Ditemukan - Book cover

Ditemukan

M.H. Nox

0
Views
2.3k
Chapter
15
Age Rating
18+

Summary

Hazel Porter sudah sangat bahagia dengan pekerjaannya di toko buku dan apartemennya yang nyaman. Namun, ketika pertemuan mengerikan menjeratnya ke dalam pelukan Seth King, dia baru menyadari ada lebih banyak hal dalam hidup—JAUH lebih banyak! Dia dengan cepat didorong ke dunia makhluk gaib yang dia tidak tahu ada, dan Seth berada tepat di tengahnya: alpha yang garang, tangguh, menawan, yang tidak menginginkan apa pun selain mencintai dan melindunginya. Namun, Hazel adalah manusia biasa. Bisakah hubungan mereka benar-benar berhasil?

Lebih banyak

31 Chapters

Chapter 1

Bab Satu

Chapter 2

Bab Dua

Chapter 3

Bab Tiga

Chapter 4

Bab Empat
Lebih banyak

Bab Satu

HAZEL

Ada hawa dingin di udara dan aroma musim dingin yang mulai mendekati, segar dan berasap.

Aku melilitkan syalku lebih erat di leherku, menangkal hawa dingin ini sebisa mungkin. Di sekelilingku dalam cahaya kelabu, daun-daun terakhir berjatuhan dari pepohonan, menandai akhir musim gugur.

Aku sedang dalam perjalanan pulang dari toko buku tempat aku bekerja, 20 menit berjalan kaki dari apartemenku.

Itu adalah hari yang sibuk. Saat itu awal November dan orang-orang sudah mulai datang untuk membeli hadiah Natal, dan hiruk pikuk akan berlangsung hingga Januari, ketika orang-orang datang untuk menukar hadiah tersebut.

Aku berbelok di tikungan dan melangkah ke jalan tempat aku tinggal, berjalan tidak jauh ke gedung apartemenku, dan menghela napas lega begitu aku keluar dari udara dingin.

Aku tinggal di sebuah gedung berlantai lima, setiap lantai memiliki ruangan apartemennya sendiri. Aku menaiki tangga pertama, yang menuju ke pintuku.

Aku meluruskan papan kecil di mana namaku—Hazel Porter—tertulis dengan tulisan tanganku sendiri yang rapi, sebelum aku memutar kunci dan membiarkan diriku masuk. Aroma vanilla yang familier dari diffuser-ku menyambutku saat aku melangkah masuk.

Apartemenku terdiri dari ruang tamu, dapur kecil, kamar tidur, dan kamar mandi. Apartemenku memang sederhana, tapi apartemen itu milikku, dan rumah kecilku.

Aku telah membeli tempat itu kurang lebih dari setahun yang lalu. Aku telah menabung sejak aku berusia 18 tahun dan pertama kali mulai bekerja di toko buku.

Sepuluh tahun kemudian dan aku masih bekerja di sana, bukan karena aku tidak bisa mendapatkan pekerjaan lain, tetapi karena aku sangat menikmati pekerjaan itu.

Orang tuaku ingin aku melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, tetapi gagasan tentang sekolah lebih tinggi tidak pernah terpikirkan olehku saat masih mengenyam pendidikan sekolah atas.

Selain itu, aku tidak tahu jurusan apa yang harus aku ambil, jadi lebih baik begini. Aku tidak perlu menghamburkan uang hanya untuk sekadar gelar yang tidak aku pedulikan.

Orang tuaku akhirnya bisa menerima hal itu, dan meskipun kami tidak sering bertemu, kami memiliki hubungan yang baik dan aku senang melihat mereka setiap kali mereka datang untuk mengunjungiku.

Mereka pindah ke selatan untuk mencari iklim yang lebih hangat dua tahun lalu.

Aku meletakkan kunciku di ujung meja sebelah pintu di sebuah lorong kecil, melepaskan mantelku, dan membuka syalku sebelum menggantungnya pada gantungan di dinding.

Aku melepaskan sepatu botku dan meletakkannya dengan rapi di rak sepatu di bawahnya.

Aku berjalan menuju dapur, menyalakan lampu saat aku melewatinya. Aku sangat kelaparan, dan lanjut mengubrak-abrik kulkas dan lemari untuk mencari bahan makanan.

Aku memutuskan untuk membuat telur dadar sederhana, karena tidak ingin repot-repot untuk membuat sesuatu yang ribet. Kulkasku terlihat agak kosong, dan aku sudah membuat catatan pengingat untuk berbelanja bahan makanan akhir minggu itu.

Dengan piring yang penuh di tangan, aku berjalan kembali ke ruang tamu.

