Si Keily Gendut - Book cover

Si Keily Gendut

Manjari

0
Views
2.3k
Chapter
15
Age Rating
18+

Summary

Keily selalu berukuran besar, dan meski merasa tidak aman, dia tidak pernah membiarkan hal itu menghalanginya. Setidaknya sampai dia pindah ke sekolah baru di mana dia bertemu dengan keparat terbesar yang pernah ada: James Haynes. Lelaki itu tidak pernah melewatkan kesempatan untuk mengolok-olok berat badan Keily atau menunjukkan kekurangannya. Namun, masalahnya… orang-orang yang mengatakan hal-hal paling kejam sering kali menyembunyikan masalah mereka sendiri, dan James menyembunyikan sebuah rahasia BESAR. Dan itu adalah rahasia tentang Keily.

Lebih banyak

34 Chapters

Chapter 1

Bab 1

Chapter 2

Bab 2

Chapter 3

Bab 3

Chapter 4

Bab 4
Lebih banyak

Bab 1

Ringkasan

Keily selalu berukuran besar, dan meski merasa tidak aman, dia tidak pernah membiarkan hal itu menghalanginya. Setidaknya sampai dia pindah ke sekolah baru di mana dia bertemu dengan keparat terbesar yang pernah ada: James Haynes. Lelaki itu tidak pernah melewatkan kesempatan untuk mengolok-olok berat badan Keily atau menunjukkan kekurangannya. Namun, masalahnya… orang-orang yang mengatakan hal-hal paling kejam sering kali menyembunyikan masalah mereka sendiri, dan James menyembunyikan sebuah rahasia BESAR. Dan itu adalah rahasia tentang Keily.
^ ^ ^Rating Usia: 18+ (Peringatan Konten: Pelecehan Seksual, Penyerangan) ^ ^ ^ ^Pengarang Asli: Manjari ^

AddisonAku sudah sampai.

Setelah membaca teks itu, aku memasukkan ponselku ke dalam saku celana jinsku dan menelan sisa serealku. Aku mengambil tasku dan menyeka tanganku pada celana jinsku, bergegas menuju pintu depan.

"Bu, Addison sudah tiba!" Aku berteriak kembali ke dapur. "Aku pergi. Dah!"

“Semoga berhasil di hari pertamamu!” Kudengar Ibu balas berteriak saat aku menutup pintu di belakangku.

Addison, sepupuku, sedang menungguku di dalam mobil. Kulit mahoninya bersinar indah di bawah sinar matahari, dan rambut cokelat keritingnya dikucir kuda tinggi.

Aku menyelipkan kemejaku sedikit, memastikan perutku tertutup. Kemeja yang kukenakan hari ini lebih panjang dari biasanya, tapi tidak ada salahnya memeriksa dua kali apakah sudah menutupi bagian tubuhku yang memang perlu ditutupi.

"Hei," sapa Addison saat aku duduk di kursi penumpang.

"Hai."

“Jadi, apa kau bersemangat? Hari ini hari pertamamu,” kicaunya dan menyalakan mesin. "Kau akan menjadi gadis baru, Keily."

"Kau bicara seolah-olah aku sedang berada di sebuah acara remaja, di mana orang-orang keren akan melompat ke arahku dan pemandu sorak akan mencakarku." Aku terkikik, getaran selamat paginya menular padaku.

"Hei! Gadis-gadisku tidak akan mencakar, mereka akan meninju.” Addison tersenyum.

“Oh, kalau begitu, ingatkan aku untuk memotong kukuku dan ikut les tinju,” aku balas bercanda.

Bolak-balik dia membantuku menenangkan kegelisahanku. Hari ini akan menjadi hari pertamaku di SMA Jenkins.

Delapan belas tahun hidupku telah dihabiskan di pinggiran kota Remington, jadi pindah ke sini dan memulai tahun terakhir sekolah menengahku di kota yang sama sekali baru, sangat melelahkan.

Pindah sebenarnya tidak ada dalam rencana kami, tetapi ketika perusahaan Ibu memutuskan untuk membuka cabang baru mereka di sini dan memintanya menjadi manajer proyek, menolak bukanlah pilihan.

Bradford adalah kampung halaman Ibu, tempat dia dibesarkan dan menghabiskan 21 tahun hidupnya. Lagi pula, dia akan mendapatkan kenaikan gaji di cabang baru ini.

