Diculik Sang Alpha - Book cover

Diculik Sang Alpha

Midika Crane

0
Views
2.3k
Chapter
15
Age Rating
18+

Summary

Aku menarik tepi tirai dengan perlahan dari belakang jendela dan mengintip ke arah jalan di luar sana.

Hari sudah mulai gelap, cahaya bulan menyinari trotoar yang sepi. Bagi orang lain, pemandangan itu mungkin tampak tidak berbahaya sama sekali—bahkan terlihat damai.

Semua pintu dan tirai setiap orang tertutup rapat. Begitu juga dengan gerbang yang mereka kunci, melindungi dengan aman anak-anak di dalam rumah.

Namun, semua orang selalu berada dalam tingkat kewaspadaan tinggi setiap malam...

Lebih banyak

63 Chapters

Berdoalah

Mara

Aku menarik tepi tirai dengan perlahan dari belakang jendela dan mengintip ke arah jalan di luar sana.

Hari sudah mulai gelap, cahaya bulan menyinari trotoar yang sepi.

Bagi orang lain, pemandangan itu mungkin tampak tidak berbahaya sama sekali—bahkan terlihat damai. Semua pintu dan tirai setiap orang tertutup rapat. Begitu juga dengan gerbang yang mereka kunci, melindungi dengan aman anak-anak di dalam rumah.

Namun, semua orang selalu berada dalam tingkat kewaspadaan tinggi setiap malam.

Aku menghela napas dalam-dalam, napasku menimbulkan embun pada kaca di depanku.

Aku menggosoknya dengan lengan bajuku agar aku bisa melihat lagi dengan jelas. Namun, tidak ada yang bisa dilihat.

Tidak pernah ada, karena tidak seperti di kawanan lain, di sini semua aktivitas kehidupan berhenti pada malam hari.

Mengapa? Karena kawanan manusia serigalaku, Kawanan Kemurnian, takut dengan Kawanan Pembalasan.

Sebenarnya bukan takut dengan Kawanan Pembalasan, mungkin lebih tepatnya, kami takut dengan pemimpin mereka, Alpha Kaden.

Selama 24 tahun terakhir, dia telah menghancurkan keseimbangan yang telah kami bangun antara kesetaraan dan kekacauan di dalam kawanan kami.

Dia telah mencuri segalanya. Terutama kebebasan kami.

Kawanan kami tidak dicintai oleh serigala lain.

Kami tinggal di tengah-tengah Kuartal Kawanan, di sisi khatulistiwa yang lebih dingin.

Dikelilingi oleh tembok tebal yang melindungi kami agar tetap aman berada di sini, di dunia kecil kami yang taat dan damai,

Kaden mengganggu dunia kami ketika dia mulai menyerang wilayah kami.

Dia telah menculik banyak gadis tak berdosa dari kawanan kami.

Tidak ada yang tahu apa yang terjadi kepada mereka setelah itu, banyak yang mengira dia membunuh mereka atau menjualnya kepada anggota kawanan yang lain, yang juga telah memperoleh citra memalukan di mata Kawanan Kemurnian.

Atau mungkin dia membuat bisnis dari hal itu. Kami tidak pernah tahu pasti. Dia juga selalu membunuh para penjahat kami.

Siapa pun yang melanggar hukum, itu akan menjadi urusan Kawanan Disiplin.

Namun, untuk urusan membunuh, itu adalah urusan Alpha Kaden. Dia telah membuatnya jelas bagi semua orang.

"Mara, pergi dari sana!"

Ibuku menarik bahuku agar tak mengintip dari jendela.

Aku tersandung ke belakang saat ibuku dengan marah menutup tirai di hadapanku.

Dia berbalik ke arahku, lalu berkacak pinggang.

Aku mencintai ibuku, tapi terkadang dia bisa terlalu protektif.

Dia menjalani hidupnya dengan percaya hanya satu hal: Bulan adalah penyelamat kami, dan akan selalu terus begitu.

Dia percaya Dewi mengendalikan semua yang kami lakukan dan memutuskan masa depan kami melalui beberapa jenis sihir yang tidak diketahui.

Meskipun aku tumbuh besar dalam kawanan ini, aku tidak percaya akan hal itu. Namun, aku tetap menghormatinya.

Di sekolah, mereka mengajari kami sedikit nyanyian untuk menjaga agar kami tak lengah dan tetap waspada dengan Alpha Kaden:

Kunci pintumu, tutup rapat.

Tutup gordenmu, setiap malam.

Jangan lihat ke luar, kalau-kalau dia ada di sana.

Selalu hidup dalam ketakutan total.

Bahkan jika itu berarti mengorbankan jodohmu.

