Alpha Perusak Rumah Tangga - Book cover

Alpha Perusak Rumah Tangga

BD Vyne

0
Views
2.3k
Chapter
15
Age Rating
18+

Summary

Brooke rela melepaskan semua demi membawa keluarganya melakukan perjalanan untuk membantu suamimu memenuhi daftar keinginannya. Dia tidak tahu saja, kebahagiaan dirinya termasuk dalam daftar keinginan suaminya. Sungguh patut disayangkan. Karena seorang alpha tertentu akan mengubah hidup mereka selamanya.

Slate adalah manusia serigala yang dikutuk untuk memiliki jodoh manusia, tapi saat melihat Brooke, dia hanya bisa memandangnya sebagai berkat. Sayangnya, Brooke sudah menikah...benar, bukan?

Rating Usia: 18+

Lebih banyak

59 Chapters

Chapter 1

Satu

Chapter 2

Dua

Chapter 3

Tiga

Chapter 4

Empat
Lebih banyak

Satu

Brooke

"Oke, kita jelas pasti tersesat."

Pepohonan yang sekarang kami lewati saat berkendara persis seperti pohon yang kami lewati satu jam yang lalu.

Semuanya tampak sama, dan tidak ada petunjuk bahwa kami akan menemukan sesuatu yang berbeda di depan kami.

Sesekali, kami akan menangkap pergerakan hewan besar yang berkeliaran di luar deretan pohon, mendukung fakta kalau kami benar-benar berada di alam liar dan membuatku agak merinding.

Alam liar itu ada di sekeliling kami, mengurung kami, hampir mencekik kami dengan kemegahannya.

“Tidak, kita tidak mungkin tersesat. Kita punya GPS!”

Dengan seringai nakal, dia melirikku sebelum mengalihkan perhatiannya kembali ke jalan sekali lagi.

Mengangkat alisku, aku berbalik di kursiku sebisa mungkin dengan sabuk pengamanku, dan mengetuk layar digital mobil dengan jariku.

“Ya, soal itu. Apa artinya ketika peta tidak menunjukkan apa-apa selain hijau?”

Tawanya yang geli memenuhi mobil. Senang sekali mendengarnya tertawa.

“Tidak diragukan lagi itu berarti kita seharusnya memperbarui GPS-mu sebelum melakukan perjalanan ini.”

Kami berdua tertawa saat aku meletakkan tanganku di lengannya dan menyenggolnya sedikit.

"Mungkin itu seharusnya menjadi petunjuk ketika aspal berubah menjadi tanah?"

"Menurutmu bagaimana?" Aku tersenyum.

Selain suara kami, hanya ada dengkuran halus yang sesekali mengganggu keheningan di dalam mobil.

Kedua putra kami sedang tidur nyenyak di kursi belakang, masing-masing dengan kepala disandarkan di kepala yang lain dalam tumpukan rambut pirang dan cokelat yang indah yang tumpah ke wajah mereka yang polos seperti malaikat.

Sudah jelas ini waktunya untuk memotong rambut mereka, tapi itu bukan prioritas dalam perjalanan ini.

Nanti, setelah kami pulang, aku akan membuat janji untuk memotong rambut mereka, tetapi untuk saat ini, aku hanya ingin menikmati berada di sini bersama mereka.

Mereka adalah duniaku, dan aku tidak ingin memikirkan apa yang akan kulakukan ketika suamiku tidak bisa lagi melawan penyakitnya.

“Tempat ini indah.”

Ada senyum di wajahnya, tetapi ada sesuatu yang dia sembunyikan di balik senyum itu.

"Mark, kau baik-baik saja?"

Bagaimana aku tidak melihat tanda-tanda sebelumnya sekarang? Wajahnya tampak sedikit berkerut dan lelah, dan lebih pucat dari biasanya.

Ketika dia tersentak dengan pertanyaan itu, reaksinya sama dengan konfirmasi verbal.

"Ya," jawabnya sambil mengedipkan matanya ke arahku. Saat dia melihat ekspresiku, dia meringis.