Ayahku juga tidak keberatan; sejujurnya, dia tidak akan keberatan jika kau memindahkannya ke sudut lain di dunia. Dia seorang pekerja lepasan di bidang perancangan perangkat lunak dan situs web, jadi pindah bukanlah masalah besar baginya.

Namun, bagiku…

Aku tidak ingin meninggalkan kenyamanan tempat yang kukenal dan orang-orang yang akrab (bahkan jika orang-orang itu cukup keras). Itu seharusnya terjadi setahun kemudian ketika aku pindah ke perguruan tinggi, bukan sekarang.

Kami tiba di sini segera setelah tahun ajaran sekolahku berakhir, jadi aku punya waktu hampir dua bulan untuk mempersiapkan dan berjalan-jalan di sekitar kota ini sebelum mulai di Jenkins.

Addison, putri saudara laki-laki ibuku, telah menjadi pemandu wisata yang hebat dan teman (atau sepupu) yang sangat baik. Berkat dirinya, ketidaksukaanku terhadap seluruh cobaan yang menimpaku perlahan memudar.

Kami cocok sedari awal karena kecintaan kami akan anime dan Taylor Swift. Dia adalah orang yang sangat menyenangkan dan mudah bergaul.

Dia telah memperkenalkanku kepada beberapa temannya juga, membuatku yang seorang penyendiri ini merasa sangat disambut.

Dia bahkan menjanjikanku tumpangan ke sekolah karena rumahnya hanya beberapa blok dari rumahku. Aku merasa dia terdorong melakukannya karena aku adalah sepupunya; tapi aku juga tidak bisa menolak.

Menumpang di mobil sepupuku terasa lebih menarik daripada memaksa tubuhku masuk di kursi kecil bus dan menerima tatapan merendahkan dan cemoohan dari remaja lain setiap pagi.

Aku sudah mengalaminya di Remington.

"Sudah tiba." Addison membunyikan klakson, membubarkan kerumunan di sekitar tempat parkir, menuju suatu tempat.

Aku melihat ke gedung besar yang berdiri tinggi di depan kami, perasaan berat menekan bahuku. Sarafku menghantamku dengan kekuatan penuh.

“Selamat datang di neraka barumu, Nona,” goda sepupuku. Dia keluar, dan aku mengikuti seperti anak anjing yang tersesat (anak anjing yang sangat besar).

Sekali lagi, aku menurunkan bajuku, merasa tidak nyaman berjalan tepat di sebelah Addison.

Sepupuku tidak hanya di tim pemandu sorak, tetapi dia juga atlet lari, salah satu sprinter terbaik sekolah, menurut teman-temannya. Tidak heran dia memiliki tubuh yang didambakan setiap wanita.

Tubuhnya ramping, tapi memiliki lekukan yang indah dan berotot, dengan tinggi enam kaki kurang beberapa inci.

Dengan mengenakan skinny jins dan atasan pendek, hanya memperlihatkan sedikit perutnya yang ramping, dia tampak seperti baru saja keluar dari majalah mode.

Aku, di sisi lain, nyaris tidak mencapai bahunya. Aku memiliki perut besar, lengan lembek, dan kaki besar.

Satu-satunya asetku yang layak dipertimbangkan mungkin adalah payudara dan pinggulku. Namun terkadang, itu malah membuatku kerepotan saat berbelanja pakaian.

Hari ini, aku mengenakan atasan berbahan jatuh—untuk menyembunyikan lemakku—dan legging hitam.

Meskipun aku menganggap ini sebagai pakaian kasual terbaikku, tapi di samping Addison, aku merasa berpakaian kurang, juga sangat tidak berbentuk.

Lihatlah dia; dia cantik.

“Kau punya jadwal pelajaran, peta, dan kode loker, kan?” tanyanya ketika kami mencapai tangga menuju pintu terbuka lubang neraka.

“Ya, aku mendapatkannya pada hari Sabtu. Kau tidak perlu mengasuhku, tidak peduli apa yang telah dikatakan ibuku kepadamu.” Kami memasuki lorong, dan dengan segera, aku dikelilingi oleh hiruk pikuk sekolah menengah yang akrab.