Jangan biarkan Alpha Kaden menentukan nasibmu.

Bahkan ibuku juga membenarkannya.

"Ibu, tidak apa-apa," aku meyakinkannya. “Tidak ada yang melihatku.”

Dia mendesah dan menutup wajahnya dengan sebelah tangannya. Terlihat jelas stres telah membuat penuaannya semakin terlihat.

Dia kadang-kadang tidak tahu bagaimana cara menghadapiku—terutama ketika aku memutuskan untuk melanggar aturannya yang super ketat.

Aku tidak pernah bermaksud untuk melakukannya, tapi rasa ingin tahuku yang besar tak henti-hentinya menggodaku.

“Tetangga kita bisa saja melihatmu,” dia bersikeras. “Kamu tahu apa yang mereka katakan di gereja tentang kamu, Mara. Mereka bertingkah seolah-olah aku adalah ibu yang buruk.”

Aku memutar mataku.

"Dan bagaimana jika Kaden melihatmu?" dia bertanya dengan tegas.

“Yah, aku tidak akan tahu apakah Kaden sudah melihatku atau belum, karena aku sendiri tidak tahu dia seperti apa,” balasku dengan suara meninggi.

Ibu menyipitkan matanya ke arahku.

Dia benci jika aku memikirkan atau tahu apa pun yang berhubungan dengan Kaden.

Padahal penampilannya saja masih belum aku ketahui. Dia bisa saja berjalan melewatiku di jalan, dan aku sama sekali tidak akan menyadarinya.

Ibu tidak akan pernah memberitahuku apa pun tentang itu, tetapi aku selalu berusaha mengumpulkan potongan-potongan informasi dari gadis-gadis di sekolah.

Pada hari yang beruntung, aku mungkin bisa mengetahui apakah dia telah membunuh atau belum.

Kadang-kadang, ketika Ibu dan Ayah baru bangun, aku menyelinap ke bawah untuk mendengarkan percakapan mereka. Begitulah caraku mengetahui informasi tentang gadis-gadis yang hilang di sekitar kota.

“Mara, tolong. Jangan menyulitkanku,” mohon Ibu, dengan putus asa.

Aku melipat tangan di dada.

Aku jelas muak bersembunyi setiap malam, itu sudah sangat jelas.

Aku sudah terpaksa berhenti bertemu teman-teman pada Jumat malam.

Tak lama lagi, aku akan lulus, tapi itu bukan berarti aturan Ibu akan melonggar.

Dia hanya akan bersemangat ketika berusaha menemukanku jodoh.

Menemukan jodoh ketika kami masih muda sangatlah penting dalam budaya kami.

Jumlah laki-laki muda yang telah aku jabat tangannya dalam sebulan terakhir benar-benar konyol.

"Semuanya baik-baik saja di sini?" Aku berbalik saat mendengar pintu depan terbuka dan ayahku masuk dari luar.

Di luar sedang hujan, tapi aku tidak ingat saat tadi mengintip ke luar jendela.

Dia melepas mantelnya yang basah kuyup dan meletakkannya di atas meja dapur.

Rumah kami tidak terlalu besar, itulah mengapa berada di dalam sini lebih lama hanya akan membuang sebagian besar waktuku.

Orang tuaku menjalani kehidupan dengan sederhana, seperti yang diinginkan Dewi Bulan.

Aku bukan orang yang menyukai kemewahan materialistis, tetapi terkadang aku merasa sedikit kekurangan karena hidup bersama mereka.

"Tidak—"

"Aku memergoki dia mengintip ke luar jendela lagi," kata Ibu, memotong ucapanku.

Aku melotot kepadanya. Dia sepertinya selalu ingin membuatku bermasalah dengan Ayah.

Ayah mengerutkan keningnya kepadaku.

"Kaden tidak akan ada di luar sana," protesku. "Ibu bereaksi berlebihan ketika mengatakan dia mungkin ada di sana."

Aku melihat tatapan ayahku beralih ke ibuku.

Dia memberi isyarat dengan kepalanya agar Ibu pergi, karena Ayah tahu betapa mudahnya Ibu dan aku berdebat.

Ketika Ibu pergi, Ayah mengajakku duduk di sofa sehingga kami bisa mengobrol di sana.

“Kamu tahu anak perempuan tetangga kita? Mandy, kan?”

"Milly," aku mengoreksinya.

Ayah mengangguk. “Kaden membawanya minggu lalu. Dia menculiknya langsung dari tempat tidurnya, dan dia tidak pernah terlihat lagi sejak saat itu.”

Aku merasa mataku melebar.

Milly? Dia setahun lebih tua dariku, dan berkali-kali lipat lebih menarik.

