Peperangan Serigala - Book cover

Peperangan Serigala

Michelle Torlot

0
Views
2.3k
Chapter
15
Age Rating
18+

Summary

Setelah Perang Serigala, manusia serigala dan manusia menyetujui gencatan senjata yang kurang meyakinkan dan membagi dunia untuk mereka sendiri. Manusia serigala mengambil hutan dan daratan, dan manusia mengambil perkotaan dan kota-kota kecil di sekitarnya. Ras manusia selanjutnya dipisahkan menjadi Pekerja dan Elite. Sekarang, makanan menjadi langka dan para Pekerja kelaparan, dan begitulah Ellie Pekerja yang berusia 12 tahun kelaparan dan terlunta-lunta di wilayah manusia serigala. Apakah manusia serigala benar-benar binatang menakutkan seperti yang telah diperingatkan kepadanya, atau apakah para Elite menyembunyikan kebenaran?

Lebih banyak

34 Chapters

Chapter 1

Bab 1

Chapter 2

Bab 2

Chapter 3

Bab 3

Chapter 4

Bab 4
Lebih banyak

Bab 1

Ellie

Aku duduk di batang pohon yang terbalik, menatap ke kejauhan. Matahari sudah rendah di langit, belum terbenam, membuat segala sesuatu bercahaya indah.

"Apa yang kamu lakukan, El?"

Aku mendongak untuk melihat kakak laki-lakiku, Jackson berdiri di atasku.

"Kau sangat dekat dengan perbatasan...kau tahu aturannya," tegurnya.

Aku memutar mataku dan menatap ke arah cakrawala.

“Jangan macam-macam El. Mereka akan menghukummu hanya karena memikirkannya, dan kau akan diberi setengah jatah ransum selama sebulan,” Jackson memperingatkan.

Aku memutar mataku, "setengah dari bukan apa-apa masih bukan apa-apa."

Jackson menyenggol bahuku.

"Nih, kau pasti lapar," dia menyeringai.

Aku melihat tangannya. Mulutku terbuka lebar karena terkejut. Itu semacam makanan olahan. Kami tidak pernah makan itu, aku belum pernah melihat yang seperti itu sebelumnya.

“A... Apa itu? Di mana kau mendapatkannya?” desisku, saat aku melihat kemasan makanan itu di tangannya.

Dia membaginya menjadi dua dan memberikan setengahnya padaku, memakan setengah lainnya.

"Ini disebut Co-ke-lat," dia mengucapkan kata itu, "dan jika kau tidak tahu, kau tidak akan mendapat masalah."

Aku segera mulai memakannya, menikmati rasa manisnya. Sangat enak!

Aku tertawa kecil, “Dan kau mengomeliku, hanya karena aku melihat ke perbatasan.”

Jackson menggelengkan kepalanya.

“Itu berbeda, jika ketahuan, penjaga akan menembakmu di tempat.

“Jika ketahuan…” dia menunjuk ke arah cakrawala, “Yah, hanya Kristus yang tahu apa yang akan terjadi kepadamu…jika kabar itu benar,” pungkasnya.

Aku menggelengkan kepalaku, dan mengerucutkan bibirku.

“Makanan mereka berlimpah sampai bingung harus diapakan, sementara kita tidak. Hewan mereka makan lebih baik dari kita.”

Kutahan air mataku yang hampir jatuh. Untunglah Jackson tidak melihat kesusahanku.

Jackson terkikih, "Mereka benar-benar binatang, El."

Aku memutar mataku saat mengunyah potongan terakhir camilan itu. Perutku masih terasa kosong, tapi cokelat tadi lumayan sebagai pengganjal perut.

Jackson meletakkan tangannya di bahuku.

“Ayo kita kembali sebelum ketahuan hilang. Kamu perlu tidur, singkirkan ide-ide konyol itu dari kepalamu.”

Aku berdiri dan mengizinkan saudara laki-lakiku untuk menggiringku kembali ke kamp kerja.

Kami akan bangun saat fajar, membongkar apa pun yang tersisa dari kota terdekat dari perbatasan. Kemudian buldoser akan masuk. Setelah itu kami akan memunguti batu sebelum mereka membajak dan menanaminya.

Tanah di situ bukan lahan pertanian yang layak. Kawasan ini adalah sisa-sisa kota tua, terlalu dekat dengan perbatasan untuk dihuni. Lagian, makanan sangat langka.

Jika ada kemungkinan mereka bisa menanam makanan apa pun, itu harus diambil.

Sudah seperti ini sepanjang hidupku, dan orang tuaku. Setelah perang, manusia mendapatkan bagian perkotaan dan kota-kota pinggirannya. Manusia serigala mendapatkan hutan dan dataran terbuka.

Cukup dengan melongok di balik pagar perbatasan, ada ternak yang sedang merumput, kebun buah-buahan, ladang yang penuh dengan tanaman.

Kota-kota kecil kondisinya sangat baik, tetapi susah bertanam di sana. Satu-satunya lahan adalah taman buatan manusia. Itu pun sudah bekas tanam. Tidak cukup.