Addison cemberut. “Keily, aku tidak bersamamu karena ibu atau ayahku menyuruhku. Aku sangat suka menghabiskan waktu istirahatku denganmu. Secara resmi, aku menganggapmu lebih sebagai teman baik daripada sepupu.”

Itu membuatku merasa bersalah atas sindiranku.

"Maafkan aku. Aku hanya tidak ingin merepotkanmu. Kau sudah memberiku tumpangan ke sekolah. Aku tidak ingin menjadi beban.”

“Untuk apa berteman jika tidak menjadi beban bagimu?” Addison menyindir, membuatku tersenyum. Dia sempurna.

"Kalau menurutmu begitu, aku bisa mengerti maksudnya." Aku menjawab, tidak dapat mengikuti komentar jenakanya.

“Omong-omong tentang beban, izinkan aku memperkenalkanmu kepada beberapa yang menjadi bebanku.” Dia mulai berjalan menuju sekelompok gadis, semuanya bertubuh kurus, berwajah cantik, dan tinggi. Hanya dengan sekali melihat, siapa pun bisa tahu bahwa aku tidak termasuk dalam kerumunan itu.

Aku menegur diriku sendiri karena pikiranku dan menelan rasa tidak aman yang menggerogoti itu.

Jika bukan karena Addison, aku akan benar-benar menjadi penyendiri di sini. Seharusnya aku bersyukur tidak akan menghabiskan hari pertamaku dengan berjalan canggung di tempat yang besar ini.

Jadi, dengan senyum gembira, aku mengikuti Addison, membiarkannya menjadi mentorku.

***

“Bagaimana hari pertama semua orang?” tanya guru kami. Ini adalah kelas ketiga hari ini.

Sebuah erangan kolektif menjadi jawabannya, dengan beberapa jawaban "membosankan" dan "baik". Jelas, para siswa tidak merasakan antusiasmenya.

"Apakah memang kalian harus selalu segugup ini?" Dia menghela napas dan mulai menulis di papan tulis. Joseph Crones.

“Untuk siswa baru di sini,”—tatapannya menatapku lebih lama—“Aku Joseph Crones. Kalian bisa memanggilku Pak Crones.”

Aku mengangguk ketika dia menatapku lagi. Apa hanya aku siswa baru di kelas ini?

“Karena ini hari pertama bahasa Inggris kita, kenapa kita tidak—” Ucapannya terpotong ketika pintu kelas terbuka.

Seorang anak laki-laki masuk dan menyerahkan surat kepada Pak Crones. Mau tak mau, aku mempelajari fitur-fiturnya. Dia tinggi, lebih dari enam kaki, dan tubuhnya seperti atlet.

Dengan otot-otot lengannya yang menonjol, kau dapat dengan mudah mengetahui bahwa seluruh fisiknya sama kokoh dan berototnya.

Matanya tertuju kepadaku, dan aku sadar sedang mengamatinya. Aku langsung menunduk, wajahku memerah.

Aku benci bagaimana wajahku dengan mudah menunjukkan rasa maluku, memerah pada setiap kesempatan.

"Pak Haynes, beri tahu pelatih untuk membiarkanmu pergi lebih awal atau menahanmu di lapangan bersamanya,” tegur Pak Crones kepada Haynes.

"Katakan saja sendiri kepadanya," aku mendengar Haynes bergumam saat suara langkah kakinya terdengar semakin keras. Guru kami tidak mendengarnya, atau bahkan jika dia mendengar, sepertinya memutuskan untuk mengabaikannya.

Kepalaku masih menunduk, jadi ketika sepasang sepatu Nike muncul, alisku berkerut, dan tanpa sepengetahuanku, kepalaku terangkat. Haynes mulai merasa nyaman di meja di sampingku.

Beberapa meja selain meja di sebelahku masih kosong. Betapa beruntungnya aku! Dia harus duduk di sini! Ya Tuhan…

Aku tahu reaksiku berlebihan, tetapi pria itu baru saja memergokiku sedang mengamatinya. Sungguh memalukan. Bila penampilanku sedikit saja seperti Addison, aku tidak akan sepanik ini.

Namun, aku adalah gadis gemuk, dan orang-orang sepertiku tidak berhak mengejar pria tampan sepertinya.

