoh untuk aku fokuskan saat ini, tapi aku masih sangat kaget.
“Kalian sedang apa?” tanyanya kepada kedua pria itu, yang menggeliat di bawah tatapan penyelamatku.
Suaranya kasar, kemarahan di dalamnya hampir nyata.
Mereka tidak merespons.
“Kalian tidak diterima di sini. Ini wilayahku.” Kata-katanya membuatku bingung, tapi aku terlalu lega untuk terlalu memperhatikannya.
“Sekarang pergilah,” geramnya.
Kedua pria berkerudung itu bergegas pergi. Saat mereka mulai berlari, bentuk gelap mereka melebur ke dalam bayang-bayang dan menghilang.
Penyelamatku berdiri di depanku, posturnya kaku, sedikit berjongkok, lengannya terangkat ke samping seperti sayap burung yang melindungi anak-anaknya.
Dia tidak bergerak selama beberapa menit setelah dua pria lainnya pergi. Kemudian dia tampak sedikit rileks dan dia perlahan berbalik menghadapku.
Aku tidak bisa melihatnya dengan jelas di sini, di gang yang gelap. Tubuhnya yang besar menghalangi sebagian besar cahaya redup yang datang dari jalan di belakangnya.
“Apakah kau baik-baik saja?” Suaranya masih kasar, tapi nada khawatirnya melunakkan suaranya.
“Kurasa begitu,” aku menarik napas.
“Kau tinggal dekat sini?” dia bertanya kepadaku.
Aku bingung, dan aku cukup yakin tubuhku masih setengah kaget, jadi aku butuh beberapa saat untuk memahami apa yang dia katakan dan untuk dapat membentuk kata-kataku sendiri lagi.
“Lima menit jalan kaki dari sini,” akhirnya kata-kataku bisa keluar.
“Aku akan mengantarmu kalau begitu. Memastikan para bajingan itu sudah tidak berkeliaran lagi.”
“Oke,” kataku pelan.
Aku melangkah kembali ke trotoar. Aku tidak mendengar orang asing itu mengikutiku, jadi aku menoleh untuk melihat apakah dia masih berdiri di gang dan aku malah tidak sengaja menabrak dadanya.
Dia telah berjalan begitu tenang—kakinya yang memakai sepatu bot tidak mengeluarkan suara—sampai-sampai aku tidak menyadari bahwa dia masih mengikutiku.
“Maaf,” gumamku, berusaha menyembunyikan sedikit rasa maluku.
“Jangan khawatir.”
Tangannya sedikit mengitari lengan atasku untuk mencegah aku jatuh akibat benturan.
Aku menatapnya. Dia menjulang tinggi di atasku, tapi di sini dalam cahaya lampu jalan akhirnya aku bisa melihat wajahnya dan aku hampir terkesiap.
Dia memiliki bekas luka, bentuk bekas cakar di wajahnya dari dahinya, di atas mata kirinya, dan sampai ke pangkal tenggorokannya.
Dia memiliki wajah yang tampan, tetapi bekas lukanya sangat mengganggu sehingga sulit untuk melihat banyak hal lain pada pandangan pertama.
Selain itu dengan ukuran tubuhnya yang besar dan warna kulit gelapnya, itu membuatnya terlihat seperti bukan pria baik-baik.
Membingkai wajahnya adalah rambut ikal gelapnya yang berantakan, mata hijaunya hampir sangat cerah. Dia menatap mataku sebentar sebelum mengalihkan pandangannya.
Aku mengalihkan pandanganku dari wajahnya, berbalik, dan mulai berjalan menuju apartemenku lagi. Ada suara langkah samar saat dia berjalan di belakangku, terlalu sunyi untuk ukuran pria seukurannya.
Penyelamatku mengikutiku sampai ke gedung apartemenku, di mana aku menggumamkan terima kasih, dan dia menunggu sampai pintu ditutup dengan aman dari belakangku sebelum dia pergi.
Begitu berada di dalam apartemenku sendiri, aku bersandar ke pintu, lututku menyerah, dan aku merosot ke lantai saat isak tangis akhirnya memuncak, kejadian malam itu akhirnya menghantamku.
Memikirkan apa yang bisa terjadi saja membuatku mual. Setelah beberapa saat, tangisanku berhenti, dan dengan gemetar aku berdiri dan pergi ke dapur untuk meneguk segelas air.
Semua tangisan itu menguras semua tenagaku. Aku langsung berjalan ke kamar tidurku karena tidak memiliki nafsu makan atau energi untuk melakukan hal selain mengenakan piama dan jatuh kelelahan ke tempat tidur.
Biasanya tidak butuh waktu lama untuk aku bisa tertidur, tetapi aku terus terbangun, diganggu oleh mimpi buruk sepanjang malam.
