Diklaim oleh Reaper - Book cover

Diklaim oleh Reaper

Simone Elise

Menjelang Malam

ABBY

Tawa menggelegar datang dari ruang santai di markas dan bisa terdengar hingga kamarku di lantai dua.

Aku menutup pintu kamarku dan berjalan menyusuri lorong. Kim melongokkan kepala keluar dari kamarnya.

Rambut merah…

Aku tidak bisa menahan senyuman jahat di wajahku.

Dia layak mendapatkannya karena tidak mengendalikan pacarnya dan membiarkannya berkeliaran; padahal Trigger tahu semalam itu bukan Kim.

Namun, Kim, ketika lagi marah-marah, tidak mau mendengarnya.

Malah, dia mengoceh tentang bagaimana Trigger justru membantuku dengan merenggut keperawananku.

Dia terkadang menjijikkan, tapi aku tahu dia mengatakan itu karena marah; Kim tidak bersungguh-sungguh.

Dia lebih terluka karena Trigger tidak bisa membedakan kami padahal, kami benar-benar bertolak belakang. Dia bisa membedakan kami sekarang; aku sudah memastikan itu.

"Kamu mau pergi nanti malam?" Kim bertanya, berjalan di sampingku.

"Ya." Ini selalu terjadi. Kami bertengkar hebat dan beberapa jam kemudian kami akan berpura-pura itu tidak pernah terjadi. Lebih mudah begitu daripada mengatakan maaf.

“Trigger rencananya mau kabur dari Ayah nanti. Aku berharap kamu bisa tinggal di rumah dan memastikan kami tidak dicari oleh Ayah.”

Dia punya nyali untuk meminta bantuan. Ya ampun, dia tahu bagaimana agar rencananya berhasil.

“Suguhi Ayah beberapa botol bir saja. Ayah akan segera lupa di mana wakilnya. Ayah mencarimu tadi pagi.”

Kami berdua menaiki tangga bersamaan.

“Ya, tadi sudah bertemu Ayah. Dasar sekolah bodoh. Sejujurnya, mereka dendam kepadaku. Kumohon, Abby.” Dia meraih lenganku, menghentikanku. “Tolong lakukan ini demi aku. Ayolah, astaga, rambutku sudah jadi merah sekali!”

Setelah beberapa detik merongrong dengan idenya itu, aku menghela napas. “Ya sudah, tapi sebaiknya kamu peringatkan pacarmu itu, ya. Kalau dia mendekatiku lagi, aku akan lapor kepada Ayah.”

“Ya, ya.” Dia melambaikan tangannya, meremehkan.

“Bukan 'Ya, ya,' Kim. Aku serius."

Kami berjalan menyusuri lorong dan masuk ke bar. Ruang santai dan bar adalah ruang terbuka; besar dan benar-benar penuh dengan para pengendara motor.

Gadis-gadis di sini berpakaian minim dan para pria mengumbar nafsu mereka.

Banyak di antara mereka yang mengangkat baju para pelacur dan menempelkan mereka ke dinding, ke bar, di sofa, di meja biliar.

Sungguh lucu bagaimana aku sudah terbiasa dengan semua itu sehingga bahkan tidak melirik dua kali.

"Sampai nanti," bisik Kim di telingaku sebelum pergi, mengundang nafsu Trigger dengan tatapannya.

Astaga, mereka membuatku mual.

Dalam waktu lima menit, aku melihat Trigger kabur dari pintu klub menyusul Kim.

Aku meraih teko bir dari konter dan berjalan ke meja biliar.

Gitz dan Cameron sedang mulai bermain, meskipun aku yakin itu tidak mudah dengan para wanita di pelukan mereka.

"Kau mau pergi, Abby?" Gitz bertanya kepadaku, memegang stik biliar dan bersandar di meja, dengan seorang wanita yang menggerayangi sekujur tubuhnya.

Dia tampaknya lebih mendingan sejak tadi malam. Entah ekspresi wajahnya berpura-pura tenang atau dia benar-benar sudah melupakan Lilly.

"Sekarang giliranmu, Gitz," teriak Cameron sebelum mencium wanita berambut cokelat.

Aku menghela napas dan duduk di sofa terdekat.

Musiknya berdentum kencang dan begitu pula suara gelak tawanya; semua orang terlihat menikmati suasana malam yang menyenangkan.

Lalu ada aku, duduk sendirian, bosan setengah mati.

Aku mengamati kerumunan dan melihat Ayah bersandar di bar, tertawa dan berbicara dengan ketua Klub Motor Barat Para Putra Setan, Dane.

Jika dia masih di sini, apakah itu berarti Reaper juga?