Satu-satunya alasan aku dan kakakku selamat ketika orang tua kami meninggal, adalah karena kamp kerja.

Kerja 12 jam, dengan imbalan satu kali jatah makan. Jika kau bisa menyebutnya makan. Rebusan sayur yang lebih banyak airnya daripada sayurnya, dan tempat tidur.

Jika kau ketahuan mencuri makanan, hukumannya mati. Sama halnya dengan melintasi perbatasan. Jika manusia serigala tidak membunuhmu, kamu pasti mati ditembak para penjaga.

Hidup bagi manusia sama halnya dengan hidup di neraka. Harus sepadan dengan risikonya untuk menyeberangi perbatasan, mencuri beberapa makanan dan membawanya kembali.

Jika kami tidak menemukan cara untuk mendapatkan lebih banyak makanan, umat manusia akan mati kelaparan.

Para penjaga memandangi kami dengan penuh kecurigaan saat kami kembali ke kamp. Kami hanya menundukkan kepala. Begitu kami kembali ke benteng di mana tempat tidur kami disediakan, kami menuju ke ranjang susun kami.

Sebagian besar keluarga tidur bersama. Jika kau sendirian, kau akan disamakan dengan laki-laki atau perempuan. Tergantung jenis kelaminmu. Aku kira aku dan Jackson beruntung, kami saling memiliki.

Aku berbaring di tempat tidur, dan Jackson duduk di tepi tempat tidur. Dia selalu begitu, sampai aku tertidur.

"Apakah menurutmu mereka tahu kita hampir mati kelaparan?" aku berbisik.

Jackson mengerutkan kening, "Siapa?"

Aku ragu-ragu, merendahkan suaraku, "Manusia serigala."

Jackson menggelengkan kepalanya, dan merengut.

“Biarkan saja, Ellie. Lupakan saja.”

Aku menghela napas dan memejamkan mata.

Aku tahu Jackson selalu melindungiku, tetapi jangan sampai aku mati kelaparan, atau mati akibat penyakit karena tubuhku tidak cukup kuat untuk melawannya.

Akhirnya aku tertidur, tapi tidak lama. Aku terbangun gegara rasa sakit yang menggerogoti perutku yang kelaparan.

Semua orang masih tidur, kecuali Jackson, yang anehnya tidak ada di ranjangnya.

Aku kepikiran cokelat batangan yang tadi kami makan bersama. Apakah dia mencuri makanan? Bagaimana dia bisa begitu ceroboh? Lalu pikiranku beralih ke perbatasan. Jika aku akan menyeberanginya, harus sekarang.

Jackson akan mengerti. Di malam hari, penjagaannya tidak terlalu ketat. Aku bisa menyelinap melintasi perbatasan, dan menyusup kembali. Cari tempat menyembunyikan makanan. Kemudian aku dan Jackson bisa berbagi.

Saat-saat putus asa membutuhkan tindakan putus asa, dan aku putus asa. Semuanya putus asa. Kami benar-benar kelaparan. Tampaknya memang tidak semua orang kelaparan, tapi kami adalah yang terendah dalam ras manusia.

Pekerja manual tingkat bawah. Kami sekali pakai.

Aku mengayunkan kakiku di atas tempat tidur, dan dengan cepat menarik rambut hitam panjangku menjadi kucir kuda. Lalu aku mengambil ransel kecil dari bawah tempat tidur, sebelum merayap keluar dari benteng ini.

Pakaianku gelap, jadi aku bisa bersembunyi di balik bayangan. Untung warna rambutku hitam, karena menyatu dalam gelap. Hanya bulan yang menerangi jalan.

Cukup lama aku merencanakan ini. Aku tahu persis di mana para penjaga ditempatkan. Mereka selalu mengambil rute yang sama, memeriksa perimeter dan perbatasan.

Aku menyaksikan penjaga berjalan ke seberang kamp dan menuju perbatasan.

Aku tetap berada di bayang-bayang sampai penjaga perbatasan menuju ke pos pemeriksaan berikutnya.

Untungnya perbatasan tidak dipagari. Perbatasan ini hanya berupa deretan batu-batu besar yang dicat. Semua orang tahu bahwa mereka dilarang melewati garis batas ini. Namun, malam ini, aku akan mengabaikan aturan. Malam ini aku akan mencari makanan.

Menyeberangi perbatasan ternyata lebih mudah dari yang kuduga. Para penjaga mungkin tidak berpikiran akan ada yang mencoba menyeberang.

Lagi pula, sebagian besar orang di benteng adalah anak-anak, yang telah diajari untuk tidak menyeberangi perbatasan sejak usia dini.

Mereka diajari aturannya, hukumannya, tapi yang terpenting mereka diajari bahwa manusia serigala adalah monster pemakan daging bayi.

Kami semua yatim piatu. Orang tua kami mati karena demam, atau kelaparan. Sebagian telah dibunuh oleh para penjaga, hanya karena mencoba mencuri makanan tambahan untuk anak-anak mereka.

