Mengambil Risiko - Book cover

Mengambil Risiko

Mars Mejia

0
Views
2.3k
Chapter
15
Age Rating
18+

Summary

Kara hanyalah siswa kelas 3 SMA yang biasa, tidak populer, tapi bukan penyendiri. Dia punya pacar yang bernama Adam… itu hingga Kara mendapatinya berselingkuh. Sekarang Kara ingin melupakan semua tentang Adam, tapi dia terus muncul. Lalu, di sebuah pesta, Adam mulai berbuat kasar kepadanya. Sayangnya bagi Adam, itu adalah pesta Jason Kade. Setelah menghajar Adam, Jason mengincar Kara, dan dia tidak suka ditolak. Sekarang Kara dan Jason terjebak dalam permainan saling mengejar, tapi siapa yang mengejar siapa?

Lebih banyak

36 Chapters

Chapter 1

Bab Satu

Chapter 2

Bab Dua

Chapter 3

Bab Tiga

Chapter 4

Bab Empat
Lebih banyak

Bab Satu

RINGKASAN

Kara hanyalah siswa kelas 3 SMA yang biasa, tidak populer, tapi bukan penyendiri. Dia punya pacar yang bernama Adam… itu hingga Kara mendapatinya berselingkuh. Sekarang Kara ingin melupakan semua tentang Adam, tapi dia terus muncul. Lalu, di sebuah pesta, Adam mulai berbuat kasar kepadanya. Sayangnya bagi Adam, itu adalah pesta Jason Kade. Setelah menghajar Adam, Jason mengincar Kara, dan dia tidak suka ditolak. Sekarang Kara dan Jason terjebak dalam permainan saling mengejar, tapi siapa yang mengejar siapa?
^ ^ ^Rating Usia: 18+ ^ ^ ^ ^Penulis Asli: Mars ^ ^ ^ ^Catatan: Cerita ini adalah versi asli penulis dan tidak memiliki suara. ^

KARA

"Ayolah, Kara," kata temanku, Layla, kepadaku sambil meniup wajahku dengan napasnya yang berbau alkohol.

Aku mengerang saat mengayunkan lengannya yang lemas ke bahuku. Layla bersandar padaku dan aku berusaha agar kami berdua tidak jatuh. Kami baru di sini selama hampir satu jam dan dia sudah mabuk.

Aku berjalan menelusuri rumah besar yang berbau minuman keras dan kolonye. Aromanya yang kuat menggelitik hidungku.

"Di mana Jess?" kutanya kepada temanku yang mabuk, dan rasanya seolah-olah aku berbicara dengan tembok.

Layla mengambil waktu sejenak untuk merapikan rok hijaunya yang berkilau. Rambut pirangnya yang panjang masih tergulung sempurna dan aku memindahkannya ke belakang telinganya agar tidak menempel di wajahnya yang memerah.

Meskipun musim gugur akan segera datang, rumah itu panas dan lembap.

"Di sana." Dia mengulurkan jari yang ramping dan menunjuk ke arah kerumunan kecil orang yang menari dengan liar. Jess ada di tengahnya, menari liar pada seorang pria.

“Aku akan mengurusnya.” Pacar Layla muncul. Mereka sudah berpacaran sejak kelas 1 SMA. Milo dengan cepat menyisir rambut cokelatnya ke belakang sebelum mendekat dan menarik Layla dariku.

“Oh, syukurlah.” Dengan hati-hati aku melepasnya dari bahuku dan menarik napas lega. Layla memekik kegirangan dan memeluk pacarnya, yang membalasnya dengan tawa.

"Bersenang-senanglah, Kara." Milo memberiku senyuman dan aku berusaha membalasnya. Aku merasa sangat antisosial malam ini. Hatiku terasa berat dan aku ingin menyembuhkannya.

“Kara!” Jess meneriakkan namaku menembus musik yang keras. Aku menoleh dan melihat temanku yang berwajah merah terombang-ambing di belakang beberapa orang lain. Dia jelas telah menari sepanjang malam.

"Kau bersenang-senang?" dia bertanya sambil berjalan ke arahku dengan tatapan khawatir.

Aku mengangguk cepat. "Sebisa mungkin." Bibirku membentuk senyum gelisah dan Jess meremas tanganku sebelum menggenggamnya erat.

"Ayo menari." Dia menarikku ke arah kerumunan orang yang menari sebelum aku bisa menolak. Jess suka menari. Itu bagian dari budaya Meksiko kami, dia suka mengatakannya.

Jess menyeretku lebih jauh ke tengah kerumunan yang aktif. Tubuh-tubuh yang menabrakku, aroma alkohol yang kuat, dan jumlah parfum yang banyak menjadi kombinasi mematikan hal-hal yang membuatku sesak.

Kulihat temanku yang mabuk mulai menggerakkan tubuhnya seiring dengan musik pesta yang keras. Rambut hitamnya yang tebal tergerai di punggungnya, dan gaun biru yang dia kenakan membuat mata cokelat gelapnya terlihat menonjol.