Aku berjalan melintasi ruangan, lalu ketika sudah dekat dengan Ayah, aku menukik masuk ke bawah lengannya.

Dia mencium bagian atas kepalaku dan memelukku dengan satu lengan, sambil terus bercakap-cakap.

Aku bisa mendengar detak jantung Ayah dari lapisan jaket kulitnya dan menikmatinya. Ini mengingatkan akan masa kecilku—setiap kali aku tertidur di sisinya setelah mengalami mimpi buruk.

"Kamu baik-baik saja, Sayang?" Ayah menunduk menatapku.

Aku menganggukkan kepala dan hanya memeluknya sedikit lebih erat.

Kebanyakan pria di ruangan ini memiliki pelacur dalam pelukan mereka, bukan anak gadis, tapi aku tahu Ayah tidak keberatan. Dia tidak pernah keberatan.

Dane dan Ayah terus mengobrol, tertawa, serta bercanda. Berjam-jam perlahan berlalu.

Aku melepaskan lengan Ayah dan menguap. "Aku akan ambil minuman."

Dia menganggukkan kepalanya dan membiarkanku pergi.

Aku bersandar di bar dan menuangkan minuman untuk diriku sendiri.

"Apa kau boleh minum itu, Manis?" suara Reaper melintas di telingaku, dan aku bisa merasakan dia berdiri di belakangku.

Dadanya menempel di punggungku, dan dia meraihku serta memegang gelas di atas tanganku. "Atau sebaiknya kuambil darimu?"

Mataku terpaku kepada tangannya. Tangannya menutupi tanganku dan logam dari cincin malaikat maut yang dikenakannya menekan kulitku.

"Aku diperbolehkan minum." Jantungku berdebar lebih cepat daripada ketukan palu, dan aku yakin suaraku bergetar karena gugup.

Suara tawanya dalam dan tebal dan bergemuruh di sekujur tubuhnya, mengirimkan rasa merinding ke seluruh tubuhku.

"Dari tadi aku menunggumu pergi dari ayahmu."

Perlahan aku berbalik dan menatap matanya yang gelap. Dia menahan lengannya di belakangku, menjepitku di antara dirinya dan meja bar.

Bukan tempat yang buruk untuk dijepit.

“Memangnya kenapa, Kade?”

“Sekadar mengecek apa kau baik-baik saja setelah kejadian semalam. Kau bilang ke orang lain soal apa yang terjadi?”

"Aku sudah bilang kepada Kim."

“Pasti dia tidak percaya, ya. Omong-omong, bagus sekali ulahmu pada rambutnya.”

Senyuman tersungging di bibirku. "Terima kasih."

“Sepertinya mereka berdua tidak terlihat di mana pun.”

“Ya, itulah kenapa aku berusaha memastikan agar Ayah tidak menyadarinya.”

Aku menyesap gelas plastik—Ayah memastikan bar hanya menyimpan gelas plastik setelah begitu banyak insiden dengan gelas beling.

"Kau rela melindunginya meskipun dia benar-benar menyebalkan?" Dia mengerutkan kening. "Kau sinting juga, Wanita."

Wanita.

"Aku yakin Kim akan melakukan hal sama untukku kalau dibutuhkan." Aku menelan wiski dengan cepat. Cairannya membakar tenggorokanku saat tertelan.

Mata Kade menjadi gelap sesaat sebelum dia menarik diri dan mengamati kerumunan.

“Ayahmu terlihat sibuk. Bisa kita keluar dari sini sebentar?”

Apakah Kade benar-benar ingin pergi ke suatu tempat bersamaku berduaan?

Untuk sesaat, kupikir aku tahu bagaimana rasanya terkena serangan jantung.

Menelan dengan begitu mencolok, aku berusaha bersikap tenang.

"Oke." Aku melirik Ayah yang masih asyik mengobrol dengan Dane. Ayah sepertinya tidak akan menyadari kalau aku pergi. "Mau ke mana?"

Senyuman licik terlihat di wajahnya—senyuman yang pasti akan menakuti wanita cerdas. "Hanya satu tempat yang diinginkan oleh pengendara motor untuk seorang gadis."

"Di ranjangnya?" Aku mengangkat alis, menggodanya. Kenapa aku merasa santai di dekatnya, bisa menggodanya, entahlah.

Berada di dekatnya memunculkan kepercayaan diri yang biasanya tidak kumiliki di sekitar para pria, tetapi pada saat sama, dia memiliki kemampuan membuat kepercayaan diriku runtuh.

Apa sebutannya?

“Ah bukan, Sayang.” Dia mencondongkan tubuhnya lebih dekat, menundukkan kepalanya ke samping, matanya tetap menatap mataku. "Di boncengan motor."