Orang tua kami mati karena demam. Aku sudah hidup seperti ini selama empat tahun. Bekerja sampai hampir pingsan kelelahan. Jackson lebih tua dariku, dan lebih kuat.

Ini adalah tahun terakhirnya di sini, lalu aku akan sendirian. Jackson akan dikirim untuk pelatihan penjaga, kecuali dia tidak memenuhi panggilan pelatihannya. Aku penasaran apakah kepergiannya setiap malam ada hubungannya dengan itu.

Dia tidak menyadari bahwa aku tahu dia pergi pada malam hari. Aku hanya tidak tahu ke mana dia pergi.

Tanah di sisi lain garis perbatasan mirip dengan tanah kami, tanah liat keras yang harus digali. Tampaknya dicampur beton.

Begitu kau berada sekitar seratus meter, tanah liat yang keras berubah menjadi lempung, lalu akan terlihat tanaman menyembul dari tanah. Kebanyakannya gulma, tapi kemudian berubah menjadi rumput yang subur.

Aku membungkuk dan memainkan jari-jariku di atasnya. Aku belum pernah merasakan rumput sebelumnya. Aku pernah melihat gambar rumput ketika masih kecil, tetapi tidak pernah merasakannya, atau menciumnya. Rumput memiliki aroma tersendiri.

Aku hanya bisa tersenyum sendiri. Ayah selalu menceramahi kami semasa hidupnya. 'Rumput tetangga selalu lebih hijau,' katanya.

Artinya kita harus mensyukuri apa yang kita miliki. Sebenarnya, rumput itu tidak ada di tempat asal kami.

Aku menuju lebih jauh ke wilayah manusia serigala. Tetap merunduk, dan setenang mungkin.

Jackson tidak menyadarinya, tapi aku pernah melihat yang disebut monster ini. Di bangunan terakhir yang kami bersihkan, aku menemukan sebuah buku dan teropong.

Aku memasukkan teropong ke dalam jaketku, dan melihat buku itu. Para penjaga tidak menemukan teropong yang kusembunyikan, tetapi aku dipukuli hari itu karena beristirahat di jam kerja.

Waktu itu baru berakhir lima menit, tapi aturan tetaplah aturan. Jika saja mereka menemukan teropongnya, keadaannya akan jauh lebih buruk.

Aku menggunakannya beberapa hari kemudian, setelah bekerja. Para penjaga berada di pos pemeriksaan yang berbeda, tetapi masih terang.

Saat itulah aku melihat mereka. Mereka sedang bekerja di ladang. Mereka terlihat seperti kami juga, tapi lebih tinggi, lebih berotot.

Mengapa kami harus membenci mereka? Apakah mereka benar-benar berbeda dengan kami?

Saat itulah aku memutuskan untuk menyeberang. Mereka punya banyak makanan, kami tidak punya. Mereka tidak terlihat seperti monster, setidaknya tidak dari kejauhan.

Tentu saja tidak ada tanda-tanda keberadaan mereka sekarang. Yang pikirannya waras, entah manusia serigala atau manusia, akan tidur pada waktu malam seperti ini.

Aku masuk lebih jauh ke wilayah mereka, lalu aku melihatnya di kejauhan. Sebuah bangunan… seperti sebuah gudang. Letaknya cukup dekat dengan kandang yang berisi hewan.

Aku cepat-cepat melihat sekeliling, tidak ada tanda-tanda siapa pun, jadi aku berjalan ke bangunan itu.

Tampaknya memang benar, gudang. Aku menggeser pintu, membiarkan cahaya bulan masuk ke dalam.

Aku hampir berteriak. Jackpot! Ada berkarung-karung buah dan sayuran. Juga sebuah kotak berisi roti basi. Aku mengambil sebuah apel dan menggigitnya.

Aku belum pernah makan apel sebelumnya, tapi aku pernah melihat gambarnya. Bagian dalamnya berwarna cokelat dan lembut. Rasanya enak.

Aku meraih segenggam dan memasukkannya ke dalam ranselku, sembari menghabiskan apel yang ada di tanganku. Lalu aku mengambil beberapa potong roti basi tadi. Keras, tidak lembut seperti seharusnya, tapi tidak berjamur.

Aku makan sedikit.Tidak seenak apel, tetapi pengemis tidak bisa memilih.

Sayurannya tampaknya wortel. Ada yang kecil, yang lain bentuknya aneh. Aku menggigitnya. Enak-enak saja. Aku memasukkan beberapa ke dalam ranselku yang sekarang sudah penuh.

Sambil meletakkannya di punggungku, aku mengambil apel dan sepotong roti lagi, dan berjalan menuju pintu.

Saat itulah aku mendengarnya. Lolongan, diikuti lolongan yang lain.

Aku berlari, jantungku serasa mau copot, aku kembali ke perbatasan.

Next chapter
Diberi nilai 4.4 dari 5 di App Store
82.5K Ratings
Galatea logo

Unlimited books, immersive experiences.

Galatea FacebookGalatea InstagramGalatea TikTok