Aku mengangkat alis sambil menyilangkan tangan di dada. Kernyitan di wajahku bisa menyaingi setiap penggerutu yang tangguh.

Dia sudah terbiasa dengan ekspresiku tadi, dan memberitahunya bahwa aku tidak percaya dengan kata-katanya.

Dia selalu berusaha melindungiku. Misi hidupnya tampaknya adalah membuatku dan anak-anak bahagia, dan aku tahu dia dapat merelakan kebahagiaannya demi kami bisa bahagia.

Itulah suamiku, pria yang telah kubaktikan hidupku selama 10 tahun terakhir.

Mencoba mengubah topik pembicaraan, dia bertanya, "Menurutmu orang-orang itu mungkin bisa memberi kita petunjuk?"

Mark sudah mulai memperlambat mobil dan aku menoleh.

Ada orang? Di belantara ini? Di antah berantah?

Para pria berseragam biru tua berdiri di jalan di depan kami.

Setiap orang bersenjata, meskipun jika melihat mereka, senjata tidak diperlukan untuk mengintimidasi sebagian besar penyusup.

Senjata itu hanya berfungsi untuk mengintimidasi.

Suamiku lebih tinggi dariku beberapa inci, tetapi orang-orang ini lebih tinggi darinya.

Belum lagi kondisi tubuh mereka jauh lebih baik daripada kami berdua yang duduk menatap mereka melalui kaca depan.

Bukan karena fisik yang besar seolah berkata aku langganan di sasana, tetapi lebih tampak seolah cara mereka hidup membuat tubuh mereka yang ramping dan berotot menjadi suatu keharusan. Atau sebuah kebutuhan?

Itu memicu alarm di kepalaku yang sulit kusingkirkan.

Menuruni jendela, kami berhenti di depan bangunan kayu berukuran lebih dari cukup untuk tempat berlindung bagi para penjaga yang bertugas, dan menunggu mereka mendekat.

Seorang pria dengan rambut pirang dan mata cokelat tersenyum mengangguk kecil ke arah kami saat dia mendekati mobil. "Selamat malam."

Dua penjaga lainnya berdiri di belakang beberapa meter, dan mereka melihat ke cakrawala seolah menunggu sesuatu berkedip menjadi ada.

"Hai, aku rasa kami sedikit tersesat."

Suamiku menyeringai dan mengangkat bahu, tapi gerakan itu membuatnya meringis. Setelah merogoh sakunya, dia mengeluarkan sesuatu yang mirip seperti SIM dan STNK.

Mungkin dia mengira orang-orang ini penegak hukum, atau mungkin dia ingin mereka menyadari bahwa kami bukanlah ancaman.

Pria itu mengerutkan kening kepada Mark setelah melihat surat-surat yang telah diberikan kepadanya, memperhatikan salah satu surat itu lebih lama dari seharusnya.

“Biasanya orang yang berakhir di sini berarti ditakdirkan berada di sini.” Dia menatap Mark dengan aneh sebelum membiarkannya meluncur ke arahku.

Mark menggeleng, lalu tersenyum kecil kepadaku.

“Menjadi petualang sebenarnya bukan salah satu kelebihanku. Tidak yakin mengapa aku memilih hari ini untuk menjadi petualang.”

Salah satu pria lain mencondongkan tubuh ke depan, matanya mengamati mobil dan semua penumpangnya.

Ketika berdiri, dia mengembalikan pandangannya ke cakrawala dan menghirup dalam-dalam udara malam yang hangat yang mulai mengendap di sekitar kami.

Kelihatannya agak aneh, tapi mungkin kelelahan yang telah menetap membuatnya tampak lebih aneh.

Mengembalikan fokus ke pria di jendela kami, aku bertanya, "Seberapa jauh kami telah keluar jalur?"

Senyum Mark malu-malu, tetapi wajahnya menjadi lebih pucat dari sebelumnya.

Ketiga pria itu tersenyum lebar dan saling memandang seolah-olah berbagi rahasia sebelum pria itu menjawab.

“Itu tergantung ke mana tujuanmu.”