Dia mengeluarkan kunci dari sakunya dan mengedipkan mata kepadaku. Kemudian terjadilah. Sekarang bukan Kim yang mengikuti si pengendara motor; justru aku.

Berapa kali aku berjanji kepada diriku sendiri bahwa tidak akan menjadi gadis semacam itu?

Aku tidak akan seperti Kim, tapi di sinilah diriku, mengikuti Kade, alias Reaper, keluar ke tempat parkir klub.

Aku kan seharusnya kembar yang pintar.

REAPER

Jalannya sepi, langit malam sehitam lautan, angin berhembus menembusku.

Lengannya yang kurus melingkar di tubuhku, menempel di punggungku, berpegangan erat-erat.

Aku memboncengi bidadari di belakang motorku.

Tentu, dia masih muda dan tidak mungkin terjadi apa-apa, tetapi tetap saja Abby naik motorku.

Aku telah membawanya pergi dari pesta klub, mencuri semua perhatiannya.

Motor mencengkeram jalanan saat kami menanjak ke atas bukit, berbelok di tikungan. Cahaya di taman ini remang-remang, tetapi pemandangannya seindah yang kuingat.

Aku memarkir motor di pinggir jalan dan mematikan mesin.

"Pemandangannya luar biasa," sembur Abby. Dia dengan cepat turun dari motorku untuk mengaguminya. "Selama bertahun-tahun, aku belum pernah ke sini."

Aku tidak suka kenyataan dia tidak memelukku lagi, tetapi sanggup mengatasinya.

Aku harus mengatasinya.

Dia membuka helmku dan menyerahkannya kembali kepadaku.

"Bagaimana kau tahu tentang pemandangan di Bukit Hitam sini?" dia bertanya, berjalan ke tempat parkir mobil.

Lampu-lampu kota menyala di bawah kami dan aku dengan cepat menarik kaki sandaran dan menyandarkan motor untuk mengikutinya.

"Ini bukan pertama kalinya aku ke kota, Sayang."

Aku mengeluarkan sebatang rokok dari rompi kulitku dan menyalakannya, tanpa mengalihkan pandangan dari punggungnya.

Keren sekali, pemandangan itu.

Sangat sempurna.

Dia berputar, rambut pirangnya mengibas di wajahnya.

"Kenapa kau belum pernah datang ke klub sebelumnya kalau sudah pernah ke kota?"

“Klub-klub tidak selalu jadi saudara.”

Aku tersenyum melihat kepolosannya. Dia memiliki jiwa yang terlalu baik untuk orang sepertiku.

Mulutnya membentuk o sebagai tanda mengerti dan kemudian perlahan, senyumannya melebar.

"Jadi, kau pernah jadi musuh."

“Begitulah, Sayang.”

Sebelum menjadi bagian dari Para Putra Setan, klub kami dikenal sebagai Para Duda.

Sekarang aku membawa nama klub yang pernah kutembaki; seperti itulah cara persaudaraan bekerja, kurasa begitu.

“Aku benar-benar tahu cara memilih pria,” gumamnya sendiri, menggelengkan kepalanya sebelum berbalik dan melihat lampu-lampu kota. "Berapa lama kau di kota?"

"Besok berangkat."

"Jadi, ini malam terakhirmu di sini?"

"Ke mana arah pembicaraanmu, Sayang?"

"Lupakan saja." Mata biru baiduri itu menatapku. Dia menghela napas panjang.

Aku berpindah posisi berdiriku di belakangnya, meletakkan tangan di pinggulnya yang kecil.

Dia membeku karena sentuhanku dan detak jantungku bertambah cepat.

Sialan.

Seharusnya aku tidak menyentuhnya.

Namun, aku melakukannya.

Dan sekarang aku tidak yakin apakah bisa berhenti sampai di sini saja.

Abby tidak keberatan dengan sentuhanku dan perlahan berbalik.

“Kenapa kau membawaku ke sini?” Dia bertanya.

“Kau bosan; aku bisa melihat kebosanan di matamu. Kupikir kau mungkin ingin pergi.”

Aku memainkannya dengan cerdas. Aku ingin mencuri semua perhatiannya, sehingga dia mungkin tidak akan mengira aku ini bajingan penguntit.

"Terima kasih." dia tersenyum.

“Jadi, Kade…” dia perlahan menggigit bibir bawahnya yang basah, wajahnya tampak senang. "Kau akan menciumku atau terus menatapku saja?"

Aku menarik napas kaget.

"Kau barusan bilang apa?"

Next chapter
Diberi nilai 4.4 dari 5 di App Store
82.5K Ratings
Galatea logo

Unlimited books, immersive experiences.

Galatea FacebookGalatea InstagramGalatea TikTok