Mengejar Sang Omega - Book cover

Mengejar Sang Omega

Jessica Edwards

0
Views
2.3k
Chapter
15
Age Rating
18+

Summary

Kehidupan Alice begitu-begitu saja: dia pergi sekolah di SMA, menonton ~Gossip Girl~ dengan sobatnya, Sam, dan bekerja sambilan di sebuah restoran kecil. Tidak ada hal menarik yang pernah terjadi kepadanya—sampai pada suatu malam dia digigit serigala di tempat kerjanya saat sedang membuang sampah. Anehnya, ketika dia bangun keesokan paginya, gigitan serigala itu sudah sembuh dan dia justru merasa lebih bugar dibanding sebelumnya. Hanya saja, dia bukanlah satu-satunya yang memperhatikan perubahan ini… Si bengal, Ryder, dan anak buahnya tiba-tiba sangat tertarik kepadanya, tapi mengapa?

Lebih banyak

24 Chapters

Chapter 1

Bab Satu

Chapter 2

Bab Dua

Chapter 3

Bab Tiga

Chapter 4

Bab Empat
Lebih banyak

Bab Satu

ALICE

Malam ini biasa-biasa saja. Maksudnya, kadang kita beruntung dan kadang tidak, kan? Hari Minggu biasanya sepi di sekitar sini, tapi tidak sepi-sepi amat.

Pelanggan tetap baik dan murah hati dengan tip mereka, dan bahkan bosku, Robbie, lumayan tidak menyebalkan.

Memang dia agak malas, dan terlalu lama menatap bokongku, tapi dia tidak pernah telat bayar gaji dan membolehkanku membawa pulang sisa makanan di restoran.

Aku menatap jam tua bundar yang tergantung di dinding dan menggerutu.

Setengah jam lagi.

Aku menatap pelanggan terakhir malam itu sembari berdoa dalam hati semoga dia segera selesaikan makannya. Kuambil teko kopi dan menghampiri pelanggan itu dengan senyum yang kubuat-buat.

"Mau tambah kopinya, Pak?" Kutatap si bapak dengan memelas. Semoga saja dia tidak mau tambah.

"Tidak, terima kasih, Nak," katanya sembari berdiri.

Aku membantunya memakai mantel dan mengambil payungnya. Dia menyodorkan uang kertas sepuluh pound dan berjalan keluar pintu tanpa sepatah kata pun.

Segera kutaruh uang tersebut di kasir dan mematikan lampu di restoran.

Aku bergegas ke dapur restoran dan menyadari ternyata hanya Terry dan aku yang belum pulang.

Dia melihat jadwal yang tergantung di dinding kantor dengan ekspresi getir.

Terry mendesah keras saat melihat tanggal dia bekerja. Dia telah bekerja di restoran ini selama lebih dari 30 tahun, dan tidak sekali pun mendapat cuti kerja.

Rambutnya mulai beruban, tapi jago sekali masak.

“Hei, Terry, pelanggan terakhir baru saja pergi. Mau kubantu menutup restorannya?”

Terry melambai kepadaku tanpa mengalihkan pandangan dari jadwal. "Biar aku yang mengunci pintu depan, tapi sebelum pulang, bisa bantu sedikit ya, Nak?"

Belum sempat kujawab, Terry mengumpulkan enam kantong plastik penuh sampah dan menjatuhkannya ke kakiku.

"Dibuang ke tempat sampah?" tanyaku. Kukumpulkan keenam kantong plastik itu, tiga kantong di masing-masing tangan, dan menatap Terry.

"Tolong, ya?"

Dia meraih jaketnya, melambai kepadaku, dan pergi.

Aku menatap pintu yang berayun, tercengang, dan menggelengkan kepalaku.

Aku bergegas lewat jalan belakang menuju tempat sampah. Ternyata hujan turun lebat sekali. Sialan.

Pas sekali. Terima kasih, Terry. Mantap.

Kubuka tutup atas tempat sampah dan saat hendak memasukkan dua plastik sampah pertama, terdengar suara samar-samar, tetapi jelas itu suara geraman.

Aku membeku, apakah aku tidak salah dengar?

Rasa takut menyergapku. Aku mencengkeram kantong-kantong itu erat-erat dan berbalik. Aku menggenggam erat kantong plastik itu di tangan seperti menggenggam pedang, siap menyerang.

Saat kubuka mata, tampak jelas dari mana geraman itu muncul. Tidak sampai dua meter dariku, tampak seekor serigala besar, paling besar yang pernah kulihat.

Aku dicekam ketakutan dan mulai mundur perlahan-lahan, rasanya hilang nyali dan keberanianku. Punggungku menyentuh tempat sampah dan aku tidak bisa ke mana-mana lagi.

Aku gemetar ketakutan. Kututup mataku dan berdoa semoga serigala ini tidak menganggapku sebagai ancaman yang bisa memancingnya untuk menyerang.

Lebih parah lagi kalau serigala ini menganggapku sebagai mangsa untuk dia santap.

"Tolong jangan sakiti aku," aku berbisik kepada diriku sendiri berulang-ulang.

Kemudian kubuka mata. Seharusnya tidak, tapi tetap saja kubuka mataku.

Mata serigala itu akan menghantuiku seumur hidup. Mata serigala itu merah darah, penuh kebencian, memandang lurus ke arahku.

Badannya berwarna keabu-abuan dan tampak ada sebagian bulunya yang hilang, seperti bekas dicabut dengan paksa.

Tubuh serigala itu penuh bekas luka. Bagaimana bisa serigala ini masih hidup dengan begitu banyak bekas luka seperti itu?

Aku menjatuhkan diriku, berlutut di lantai yang basah karena hujan. Hanya itu yang terpikirkan. Semoga serigala itu menganggapnya sebagai bentuk penyerahan diri, bahwa aku tidak berniat menyerangnya.

Serigala itu melolong dan menerjangku.

Aku menjerit saat serigala itu menyergapku, tapi kemudian dia berlari ke semak-semak dan menghilang. Aku melihat ke arah serigala itu berlari dan mulai tertawa histeris.

Apa-apaan…?

Aku menggelengkan kepalaku dan mencoba berdiri. Baju kerjaku benar-benar berantakan.

Kuperiksa badanku dan ternyata baju kerjaku terkoyak di bahu kanan.

Kok bahuku sakit sekali?

Sepertinya ada yang tercerabut dari bajuku.

"Aduh!" Aku mengerang kesakitan saat menyentuh bahuku. Tanganku berlumuran cairan pekat berwarna merah.

Darah! Apa aku digigit!?

Aku menoleh ke kiri dan ke kanan, memastikan apakah aku benar-benar digigit.

Aku benar-benar terguncang. Kulemparkan kantong-kantong plastik sampah tadi ke tempat sampah, kemudian mengambil tas, mengunci pintu, dan pulang.

Hujan tidak lagi turun saat aku berjalan menyusuri kegelapan malam itu. Aku menengadah, memandangi langit malam dan melihat bulan sedang penuh...bulan purnama.

Next chapter
Diberi nilai 4.4 dari 5 di App Store
82.5K Ratings
Galatea logo

Unlimited books, immersive experiences.

Galatea FacebookGalatea InstagramGalatea TikTok