“Eh, ya, kami hanya berwisata. Menjadi petualang,” Mark mengingatkan pria itu.

Dia mencoba tertawa, tetapi yang keluar lebih terdengar seperti dia tersedak.

“Tidak benar-benar menuju ke satu tempat, hanya keluar untuk melihat-lihat.” Dia meraih tanganku dan meremasnya dengan sangat lembut.

Pria di jendela itu menatap Mark, kerutan di wajahnya semakin dalam.

Suamiku sedang berjuang, dan kekhawatiranku terhadapnya tumbuh secara cepat.

Tanda dia membutuhkan istirahat sudah sangat jelas sekarang: wajahnya yang kurus, warna kulitnya yang pucat, mulut dan matanya yang terjepit, dan aku hampir bisa melihat napasnya terengah-engah, lebih kasar setelahnya.

Dari sini, sebuah bangunan besar terlihat jelas di atas garis pohon. Kira-kira masih beberapa kilometer lagi jauhnya.

Tempat di mana mereka mudah-mudahan mengizinkan kami lewat sehingga kami semua bisa beristirahat dulu sejenak sebelum melanjutkan perjalanan lagi.

Tempat di mana Mark bisa makan sesuatu, dan minum obat yang sangat ditakutinya.

Tempat yang sedikit lebih santai dan tidak terlalu menakutkan daripada bangunan di sisi jalan ini.

Mencondongkan tubuh ke depan sekali lagi, aku tersenyum.

"Maaf, kurasa ini merepotkan bagi kalian, tetapi aku benar-benar perlu ke kamar kecil."

Sambil bergeser di kursiku, aku menyatukan kedua pahaku untuk menegaskan pernyataan itu.

“Apa mungkin bisa menumpang buang air kecil sebelum kami kembali ke jalur asal kami? Aku belum melihat apa pun yang menyerupai peradaban selama berjam-jam sampai sekarang.”

Ini memberi mereka alasan untuk tertawa.

“Itu akurat. Kalian berjarak sekitar delapan jam dari kota mana pun yang dapat kalian singgahi untuk istirahat malam ini.”

Jawaban itu membuat wajahku merengut. "Oh begitu."

Pikiranku sudah mencoba memilah jalan lain.

Matahari sudah melayang ke cakrawala, dan hanya akan terlihat selama beberapa jam lagi.

Saat ini, Mark hanya butuh istirahat.

Dia membutuhkan tempat untuk duduk, bernapas, menenangkan diri, dan aku perlu mencari cara untuk memberinya itu.

Sebagian dari diriku ingin menggerutu kepadanya karena bersikeras kami menuju ke arah jalan buntu ini.

Kalau saja kami tahu.

Meskipun saat ini, aku memiliki kekhawatiran lain, seperti mencegah gejalanya menjadi lebih tak tertahankan.

Jeda panjang mengikuti sebelum pria itu berbicara lagi.

"Kau telah diberikan izin."

Kata-kata itu menurutku lucu. Bagaimana kami diberi izin? Tak satu pun dari mereka memiliki perangkat radio jenis apa pun.

Dan kami diberikan izin dari siapa?

“Kalian cukup mengikuti jalan sampai tiba di rumah yang kelihatan dari sini, akan ada orang di sana yang dapat membantu kalian.”

Itu sebuah rumah?

Pria itu mengerutkan kening kepada Mark sekali lagi sebelum menambahkan, "Sepertinya kalian perlu istirahat dulu."

Seolah-olah dia tahu Mark sedang tidak baik-baik saja.

Menempatkan tanganku di bahu Mark, aku tersenyum kepada para pria ini.

"Terima kasih banyak. Sungguh, kami sangat menghargai ini.”

Mark meringis ketika aku berbicara, tetapi mencoba mengubahnya menjadi sesuatu yang mungkin dianggap sebagai senyuman.

Orang-orang itu melambai kepada kami, dan seperti yang dijanjikan, orang lain dengan pakaian yang sama memandu kami ke gedung besar di depan kami.