Awalnya aku berdiri di sana dengan canggung, mengamati dengan saksama saat semua orang menari dan menggoyangkan tubuh mengikuti irama musik, tampak riang. Aku agak iri kepada mereka. Memang terlalu banyak berpikir adalah kebiasaan burukku.

Jess mencondongkan tubuh ke depan dan mendekatkan bibirnya yang merah ke telingaku. “Menarilah, Kara. Berhentilah memikirkan Adam.”

Hatiku langsung sakit mendengar namanya disebut. Aku ingin tidak pernah mendengar nama bodoh itu lagi, tapi aku tahu itu tidak bisa dihindari.

Tiga minggu yang lalu, aku memasuki rumah pacarku dan mengira bahwa kami akan pergi berkencan, tapi sebaliknya aku datang hanya untuk mendapatinya di kamarnya bermesraan dengan gadis lain.

Aku memarahinya, dia mengatakan beberapa hal yang menyakitkan, dan aku pergi. Hubungan kami berakhir, dan aku tidak berbicara dengannya sejak itu. Tiga minggu yang menyiksa.

Namun, Jess benar. Aku tidak meninggalkan kamarku selama seminggu penuh, dan jika bukan karena dia dan Layla, aku mungkin masih akan hancur secara emosional.

Aku butuh menonton empat musim Supernatural untuk mengatasi sakit hati yang besar, dan setelah itu pun masih terasa sakit.

Lagu populer lainnya mulai diputar dan Jess memekik keras, membuatku tertawa melihat reaksinya. Aku mulai menari perlahan mengikuti irama, menyingkirkan semua pikiran di benakku.

Ketika mulai merasa lebih nyaman, aku menari liar dengan Jess dan adrenalin mengalir dalam diriku. Senang akhirnya merasakan sedikit kelegaan.

Perasaan bebas dan tanpa masalah menguasai diriku, dan pikiranku tenang untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu. Aku bersenang-senang dengan dua sahabatku, dan hanya itu yang kubutuhkan.

Setelah lagu itu selesai, aku merasakan gejolak itu turun dan untungnya aku merasa lebih santai. "Aku akan ambil air untuk kita," teriakku menembus musik yang menggelegar.

Jess mengangguk sebagai tanggapan dan terus menari dengan teman lain yang muncul saat aku keluar dari lantai dansa. Gadis itu benar-benar bisa menari semalaman.

Tenggorokanku kering, dan aku sangat membutuhkan sesuatu untuk menenangkanku. Rambutku yang tadinya lurus menjadi berantakan karena panas yang tak terkendali, dan aku merasa ingin menceburkan diri ke dalam genangan es.

Aku cepat-cepat melirik diriku di cermin dan merasa ngeri ketika melihat betapa memerahnya wajahku.

Aku berjalan ke dapur dan mendapati antrean panjang orang yang mencoba menerobos masuk. Dapur kecil itu penuh sesak dan aku mendengus kesal sambil berdiri di ujung antrean.

“Kara!” suara yang redam memanggilku melalui musik dan obrolan. Dengan panik aku mencari di sekitar lorong yang ramai untuk melihat siapa yang memanggil namaku.

Aku mengamati wajah-wajah di area yang ramai dan tubuhku menjadi kaku ketika beradu mata dengan sepasang mata hijau yang sangat akrab. Jantungku berdegup kencang di tenggorokanku dan aku merasa rapuh karena benar-benar lengah.

Aku mulai panik dan mencoba mengendalikan emosi yang mengalir dalam diriku.

"Enyahlah," kubentak dan kutatap Adam dengan panas. Aku harus pergi sejauh mungkin darinya. Jantungku berdegup kencang saat aku mencari salah satu temanku.

Berbagai emosi mulai membanjiri diriku, sehingga aku harus menahan air mata. Ini tidak mungkin terjadi. Aku belum siap menghadapinya. Itu terlalu spontan.

"Kara, tunggu!" Adam berteriak mengejarku.

Jangan berani-berani mengikutiku. Aku meringis membayangkan harus berbicara dengannya. Jika itu terjadi, aku tidak tahu harus berkata apa atau melakukan apa.

Perasaanku kepadanya tidak sekuat dulu, tapi masih ada.

Kupikir aku bergerak menjauh darinya dengan cukup cepat, tapi aku dihentikan ketika tangan yang kuat mencengkeram sikuku dan memutar tubuhku.

Aku menggertakkan gigi karena kesal. Aku tidak cukup sabar untuk berada di dekatnya sekarang.

"Tolong jangan lari dariku," Adam memohon, menatapku. Aku mengepalkan tanganku, mencoba menguasai kembali semua emosiku. Aku tidak bisa membiarkan dia tahu seberapa besar pengaruhnya terhadapku.

Kepalan tanganku begitu kuat hingga buku-buku jariku mulai memutih. Mungkin jika aku memukulnya, dia akan paham. Sebelum aku bisa menyerangnya, Adam agak didorong dari belakang.