Ketika pagi akhirnya tiba, aku memutuskan untuk tidak pergi kerja dan mengambil cuti sakit, sesuatu yang jarang aku lakukan.
Aku berbaring di tempat tidur hampir sepanjang pagi sebelum bangun untuk mandi, didorong oleh kebutuhan untuk menghapus ingatan tentang malam sebelumnya.
Saat makan siang, aku duduk meringkuk di salah satu kursi berlengan, handuk melilit rambutku yang masih basah. Aku kemudian menelepon ibuku untuk menceritakan tentang apa yang telah terjadi, selain itu untuk mencari hiburan.
Dia mengangkat teleponku pada dering ketiga—hal itu cukup jarang baginya—dan aku lanjut menceritakan semuanya kepadanya sementara air mata baru mengalir di pipiku, meskipun tidak semarah tadi malam.
Aku menangis lebih banyak dalam 24 jam terakhir daripada yang aku lakukan dalam enam bulan terakhir.
Sore harinya aku akhirnya bisa makan sesuatu, dan aku merasa lebih santai saat aku memutar film yang sudah aku kenal dan meringkuk di sofa.
***
Keesokan harinya aku kembali bekerja lagi. Aku masih sedikit terguncang, tetapi aku bertekad untuk kembali normal. Aku tidak akan membiarkan diriku larut dalam kejadian itu terlalu lama.
Dalam perjalanan pulang, tiba-tiba aku merasa sangat gugup ketika berjalan, ketika aku menyeberang jalan sebelum sampai ke sudut di gang kejadian malam itu dan aku berjalan di sisi yang berlawanan sampai aku melewatinya dengan selamat.
Aku merasa seperti seseorang sedang mengawasiku dari bayangan di antara lampu jalan, dan aku mempercepat langkahku, aku hanya ingin sampai rumah secepat mungkin.
Baca selengkapnya di aplikasi Galatea!
2
Seth King jengkel. Dia bergegas ke rumah kawanan dan langsung menuju ruang pertemuan alpha. Dia membanting pintu dan tatapan khawatir terlihat dari raut wajah para kawanannya ketika melihat gelagatnya..
“Bagaimana mereka bisa melewati perimeter wilayah kita?” dia bergemuruh.
Semua pria yang berdiri di hadapannya menundukkan kepala, mengalihkan pandangan, tidak mampu menghadapi alpha mereka.
Seorang manusia serigala yang marah saja selalu menjadi sesuatu yang harus diwaspadai, tetapi ketika dia adalah alpha, kau bodoh jika tidak berhati-hati.
“Pasti ada titik lemah di salah satu kawasan patroli kita.” Nate, beta-nya, adalah orang pertama yang berani berbicara.
“Kalau begitu cari tahu.” Suara Seth lebih tenang sekarang, tapi nyaris tidak.
Serigala liar bajingan itu hampir melukai manusia di wilayah kekuasaannya, dan itu adalah sesuatu yang tidak bisa dibiarkan.
Selain melindungi kawanan, seorang alpha juga bertanggung jawab untuk melindungi semua manusia, atau makhluk lainnya, di dalam wilayah kekuasaannya.
Manusia serigala lain yang masuk tanpa izin dan mencoba menyakiti orang di wilayahnya adalah suatu hal yang tidak dapat diterima.
“Sebagai kepala penjaga, tugas menemukan titik lemah ada padamu, Thatcher.” Dia menoleh ke pria yang dimaksud dan mengarahkan matanya yang gelap kepadanya.
“Ya, alpha-ku,” jawab pria yang lebih tua dengan serius.
“Kau boleh pergi.”
Pria itu bangkit, bergerak cepat keluar ruangan sehingga dia bisa menyelesaikan tugas yang diberikan kepadanya.
“Kalian berdua tahu apa yang harus kalian lakukan. Bergabunglah dengan patroli, pastikan mereka sudah pergi.” Dia berbalik untuk melihat dua pria yang tersisa: beta dan yang ketiga dalam komando.
“Aku akan kembali untuk memastikan dia masih aman.”
Kedua pria itu saling melirik, bertukar pandang, tetapi mereka tidak mengatakan apa-apa, dan mereka juga pergi untuk memenuhi tugas mereka.
Begitu dia tinggal sendirian, Seth membanting tinju ke meja bundar di tengah ruangan, dengan geraman, sebelum menarik napas.
Kemudian dia berjalan keluar ke bagian belakang rumah kawanan, di mana sebagian dindingnya dipenuhi dengan loker.
Dia menemukan salah satu loker yang kosong dan dengan cepat menanggalkan pakaiannya, meletakkan pakaiannya di dalam loker dan menutupnya dengan kencang.