Bangunan itu sebuah pondok kayu yang indah, cukup besar untuk membentuk sebuah rumah besar jika sebuah pondok kayu dapat disebut rumah.

Beberapa jendela menghiasi sebagian bangunan yang memancarkan cahaya keemasan lembut dari dalam saat senja turun.

Aku berbalik untuk melihat ke kursi belakang dan disambut dengan dua pasang mata muda, masih belum bangun sempurna dari tidur saat mereka memandang dengan rasa ingin tahu.

Tidak diragukan lagi mereka butuh istirahat lebih banyak dari kami.

Yang lebih membuatku khawatir adalah tatapan penasaran di mata putra bungsuku; itu tidak pernah membawa kebaikan, meskipun hatinya selalu berada di tempat yang tepat.

Begitu tiba di tempat yang ditunjukkan para pria tadi, kami mulai membuka sabuk pengaman kami.

Bahkan sebelum mobil diparkir, aku membuka pintu untuk mengantisipasi meregangkan kaki dan mengambil barang-barang yang dibutuhkan Mark.

Kedua putraku melakukan hal sama saat mereka melesat keluar dan mulai saling mengejar di sekitar kendaraan.

Samar-samar aku ingat untuk menoleh dan melemparkan peringatan kepada mereka, sebelum membongkar bagasi sekali lagi.

“Perhatikan langkah kalian!”

Ketika hampir menabrak salah satu penjaga, mereka berhenti. Pria itu membungkuk dan cemberut kepada mereka, dan putra sulungku meraih tangan putra bungsuku.

"Oh. Maafkan kami, Pak.”

Pria itu mengacak-acak rambutnya dan tersenyum lebar kepada mereka.

“Sikap yang sopan, Nak.”

Aaron merasa bangga saat dia menyeringai kepada pria itu.

Ekspresi pemahaman melintas di antara mereka yang agak aneh bagiku. Namun, Aaron memang senang ketika orang lain memujinya.

Seandainya aku bisa mengatakan hal sama tentang Hayden.

Sambil memilah barang-barang di bagasi, aku memindai tas darurat Mark.

Di dalamnya ada makanan ringan untuk dia mengisi perut, dan obat yang dia butuhkan untuk dimakan dengan makanan.

Dosisnya kuat, dan dia membutuhkan makanan untuk melapisi perutnya agar tidak menggerogoti lapisan pelindung.

Setelah menemukan apa yang kucari, aku menyambar tas dan menutup bagasi.

Mark sudah keluar dari mobil dan menolak bersandar padaku ketika aku berdiri di sampingnya.

Mengambil tas dariku, dia mendorongku pelan ke depan. “Pergilah lebih dulu. Aku akan menyusul.”

Dia tersenyum sebentar sebelum melangkah menuju bangku kecil yang menghadap ke taman besar yang terawat baik di sisi gedung.

Taman itu dipenuhi dengan bunga dari setiap warna yang bisa dibayangkan, dan udara dipenuhi dengan wewangian eksotis.

Akan lebih baik baginya jika hanya menikmati pemandangan dan bersantai selama beberapa menit, sebelum dia dipaksa minum obatnya.

Obat itu membuatnya pusing dan perutnya kram. Belum lagi dia mengeklaim itu membuatnya dalam keadaan hampir tidak berfungsi.

Dia tahu apa yang perlu dilakukan.

Kekhawatiran terbesarku adalah ini: apakah dia akan minum obatnya jika aku tidak ada di dekatnya? Namun, sikapnya soal ini sudah membaik beberapa bulan terakhir ini.

Sejak kami berada di jalan, dia telah mengatur pengobatan dan dosisnya sendiri.

Yang bisa kupastikan akhir-akhir ini hanyalah pil-pil itu menghilang, tapi itu pasti berarti sesuatu.

Kualitas hidup versus kuantitas. Sebuah argumen lama yang sama, bukan?

Orang-orang terkasih menginginkan sebanyak yang mereka bisa dapatkan, tetapi orang-orang ingin memaksimalkan apa yang mereka miliki.