Fakta bahwa dia telah dipilih untuk menjadi bagian dari bisnis apa pun yang dilakukan Kaden sama sekali tidak mengejutkanku.

"Kenapa memberitahuku hal ini?" Aku bertanya kepada Ayah.

Aku selalu ingin tahu segala hal, tetapi aku tidak menyangka bahwa Ayah juga akan berpikiran hal yang sama denganku.

“Aku khawatir dia akan menculikmu. Setiap pagi aku sangat takut untuk masuk ke kamarmu, khawatir kalau-kalau dia menculikmu di malam hari.”

Aku menggelengkan kepalaku. Kemungkinan aku diculiknya sangat kecil.

Jika dia menculik gadis lain dari lingkunganku, itu berarti dia tidak akan kembali ke sini untuk setidaknya selama sebulan.

Ini adalah jenis permainan yang suka dia mainkan dengan orang-orang.

Dia membuat kami merasa aman, hingga dia mengubah pola berburunya dan mengejutkan kami semua sehingga menjadi kebingungan.

Ayah menggenggam tanganku dan menatap mataku dalam-dalam.

Apakah dia akan membuatku berdoa? “Kita semua bertanya-tanya mengapa dia melakukan ini semua, Mara. Aku berjanji, kami akan menemukan jawabannya, dan menghentikan kegilaan ini sesegera mungkin.”

Dia meremas tanganku sedikit.

Ayah bekerja di gereja lokal kami, hal ini yang membuatku percaya bahwa kemampuannya untuk menghentikan Kaden tidak terlalu bagus.

Pria yang sangat kami takuti adalah alpha dari kawanan yang terkenal tak memiliki belas kasihan sedikit pun.

Setelah Perang Besar yang memecah belah kawanan serigala ke seluruh penjuru daratan, bentuk baru dari kawanan dan kode moralitas diadopsi.

Berlandaskan dari keyakinan inti kami, setiap kawanan diwajibkan menjaga perdamaian dengan tetangganya, dan sistem ini terbukti berhasil selama berabad-abad.

Namun, dengan semua kawanan yang berada dalam satu kesetaraan dan keadilan yang sama, ada satu kawanan yang memutuskan memberontak untuk menghancurkan ketenangan kawanan lainnya.

Dan itu adalah Kawanan Pembalasan.

"Semuanya akan baik-baik saja," ujarku meyakinkan Ayah. "Alpha Rylan akan menyelesaikan semua masalah pada akhirnya."

Mendengar hal itu membuat ayahku tersenyum. Rylan adalah satu-satunya harapan kami untuk mengakhiri penderitaan ini. Jika dia tidak bisa melakukannya, maka kami tidak akan pernah punya kesempatan lagi.

Aku pergi dan memutuskan langsung tidur.

Ketika memasuki ruangan, hawa dingin menyapa kulitku. Tidak biasanya udara sedingin ini.

Aku menyalakan lampu dan melihat dari mana datangnya hawa dingin tersebut.

Ruangan ini kecil, dengan lemari yang sederhana, meja, dan tempat tidur. Tidak ada yang terlalu mencolok atau berlebihan.

Jendelaku yang terbuka lebar adalah penyebab ruangan ini terasa lebih dingin. Seingatku, jendela ini tak pernah terbuka seperti itu sekali pun.

Ibuku pasti akan membunuhku jika melihat tiraiku terbuka seperti ini pada malam hari.

Aku pasti akan dihukum jika dia tahu.

Ketika aku masih kecil, dia bahkan mulai menjemputku dari sekolah jika aku terlalu lama bermain dengan teman-teman.

Dengan hati-hati, aku pergi ke jendela.

Aku bisa mendengar derai hujan yang lebat di jalanan luar.

Ada badai yang akan datang, disertai dengan gemuruh guntur yang terdengar di kejauhan. Semakin cepat aku menutup jendela, semakin baik.

Aku segera menutup jendela dan kembali ke kamarku.

Tiba-tiba semburan hujan menghantam kaca dan membuatku terlonjak kaget. Aku selalu membenci guntur dan kilat...

Aku hanya perlu menenangkan diri dan pergi tidur, kataku kepada diriku sendiri sambil menarik tirai hingga tertutup. Kejadian yang menimpa Milly mulai memengaruhiku.

Aku melepas ikat rambutku dan masuk ke kamar mandi dalam. Mungkin jika aku mandi, aku bisa menghilangkan semua kecemasan yang ada di kepalaku ini.

Aku menyalakan air menjadi ekstra panas dan menanggalkan semua pakaianku.