Aku telah memilih semua perabotanku dengan hati-hati, untuk menciptakan ruang yang menenangkan dan nyaman di mana aku bisa bersantai dan merasa seperti berada di rumah sendiri.

Nuansa netral dengan percikan warna di sana-sini konsisten dalam dekorasi bergaya Skandinavia di setiap ruangan.

Aku merebahkan diri ke sofa tiga dudukan abu-abu, lebih suka duduk di sini daripada di dekat meja dapur—tempat duduk empat—yang cukup sering aku gunakan pada kesempatan langka ketika ada orang yang berkunjung—terutama orang tuaku—untuk makan malam.

Aku meraih salah satu selimutku, selimut putih berbulu halus, dan menutupinya di atas kakiku yang bersilang. Aku menyalakan TV dan mulai menyantap telur dadarku dengan semangat. Aku sangat lapar dan rasanya sangat enak.

“Pembunuhan oleh binatang dilaporkan telah terjadi lagi di Pinewood Valley.

“Binatang yang dimaksud masih belum bisa diidentifikasi, dan penduduk kota disarankan untuk berhati-hati saat pergi mendaki sampai bintatang itu teridentifikasi dan ditangkap,” wartawan laki-laki itu memperingatkan.

Ini adalah yang ketiga dalam bulan ini, aku mencatat. Pinewood Valley adalah kota yang dikelilingi oleh hutan di tiga sisinya, sebagian besar terdiri dari pohon pinus, seperti namanya, dan banyak penduduknya adalah orang yang gemar berjalan kaki.

Serangan binatang memang selalu menjadi risiko, tetapi jarang sekali terjadi dan biasanya hanya terjadi jauh di dalam hutan, jauh dari pusat kota.

Namun, itu berbeda sekarang. Selama beberapa bulan terakhir, frekuensi serangan meningkat dan semakin dekat ke kota. Orang-orang kini kian khawatir, dan memang seharusnya begitu.

Aku bertanya-tanya iseng binatang apa yang menyerangnya saat aku menyendok potongan terakhir telur dadar ke dalam mulutku.

Mungkin beruang atau serigala? Yang aku tahu adalah bahwa binatang itu pasti memiliki cakar. Semua korban mengalami luka dalam dan bekas cakar, kehilangan darah menjadi penyebab utama kematian.

Aku senang bahwa mendaki tidak pernah benar-benar menjadi hal yang kugemari.

Berita lainnya tidak terlalu menarik, jadi aku beralih ke saluran TV lain di mana sebuah acara komedi situasi sedang ditayangkan, dan ketika aku sudah siap untuk tidur, aku berjalan ke kamar mandi untuk mengakhiri malam ini, sembari mematikan lampu saat berjalan.

Begitu berbaring di tempat tidur, aku bersembunyi di balik bantal, dan segera tertidur dengan lelapnya.

Aku bangun keesokan paginya, siap untuk menjalankan rutinitas normalku di tempat kerja. Aku bangun, membuat roti panggang, menggosok gigi, berpakaian, dan mengepang rambut ikalku ke belakang.

Aku menatap diriku sendiri di cermin, dan aku seperti melihat versi perempuan ayahku balas menatapku, dengan rambut merah, mata biru, dan hidung yang sedikit cekung.

Aku selalu terlihat seperti dia—orang-orang juga telah mengatakan hal itu kepadaku selama bertahun-tahun—tetapi kemiripan itu tampaknya meningkat seiring bertambahnya usiaku.

Satu-satunya hal yang kudapat dari ibuku adalah bibir yang sedikit lebih penuh dan tubuhnya yang mungil. Memiliki tubuh yang pendek telah membuatku frustrasi selama bertahun-tahun. Aku selalu berharap tubuhku lebih tinggi.

Aku meraih mantel dan syalku dan mempersiapkan diri untuk menghadapi cuaca musim gugur yang dingin.

Aku tiba di toko buku jauh lebih awal, dan aku memanfaatkannya dengan membuat cokelat panas untuk diriku sendiri di ruang istirahat bersama Crystal, salah satu rekan kerja dan sahabatku.

Seorang wanita muda berwajah ceria dengan kulit karamel dan rambut ikal dengan warna yang sedikit lebih gelap dari kulitnya.

Aku merasa optimis, dan aku yakin ini akan menjadi hari yang baik.

***

Pada akhir jam kerjaku, aku merasa lelah, tetapi puas. Aku benar-benar menikmati pekerjaanku.

Aku kemudian berjalan pulang seperti biasa, dan semuanya baik-baik saja sampai aku berbelok di tikungan dan mendapati diriku berhadapan dengan sosok berkerudung.