"Seperti yang kukatakan," Pak Crones memulai, "ini hari pertama, jadi aku memberi kalian semua tugas yang harus diserahkan pada akhir semester ini. Kedengarannya bagus?" Dia memberikan senyum manis.

Muncul erangan kolektif lainnya sebagai jawabannya.

"Baik sekali." Dia ingin kami menulis esai lima ribu kata tentang salah satu karya Shakespeare.

Kami perlu melakukan analisis mendalam tentang karyanya dan juga menyajikan bagaimana hal itu dipengaruhi oleh politik dan budaya periode Elizabeth.

Jujur, aku senang dengan tugas ini. Aku menyukai sastra; itu menyenangkan.

"Hei!" Sebuah tangan menghantam mejaku, hampir membuatku melompat. Pak Haynes meletakkan tangannya di mejaku.

Mataku pertama kali tertuju kepada Pak Crones—yang sedang sibuk menulis di papan tulis—lalu beralih ke anak laki-laki di sampingku.

Helaian rambut cokelat gelapnya jatuh ke dahinya, dan entah bagaimana membuatnya tampak sangat tampan. Aku bisa melihat tatapan penuh perhitungan tapi mengejek di matanya yang hitam pekat.

Bibir merah mudanya berkedut; dia berusaha menyembunyikan senyuman. Meskipun bocah ini tampak seperti inkarnasi Adonis sendiri, tatapan yang diberikannya kepadaku menimbulkan masalah.

Eh…

"Ya?" Aku benci bagaimana rengekanku terdengar. Wajahku sudah memerah. Berhentilah menjadi selemah ini!

Aku melihat matanya memindai tubuhku dari ujung kepala sampai ujung kaki. Aku tidak tahu apakah pikiranku sedang mempermainkanku, tetapi tatapannya mengingatkanku pada semua tatapan yang kuterima sepanjang masa remajaku.

Aku sudah bisa merasakannya menghakimiku: gendut dan malas.

"Jadi," katanya, menyadarkanku dari lamunanku.

"Hah?"

Bibirnya tertarik ke atas dengan seringai menggoda. Wajahku memerah lebih keras.

“Aku bertanya apa kau bisa meminjamkan pena kepadaku. Aku lupa membawa milikku.”

Oh.

Aku bergerak untuk mengambil pena dari ranselku, tapi pandanganku jatuh kepada saku celana jinsnya. Dua pena sudah mengintip dari sana.

Apa yang dia coba lakukan?!

"Tidak." Suaraku keluar lebih keras dari yang kuinginkan. Aku berusaha untuk tidak terdengar lemah, tapi akhirnya terdengar seperti orang sombong. Kerja bagus.

Aku menoleh kembali ke Pak Crones, yang masih sibuk menulis. Sejujurnya, aku tidak ingin berada di dekat Haynes atau memiliki alasan untuk bergaul dengannya. Aku tidak ingin memberinya penaku.

Wajahnya, tubuhnya, sikapnya, bahkan caranya duduk di kursinya layaknya seorang raja, mengingatkanku pada semua anak dengan hak istimewa yang beranggapan bahwa mereka penguasa dunia dan bisa mengejek orang-orang sepertiku di setiap kesempatan.

Aku mungkin terlalu memikirkan ini, tetapi lebih baik bersikap waspada daripada menyesal.

Aku mendengar cemoohannya, dan bahkan tanpa melihat, aku tahu bahwa dia memelototiku.

"Dengan semua lemak yang keluar dari tubuhmu, sikapmu benar-benar sombong." Kata-katanya menghancurkan sedikit kepercayaan diri yang telah kukumpulkan.

Aku benar-benar ingin membalasnya, tapi seperti biasa, lidahku membeku, dan sebaliknya aku hanya mengintipnya sekilas. Dia sedang menulis di buku catatannya dengan pena—yang sepertinya tidak diberikan siapa pun kepadanya.

Aku berbalik, tinjuku mengepal.

Berengsek!

Lebih baik menjauh darinya, karena pada akhirnya, tidak peduli seberapa besar keinginanku, aku tidak bisa melawan keparat sepertinya.

Next chapter
Diberi nilai 4.4 dari 5 di App Store
82.5K Ratings
Galatea logo

Unlimited books, immersive experiences.

Galatea FacebookGalatea InstagramGalatea TikTok