Saat aku melangkah di bawah pancuran, aku terbawa ke dunia lain—dunia di mana aku tidak harus mendengarkan aturan orang lain sepanjang waktu.

Di mana orang tua tidak mendikte setiap keputusan yang aku buat.

Aku menyandarkan kepalaku ke ubin tembok.

"Mungkin aku ditakdirkan untuk Kawanan Kebebasan," bisikku kepada diriku sendiri. "Kawanan di mana aku bisa melakukan apa pun yang aku inginkan."

Aku sedang berpikir betapa bodohnya semua anganku ketika sebuah bayangan melintas di pandanganku.

Aku mengangkat kepalaku, terkejut. Dengan hati-hati, aku mengintip keluar kamar mandi dan melihat ke sekeliling.

Tidak ada apa-apa.

Sekarang aku merasa seperti orang konyol.

Aku keluar dari kamar mandi, dan mematikan airnya di belakangku.

Saat aku sedang mengeringkan badanku dengan handuk, aku mencoba untuk terus mengabaikan semua pikiran paranoid yang datang tiba-tiba.

Bayangan tadi itu mungkin hanya hasil imajinasiku saja. Aku dikenal memiliki imajinasi yang kuat.

Kaden bukanlah seseorang yang bisa memengaruhi imajinasiku.

Aku sepenuhnya menyadari semua ancaman yang dia berikan untukku dan keluargaku, tapi jujur saja, dalam keadaan normal, dia tak bisa membuatku takut kepadanya.

Namun, malam ini berbeda, entah kenapa, hawa dingin yang menari-nari di belakang punggungku mengacaukan semua asumsi dan keberanianku.

Dengan hanya mengenakan handuk, aku berdiri di depan cermin dan melihat pantulan diriku sendiri.

Aku terlihat sangat mirip dengan anggota Kawanan Kemurnian lainnya.

Rambutku terlihat cokelat saat basah, tapi sebenarnya berwarna pirang yang diredam.

Mata biruku lebih kusam daripada mata kebanyakan orang lainnya.

Kulitku lebih pucat, dan pipiku hampir tidak memiliki warna sama sekali.

Inilah alasan mengapa tidak ada anak laki-laki yang mau berkencan denganku. Selalu ada pilihan lain yang lebih baik dariku.

Meski begitu, aku masih mencintai diriku sendiri. Aku tidak punya pilihan lain.

Suara petir yang keras dari luar membuatku memekik pelan ketakutan dengan spontan.

Aku berterima kasih kepada Dewi Bulan karena tirai sudah menghalangi cahaya penuh dari kilatan petir.

Aku mengeringkan diri dan kembali ke kamarku, di mana aku segera berganti untuk pakaian malamku.

Tak lama kemudian aku mematikan lampu dan langsung naik ke tempat tidur dengan selimut yang ditarik sampai ke daguku.

Aku hanya ingin tertidur dan melalui badai ini hingga esok hari tanpa Kaden yang mengganggu pikiranku.

Namun, semakin aku mencoba untuk merasa nyaman di tempat tidur, semakin sulit rasanya untuk mengusirnya dari pikiranku.

Penglihatan batinku tertutup oleh bayangan-bayangan aneh.

Aku hampir saja terlelap tertidur karena suara hujan yang memercik di jendelaku, saat tiba-tiba aku merasakan sebuah tangan menutup mulutku dengan kasar.

Aku tidak pernah diajari bela diri, dan semua pikiran tentang apa yang harus aku lakukan sekarang meninggalkanku dengan cepat.

Akhirnya aku mengayunkan tanganku dengan liar, berusaha menghantam apa pun itu yang menggangguku, tapi genggaman orang ini sangatlah kuat.

Aku berjuang sekuat tenaga sambil berteriak dengan tangannya yang masih menutup mulutku, meski suaranya teredam, aku terus berteriak.

Aku menendang saat ditarik dari tempat tidurku. Aku merasakan seseorang menekan leherku dengan kuat. Untuk sesaat, kupikir aku akan mati karena tercekik.

Yah, aku tidak akan diam saja tanpa perlawanan!

Kakiku adalah satu-satunya senjata yang kumiliki.

Aku menyerang, mencoba meraih pergelangan kaki penculikku dengan susah payah. Namun, setiap kali aku mencoba, kakiku hanya bertemu dengan udara.

"Tenang saja. Semuanya akan segera berakhir.”

Suara laki-laki yang lembut itu adalah hal terakhir yang kudengar sebelum aku pingsan.

Next chapter
Diberi nilai 4.4 dari 5 di App Store
82.5K Ratings
Galatea logo

Unlimited books, immersive experiences.

Galatea FacebookGalatea InstagramGalatea TikTok