Siapa yang bisa menyalahkanku karena menginginkan suamiku berada di sisiku selama aku bisa saat kami menyaksikan anak-anak kami tumbuh dewasa?

Menyadari taktik pispotku menjadi kenyataan, aku bergerak menuju gedung setelah memastikan Mark telah membuat dirinya nyaman.

Pintu kaca di depan menunjukkan lebih dari beberapa orang berkeliaran di gedung di depan. Sebuah rumah, menurut penjaga.

Beberapa orang berdiri dalam kelompok-kelompok kecil dalam percakapan ringan, seolah-olah sedang menunggu sesuatu, sementara sekelompok kecil menuruni tangga.

Banyaknya orang di situ membuatku terdiam sebelum aku berani membuka pintu.

Mungkin ada fasilitas lain di sini yang tidak akan begitu sibuk saat ini.

Banyak bangunan lain bermunculan hanya dengan berjalan kaki singkat dari sini dan berjalan melintasi lanskap, membuatnya tampak seolah-olah ini adalah kota kecil yang bermunculan dan bertahan di antah berantah.

Toko, butik, dan bangunan lain berserakan di area yang mengelilingi yang satu ini, tapi sepertinya kota kecil ini tutup di sore hari. Aku sial sekali!

Jika kau melihat melewati bisnis lokal, akan tampak lingkungan kecil di bawah area ini yang tampak merayap perlahan di atas lereng bukit.

Mendekati puncak salah satu bukit yang biasanya memiliki pemandangan spektakuler, kau bisa melihat rumah yang jauh lebih besar yang menampilkan kekayaan dan keunggulan.

Dan jika kau menatap cukup lama, ada sebuah bangunan besar di puncak gunung yang aku bayangkan bisa menyaingi yang satu ini.

Sejenak aku mencoba mengingat kota kecil yang telah kami lewati pagi ini, dan membayangkan seperti apa kelihatannya dari atas sana.

Menarik napas dalam-dalam, aku mengakhiri menunda dan mendorong pintu kayu yang berat itu hingga terbuka.

Saat terbuka, orang-orang di sana menjadi sunyi.

Pria dan wanita sama-sama menoleh ke arahku saat menatap orang yang menyusup ke tempat suci mereka.

Bulu-bulu kudukku mulai berdenyut, dan insting bertarung atau lariku memohon kepadaku untuk memilih lari saja.

Mengangkat bahuku, aku mengerutkan wajahku saat menatap mereka semua yang mengatakan Aku sangat, sangat benci menanyakan ini, tapi…

Namun, aku sebenarnya tidak merasa begitu.

Sekarang aku tahu bahwa aku tidak akan berhasil jika tidak menggunakan fasilitas di sini. Ingatlah konsep ini jika kau berpikir cukup keras tentang sesuatu, itu akan menjadi kenyataan.

"Aku benci menyela, tapi para pria di luar bilang ada toilet di sini yang mungkin bisa kugunakan?"

Tatapanku meluncur melintasi mereka yang hadir, masing-masing sedang sibuk dengan pikiran mereka sendiri.

Aku mencari wajah yang cukup ramah sehingga mungkin bisa menahan pandangan mereka dan menyampaikan pentingnya permintaanku.

Para wanita tampaknya menilaiku, masing-masing memutuskan jenis ancaman apa yang aku berikan kepada mereka.

Melihat penampilan fisik mereka yang elegan dan indah, aku berasumsi mereka harus mengabaikan anggapan bahwa aku sebuah ancaman.

Namun, ekspresi mereka tidak goyah.

Para pria cerita yang berbeda.

Masing-masing menunjukkan ekspresi yang berbeda: beberapa waspada, beberapa menyetujui, dan satu hampir membuatku kehabisan napas.

Sejak aku bertemu Mark, tidak pernah ada pria lain yang membuatku sesak napas…sampai sekarang.

Next chapter
Diberi nilai 4.4 dari 5 di App Store
82.5K Ratings
Galatea logo

Unlimited books, immersive experiences.

Galatea FacebookGalatea InstagramGalatea TikTok