"Awas," Adam menggeram ke balik bahunya, tidak mengalihkan pandangannya dariku. Aku berusaha menarik diri dari cengkeramannya, tapi gagal. Kami masih terlalu dekat satu sama lain, dan itu membuatku gila.

"Maaf?" suara berat itu menggeram kembali. Adam menoleh ke pria di belakangnya. Dia cepat marah, maka aku tidak ingin tetap tinggal untuk melihat apa yang akan terjadi.

Justru itu membuatku ingin lari lebih jauh darinya.

"Kaulah yang menabrakku," kata Adam dengan suara rendah, berusaha terdengar mengancam.

Sejujurnya, itu tidak terdengar menakutkan. Dia hanya mencoba bersikap macho dan aku hampir mengejeknya. Adam tidak berhasil menipu siapa pun; dia justru menyebabkan lebih banyak keributan.

Cengkeramannya padaku mengendur dan aku mengambil kesempatan untuk menarik diri, tapi begitu aku berbalik, dia meraih pergelangan tanganku dengan erat sehingga aku berteriak.

Saat aku menoleh, mataku beradu dengan mata biru yang intens. Jason Kade. Adam sedang berbicara—berdebat—dengan Jason Kade. Astaga.

"Begitukah caramu memperlakukan pacarmu?" Jason menunjuk ke arah cengkeraman maut Adam padaku.

Tubuhku menegang. Kata-katanya membuat seluruh tubuhku marah, dan aku menarik tanganku dari cengkeraman Adam yang erat.

"Aku bukan pacarnya," kubalas dengan ketus. Aku bisa merasakan darahku mendidih, maka aku mulai menarik napas dalam-dalam untuk menahan amarahku yang semakin besar.

Adam menoleh kepadaku dengan tak percaya, rasa sakit di mata hijaunya. Itu cepat diganti dengan tatapan posesif.

“Kau masih pacarku.” Dia menekankan pacarmelalui gigi terkatup, mengambil langkah lebih dekat ke arahku.

Alisku berkerut dan aku menggelengkan kepalaku tidak percaya. Seiring waktu, aku menyadari betapa beracunnya Adam. Sifat aslinya terlihat jelas.

"Tidak, aku bukan pacarmu." Seluruh situasi ini membuat kepalaku pusing.

Adam menduaiku, memakiku dengan banyak kata-kata yang mengerikan dan menyakitkan, dan mengharapkan aku akan kembali bersamanya setelah tidak berbicara denganku selama berminggu-minggu?

Itu tidak akan pernah terjadi. Akhirnya aku menyadari bahwa aku pantas mendapatkan yang lebih baik.

Adam mencengkeram lenganku erat-erat, dan aku meringis. Aku tidak pernah merasa begitu takut kepadanya, apalagi melihat sisi dirinya yang ini.

"Apa yang kau lakukan?" kudengar Jason menggeram. "Kau menyakitinya." Rasa takut menjalar dalam diriku. Aku punya firasat bahwa ini tidak akan berakhir dengan baik.

"Jangan ikut campur." Adam menoleh ke samping untuk berbicara dengan Jason.

Aku ingin menghilang begitu beberapa orang yang melihat berkumpul di sekitar dua orang yang marah itu. Mulai ada kerumunan kecil, dan kulitku mulai mendidih karena malu.

Andai saja aku bisa larut ke dalam lantai dan menghilang dari kekacauan ini.

"Aku tidak akan berdiri saja dan melihatmu mengasari seorang gadis," Jason membentak dan meraih lengan Adam untuk menghentikannya. Adam segera berbalik dan melemparkan tinju ke wajah Jason.

Jason mengejek dan menghindarinya. Adam menggeram dan menerjangnya, sehingga aku terlepas. Mereka berdua jatuh ke lantai, mendarat dengan bunyi gedebuk. Perhatian semua orang sekarang tertuju kepada mereka.

Jason bangkit kembali dalam sedetik dan berdiri di atas Adam.

"Bangun," dia membentak dan menendang sisi tubuh Adam dengan kasar, membuatnya mendengus.

"Jika kau bisa kasari seorang gadis, berarti kau bisa coba kasari aku."

Selangkanganku mulai basah. Sial. Ini, dari antara berbagai situasi, bukanlah situasi di mana aku seharusnya terangsang. Lengan Jason yang kekar tertekuk dan aku memandangi tubuhnya yang berotot.

Mata Adam menjadi gelap saat dia berdiri dan melemparkan pukulan lain ke arah Jason. Kali ini Jason meraih lengannya dan memelintirnya.

Adam memekik saat lengannya ditekuk ke belakangnya. Suara patah yang keras bergema di seluruh ruangan.

Mulutku ternganga kaget ketika aku melihat mata Adam berputar ke belakang kepalanya dan dia jatuh ke lantai.

Next chapter
Diberi nilai 4.4 dari 5 di App Store
82.5K Ratings
Galatea logo

Unlimited books, immersive experiences.

Galatea FacebookGalatea InstagramGalatea TikTok