Aku melangkah ke samping untuk berjalan melewatinya, tapi dia mengulurkan tangannya, menghentikan langkahku. Terkejut, aku berbalik untuk berjalan kembali ke tempat asalku, tapi dia tidak sendirian lagi.

Hari-hari lebih singkat belakangan ini, dan saat ini sudah gelap gulita.

Tidak ada orang lain di sekitar, sejauh yang aku lihat. Orang-orang lebih suka berada di dalam ruangan di tempat yang hangat.

Jantungku berdegup kencang saat merasakan kepanikan dalam diriku.

Kedua pria itu bertubuh besar dan berotot, dan mereka berdua mengenakan mantel berkerudung, membuat wajah mereka tertutup bayangan.

Mereka mendorongku ke sebuah gang, memastikan mereka cukup dekat sehingga aku tidak bisa melarikan diri.

Salah satu dari mereka mencondongkan tubuh lebih dekat, dan aku berani bersumpah kalau pria itu mengendusku. Aku bergidik dan pikiranku berpacu, memainkan berbagai skenario yang berbeda tentang apa yang bisa terjadi selanjutnya di kepalaku.

Aku ingin berteriak minta tolong, tapi sepertinya aku tidak bisa menemukan suaraku, dan teriakan itu tertahan di tenggorokanku.

“Yah, baiklah. Cuma sendirian, ya?” salah satu pria bertanya dengan suara serak, jari-jarinya meraih daguku, memaksa pandanganku ke arahnya. Aku tidak bisa melihatnya dalam gelap, tapi aku bisa merasakannya.

Yang lain terkikih mengancam saat dia meraih lenganku dan mendorong tubuhku ke dinding.

Aku memejamkan mata, menguatkan diri untuk apa pun yang akan mereka lakukan kepadaku, karena aku tahu bahwa aku tidak memiliki kesempatan melawan mereka. Jantungku rasanya seperti akan keluar dari dadaku.

Tiba-tiba terdengar suara menggeram dan lengan yang telah menjepitku ke dinding terlepas.

Pria ketiga, yang jauh lebih besar dari dua pria, sekarang berdiri di depanku, berbalik dari arahku. Dia tidak mengenakan apa-apa selain jins dan kaus.

Dalam situasi yang membingungkan itu, yang bisa aku pikirkan hanyalah bagaimana dia tidak menggigil kedinginan. Itu adalah hal bodoh untuk aku fokuskan saat ini, tapi aku masih sangat kaget.

"Kalian sedang apa?" tanyanya kepada kedua pria itu, yang menggeliat di bawah tatapan penyelamatku.

Suaranya kasar, kemarahan di dalamnya hampir nyata.

Mereka tidak merespons.

“Kalian tidak diterima di sini. Ini wilayahku.” Kata-katanya membuatku bingung, tapi aku terlalu lega untuk terlalu memperhatikannya.

"Sekarang pergilah," geramnya.

Kedua pria berkerudung itu bergegas pergi. Saat mereka mulai berlari, bentuk gelap mereka melebur ke dalam bayang-bayang dan menghilang.

Penyelamatku berdiri di depanku, posturnya kaku, sedikit berjongkok, lengannya terangkat ke samping seperti sayap burung yang melindungi anak-anaknya.

Dia tidak bergerak selama beberapa menit setelah dua pria lainnya pergi. Kemudian dia tampak sedikit rileks dan dia perlahan berbalik menghadapku.

Aku tidak bisa melihatnya dengan jelas di sini, di gang yang gelap. Tubuhnya yang besar menghalangi sebagian besar cahaya redup yang datang dari jalan di belakangnya.

"Apakah kau baik-baik saja?" Suaranya masih kasar, tapi nada khawatirnya melunakkan suaranya.

"Kurasa begitu," aku menarik napas.

"Kau tinggal dekat sini?" dia bertanya kepadaku.

Aku bingung, dan aku cukup yakin tubuhku masih setengah kaget, jadi aku butuh beberapa saat untuk memahami apa yang dia katakan dan untuk dapat membentuk kata-kataku sendiri lagi.

"Lima menit jalan kaki dari sini," akhirnya kata-kataku bisa keluar.

“Aku akan mengantarmu kalau begitu. Memastikan para bajingan itu sudah tidak berkeliaran lagi.”

"Oke," kataku pelan.

Aku melangkah kembali ke trotoar. Aku tidak mendengar orang asing itu mengikutiku, jadi aku menoleh untuk melihat apakah dia masih berdiri di gang dan aku malah tidak sengaja menabrak dadanya.