Dia kemudian berlari dengan kecepatan tinggi, melompat di udara, dan dengan guncangan yang berlangsung tidak lebih dari satu detik, dia bukan lagi manusia, tetapi berubah wujud menjadi serigala.
Cakarnya menggali tanah, mendorongnya ke depan, kembali ke tempat dia meninggalkan wanita manusia itu.
Dia tetap berdiri di balik bayang-bayang, memastikan dia tidak akan terlihat oleh orang-orang yang kebetulan sedang keluar untuk jalan-jalan larut malam.
Berubah dalam wujud serigala membuat indra penciumannya lebih sensitif untuk mencari objek yang dia cari, indranya yang sudah meningkat secara tidak wajar bahkan lebih kuat saat itu.
Dia mengendus-endus udara, memastikan bau manusia serigala yang menyerang tidak tercium.
Dia membuat batas wilayah kekuasaan di sekitar gedung, yang dia periksa sampai—menggunakan telepati kawanan—dia mendengar suara beta di kepalanya.
“Semua aman, Alpha. Batas wilayah kekuasaan sudah diamankan, tidak ada tanda-tanda serangan serigala liar.”
Dia menghela napas lega sebelum kembali ke rumah kawanan setelah mengawasi gedung wanita manusia itu untuk terakhir kalinya,
***
Seth sedang gelisah sepanjang hari setelah kejadian malam itu. Seharusnya tidak ada yang bisa melewati batas wilayah, bahkan sampai sejauh yang dijangkau oleh kedua serigala liar itu..
Dia menuju ke ruang pertemuannya untuk pengarahan harian.
Pagi ini, pengacara kawanan juga ada di sana, bersama dengan beta dan ketiga dan kepala penjaga. Begitu Seth duduk, pria lainnya juga duduk.
“Aku memulai pertemuan ini,” kata Seth, otoritas alpha terasa di tiap katanya.
“Telah terjadi sebuah penyusupan semalam,” Nate memulai.
“Dua serigala liar berhasil menerobos batas wilayah kekuasaan kita,” Gabriel, orang ketiganya melanjutkan.
“Titik lemah telah ditemukan dan diamankan. Keamanan secara keseluruhan juga telah ditingkatkan dan akan demikian untuk beberapa minggu ke depan jika mereka atau orang lain mencoba untuk menerobos batas wilayah kekuasaan kita,” tutup Thatcher.
Dia marah kepada dirinya sendiri karena membiarkan seseorang menerobos kawasan penjaga. Sebagai kepala penjaga, itu merupakan pukulan bagi harga dirinya.
Hal ini dapat membuat posisinya dipertanyakan di antara kawanan dan kepemimpinannya tidak dipercaya seperti sebelumnya.
“Bagus. Manusianya juga aman,” kata Seth sambil bersandar di kursinya, satu kaki disilangkan, dan lengannya di sandaran lengan.
“Kita juga harus membicarakan serangan ini. Sudah semakin parah dan semakin mendekati perimeter juga—tapi mereka selalu di seberang garis, sedikit di luar jangkauan kita.” Rasa frustrasi yang mereka semua rasakan terlihat jelas dalam suara Nate.
“Apa yang harus kita lakukan, Alpha?” Gabriel bertanya, dan semua mata sekarang tertuju kepada Seth.
Sebuah kerutan terbentuk di antara alisnya saat dia mempertimbangkan jawabannya dengan hati-hati.
“Kita perlu menunggu. Mudah-mudahan mereka akan lelah dan pindah berburu ke tempat yang baru. Jika kita mengejar mereka, kita berisiko dibawa ke wilayah Alpha Caleb, dan itu berarti perang.”
Jadi, telah disepakati bahwa mereka perlu menunggu sambil tetap waspada, dan berharap bisa menyerang siapa pun yang berada di dekat batas wilayah untuk menyingkirkan ancaman, atau membiarkan mereka pergi begitu saja.
Setelah pertemuan, kawanan bubar untuk menjalankan tugas masing-masing—semua kecuali Nate, yang tetap bersama Seth setelah yang lain pergi.
“Katakanlah,” kata Seth setelah melihat ekspresi wajah beta-nya.
“Gabriel dan aku sedang berbicara,” dia memulai.
Seth mengangkat alis bertanya. “Dan?”
“Yah, apakah itu dia?” tanyanya akhirnya.
Seth mengeluarkan embusan udara lembut dan menyeret tangan ke wajahnya.
“Aku tidak tahu. Mungkin.”
***
Di penghujung hari, Seth mengikuti aromanya ke toko buku tempat dia bekerja.