Dia telah berjalan begitu tenang—kakinya yang memakai sepatu bot tidak mengeluarkan suara—sampai-sampai aku tidak menyadari bahwa dia masih mengikutiku.

"Maaf," gumamku, berusaha menyembunyikan sedikit rasa maluku.

"Jangan khawatir."

Tangannya sedikit mengitari lengan atasku untuk mencegah aku jatuh akibat benturan.

Aku menatapnya. Dia menjulang tinggi di atasku, tapi di sini dalam cahaya lampu jalan akhirnya aku bisa melihat wajahnya dan aku hampir terkesiap.

Dia memiliki bekas luka, bentuk bekas cakar di wajahnya dari dahinya, di atas mata kirinya, dan sampai ke pangkal tenggorokannya.

Dia memiliki wajah yang tampan, tetapi bekas lukanya sangat mengganggu sehingga sulit untuk melihat banyak hal lain pada pandangan pertama.

Selain itu dengan ukuran tubuhnya yang besar dan warna kulit gelapnya, itu membuatnya terlihat seperti bukan pria baik-baik.

Membingkai wajahnya adalah rambut ikal gelapnya yang berantakan, mata hijaunya hampir sangat cerah. Dia menatap mataku sebentar sebelum mengalihkan pandangannya.

Aku mengalihkan pandanganku dari wajahnya, berbalik, dan mulai berjalan menuju apartemenku lagi. Ada suara langkah samar saat dia berjalan di belakangku, terlalu sunyi untuk ukuran pria seukurannya.

Penyelamatku mengikutiku sampai ke gedung apartemenku, di mana aku menggumamkan terima kasih, dan dia menunggu sampai pintu ditutup dengan aman dari belakangku sebelum dia pergi.

Begitu berada di dalam apartemenku sendiri, aku bersandar ke pintu, lututku menyerah, dan aku merosot ke lantai saat isak tangis akhirnya memuncak, kejadian malam itu akhirnya menghantamku.

Memikirkan apa yang bisa terjadi saja membuatku mual. Setelah beberapa saat, tangisanku berhenti, dan dengan gemetar aku berdiri dan pergi ke dapur untuk meneguk segelas air.

Semua tangisan itu menguras semua tenagaku. Aku langsung berjalan ke kamar tidurku karena tidak memiliki nafsu makan atau energi untuk melakukan hal selain mengenakan piama dan jatuh kelelahan ke tempat tidur.

Biasanya tidak butuh waktu lama untuk aku bisa tertidur, tetapi aku terus terbangun, diganggu oleh mimpi buruk sepanjang malam.

Ketika pagi akhirnya tiba, aku memutuskan untuk tidak pergi kerja dan mengambil cuti sakit, sesuatu yang jarang aku lakukan.

Aku berbaring di tempat tidur hampir sepanjang pagi sebelum bangun untuk mandi, didorong oleh kebutuhan untuk menghapus ingatan tentang malam sebelumnya.

Saat makan siang, aku duduk meringkuk di salah satu kursi berlengan, handuk melilit rambutku yang masih basah. Aku kemudian menelepon ibuku untuk menceritakan tentang apa yang telah terjadi, selain itu untuk mencari hiburan.

Dia mengangkat teleponku pada dering ketiga—hal itu cukup jarang baginya—dan aku lanjut menceritakan semuanya kepadanya sementara air mata baru mengalir di pipiku, meskipun tidak semarah tadi malam.

Aku menangis lebih banyak dalam 24 jam terakhir daripada yang aku lakukan dalam enam bulan terakhir.

Sore harinya aku akhirnya bisa makan sesuatu, dan aku merasa lebih santai saat aku memutar film yang sudah aku kenal dan meringkuk di sofa.

***

Keesokan harinya aku kembali bekerja lagi. Aku masih sedikit terguncang, tetapi aku bertekad untuk kembali normal. Aku tidak akan membiarkan diriku larut dalam kejadian itu terlalu lama.

Dalam perjalanan pulang, tiba-tiba aku merasa sangat gugup ketika berjalan, ketika aku menyeberang jalan sebelum sampai ke sudut di gang kejadian malam itu dan aku berjalan di sisi yang berlawanan sampai aku melewatinya dengan selamat.

Aku merasa seperti seseorang sedang mengawasiku dari bayangan di antara lampu jalan, dan aku mempercepat langkahku, aku hanya ingin sampai rumah secepat mungkin.

Next chapter
Diberi nilai 4.4 dari 5 di App Store
82.5K Ratings
Galatea logo

Unlimited books, immersive experiences.

Galatea FacebookGalatea InstagramGalatea TikTok