Hal itu cukup mudah, mengingat pertemuannya yang dekat dengannya di malam sebelumnya. Aroma vanilla dan madunya masih sangat jelas di benaknya.
Seth tetap dekat, sembari mengawasinya dengan rasa ingin tahu. Ketika dia berjalan pulang, Seth mengikutinya, semua indranya yang tajam untuk waspada terhadap kemungkinan lebih banyak penyusup.
Ketidaknyamanan dan kegelisahan wanita itu yang terlihat jelas membuat Seth ingin keluar dari bayang-bayang untuk menghiburnya, menghaluskan lipatan di antara alisnya, dan meyakinkannya bahwa dia aman sekarang.
Seth menunggu sampai wanita itu pulang dengan selamat, seperti malam sebelumnya, sebelum dia berjalan kembali ke rumah kawanan sambil bertanya-tanya bagaimana mungkin seorang manusia ini telah menarik seluruh perhatiannya.
Sebelum bertemu dengannya, tugasnya memang melindungi orang lain, tetapi tidak ada yang pernah membuatnya merasa protektif seperti ini sebelumnya.
***
Seth terus mengawasinya sampai minggu berikutnya, setiap kali dia punya waktu luang.
Dia berkata kepada dirinya sendiri bahwa dia hanya ingin memastikan kalau wanita itu baik-baik saja setelah kejadian penyerangan yang membuatnya sangat trauma—bahwa dia juga akan melakukan hal yang sama untuk manusia lain.
Namun, dia mencurigai, seperti halnya beta dan orang ketiganya, bahwa ada hal lebih dari itu.
***
Jumat berikutnya, beberapa vampir pengembara melewati kota. Mereka telah mengajukan izin dan dia telah memberikannya selama mereka berjanji untuk tidak mencari mangsa di wilayah kekuasaannya.
Hal itu tetap membuat Seth merasa semakin gelisah, dan ketika hari itu akhirnya tiba, dia mendapati dirinya mengawasi wanita itu lebih dekat.
Dia pergi ke tempat kerja wanita itu dan berjaga-jaga dari jarak aman, dan mengikutinya pulang saat dia masuk untuk mengambil apa yang ternyata adalah sebuah buku sebelum dia berjalan, membawa mereka ke taman.
Di sana, wanita itu duduk membaca di bangku, benar-benar tenggelam dalam apa yang dia lakukan.
Seth tahu bahwa jika dia memperhatikan perilaku dirinya lebih dekat, Seth akan terlihat seperti pecundang. Dia memang benar-benar sedang menguntit wanita ini.
Jika wanita itu tahu Seth mengikutinya, Seth yakin dia akan ketakutan.
Seth mengendus-endus udara dan mencium bau vampir, dan tubuhnya menjadi kaku sejenak dan matanya tertuju kepada wanita yang sedang membaca itu. Mereka dekat.
Dia berjalan menyusuri jalan setapak—memaksa dirinya untuk tidak lari—memosisikan dirinya di bangku di seberangnya, siap melindunginya jika diperlukan.
Dia mengeluarkan ponselnya untuk memeriksa apakah Nate mengiriminya pesan lagi, karena telepati hanya berfungsi ketika mereka sedang dalam wujud serigala.
SMS adalah sarana komunikasi jarak jauh mereka ketika dalam wujud manusia.
Dia mendengar detak jantung wanita itu bertambah cepat, dan Seth memandangnya hanya untuk menemukan wanita itu menatap balik ke arahnya, jejak keheranan dan rasa keingintahuan terlihat jelas di mata birunya itu.
Ketika menyadari dia tertangkap basah, wanita itu dengan cepat melihat ke bawah dan Seth melihat sedikit rona merah muncul di pipinya. Dia menahan senyum sebelum kembali fokus ke ponselnya.
Nate memberinya kabar terbaru tentang keberadaan vampir. Mereka memiliki beberapa penjaga yang bertugas membuntuti mereka, memastikan mereka tidak mencoba sesuatu yang bodoh.
Ternyata mereka memiliki keterikatan mendalam terhadap Pinewood Valley, jauh sebelum daerah itu menjadi milik manusia serigala dari Kawanan King.
Mereka melakukan perhentian di beberapa tempat, tapi untungnya 30 menit kemudian, Seth kembali mendapat pesan bahwa mereka keluar dari wilayah kekuasaannya lagi.
Dalam 30 menit terakhir, Seth telah membuat keputusan. Hanya ada satu cara untuk mengetahui apakah kecurigaannya benar, dan sekarang adalah saat tepat untuk membuktikannya.
Dia berdiri dan berjalan ragu-ragu ke arah wanita di bangku lain, dan kemudian dia duduk di sebelahnya.
Baca selengkapnya di aplikasi Galatea!