Mason - Book cover

Mason

Zainab Sambo

Bab 2

Hari pertamaku di Campbell Industry berjalan dengan luar biasa, sangat hebat sehingga aku berharap bisa mengulang kembali hari itu lagi dan lagi.

Pikirkan hal terbesar yang pernah terjadi kepadamu, sekarang kalikan seratus kali lipat. Itulah yang kurasakan.

Bisakah kalian memahami sarkasme dalam ucapanku?

Begitulah hari itu berlalu.

Aku tidak ingat kapan terakhir kali aku bangun untuk bersiap-siap bekerja, atau menjadi bersemangat dan gugup pada saat yang bersamaan.

Aku hampir tidak tidur tadi malam.

Pikiranku terus mengatakan bahwa aku akan bekerja untuk Mason Campbell. Pada titik tertentu, aku terus mencubit diriku sendiri, berpikir bahwa itu hanyalah mimpi.

Ketika aku memberi tahu Beth, sahabatku, dan teman sekamarku, dia malah mentertawakanku dan menyebutku pembohong.

Dia tidak percaya aku memiliki keberanian untuk bicara dengan Mason, bahwa aku tidak cukup penting untuk bertukar kata dengannya dan berada di hadapannya.

Dia pikir aku menemukan pekerjaan di tempat yang menjijikkan dan aku tidak ingin memberitahunya tentang hal itu, jadi aku terpaksa mengaku bahwa aku bekerja di Campbell Industry.

Aku akan berbohong bila mengatakan bahwa aku tidak terhina sama sekali oleh ucapannya.

Dia bicara seolah-olah Mason adalah Dewa yang tidak bisa didekati.

Namun, izinkan aku memberitahumu sesuatu, Mason bukanlah Dewa atau Malaikat.

Dia bukan seseorang yang akan memberikan permen kepada anak-anak dan mengucapkan kata-kata manis yang akan membuat siapa pun merasakan kehangatan di perut.

Dia adalah Setan.

Mason adalah seseorang yang akan merebut permen dari anak kecil dan memakannya di depan mereka.

Dia adalah seseorang yang akan mendorongmu ke depan mobil yang melaju.

Dia adalah seseorang yang akan mengatakan beberapa kata yang cukup untuk membuat siapa pun mengalami serangan jantung atau meninggalkan bekas luka di hati mereka.

Namun, ada satu hal baik tentangnya.

Sungguh tak bisa kusangkal bahwa dia adalah pemandangan yang indah.

Kenapa pria-pria yang tampan itu selalu kasar, dingin, dan tidak berperasaan? Aku bicara dari pengalaman.

Beberapa tahun lalu aku memiliki kekasih yang tampan, tapi dia berselingkuh.

Dia bilang aku membosankan dan terlalu menuntut. Keparat.

Oke, jadi mungkin itu bukan alasan yang cukup.

Namun, bagaimana dengan pria-pria tampan yang pernah kusenyumi dan mendapat tanggapan dingin sebagai balasannya, ya?

Bagaimanapun, Mason adalah keparat terbesar dari mereka semua.

Si berengsek itu langsung bilang bahwa aku tidak pintar. Dia berani mengolok-olok sekolahku.

Namun, semua itu tak seberapa dengan apa yang dikatakannya tentang aku yang tidak memiliki pengalaman sama sekali.

Aku hanya bisa membayangkan betapa buruknya bekerja untuknya.

Apakah mungkin suasana hatinya sedang buruk di saat itu? Mungkin dia benar-benar tidak seburuk itu dan aku telah salah menilainya.

Bagaimanapun dia sebenarnya, aku berniat untuk menjadi asisten terbaik yang pernah bekerja untuknya.

Aku tidak akan memberinya alasan untuk menyerangku dan mengejekku.

Aku bangun pagi-pagi, berpakaian dan memasang wajah beraniku yang bahagia.

Aku tidak repot-repot membangunkan Beth dan memberitahunya bahwa aku akan pergi karena dia mungkin akan mengatakan sesuatu yang tidak kusukai, jadi aku mengambil semua barangku dan meninggalkan apartemen kami.

Menurutku, pakaian yang kukenakan adalah yang terbaik yang dapat kutemukan di lemariku.

Aku bisa saja mengenakan gaun yang bagus untuk menghadiri acara pernikahan atau acara khusus, tetapi aku tidak percaya aku malah memakainya untuk bekerja.

Aku juga tidak bisa memercayai permusuhan yang kulihat ketika aku menginjakkan kaki di Campbell Industry.

Rupanya, sudah tersiar kabar bahwa aku adalah asisten baru si bos.

Sudah lama aku tak merasakan ini.

Mengabaikan beberapa tatapan tajam yang kudapat, aku menekan jariku yang berkeringat pada tombol yang akan membawaku ke lantai Pak Campbell.

Begitu pintu geser terbuka, aku melangkah keluar, langkahku dipenuhi kegugupan dan jika ia memiliki pikiran sendiri, maka ia akan melesat keluar dari sana dan meninggalkanku tanpa kaki.

Ketika aku menginjakkan kaki di gedung itu, aku tidak tahu ke mana aku harus melangkah.

Aku tidak bisa begitu saja masuk ke kantor Pak Campbell dan menuntut untuk memberitahuku di mana meja kerjaku.

Lagi pula, aku juga tidak berpikir dia ada di sini.

“Lauren Hart?”

Aku menoleh saat mendengar namaku dipanggil dan berhadapan dengan seorang wanita cantik.

Dia sangat cantik dan pakaian yang dikenakannya juga sangat bagus. Aku sungguh iri kepadanya.

Yang ingin kulakukan hanyalah menarik rambutnya dan merusak rok serta blusnya.

Aku ingin mengacaukan wanita ini dan aku tidak tahu kenapa.

Oh, aku tahu kenapa. Dia terlihat jauh lebih baik dariku.

Entah apa yang dilihatnya ketika dia menatapku.

Aku tahu apa yang kulihat ketika melihat diriku sendiri.

Dia tampaknya berusia dua puluh empat atau dua puluh lima tahun.

"Ya?" Aku menjawab dengan sopan. Bahkan tersenyum kepadanya.

Apakah dia tersenyum kembali? Tidak.

“Namaku Jade. Aku sedikit terkejut melihatmu di sini sepagi ini, meskipun itu hal yang baik. Pak Campbell tidak suka jika karyawannya datang terlambat untuk bekerja.”

Aku ingin mengatakan "Bukankah kau datang sedikit lebih awal dariku, wanita jalang?" tapi sebaliknya aku tersenyum lagi.

“Aku yakin tidak ada yang begitu. Untung aku selalu bangun pagi.

"Pak Campbell tidak perlu khawatir aku datang terlambat.”

"Hmm." Dia menganggukkan kepalanya saat mengunyah penanya dan memandangiku dari atas ke bawah, jelas tidak menyukai apa yang dilihatnya.

“Tidak ada yang memberitahuku seperti apa asisten baru Pak Campbell, tetapi aku harus mengatakan bahwa aku sedikit kecewa. Aku mengharapkan lebih dari yang kubayangkan. Namun, kurasa dia kasihan kepadamu.

“Jika aku jadi dia, aku juga mungkin akan merasa kasihan kepadamu.”

Aku ingin mencakarnya, membunuhnya, lalu menguburnya dua meter di bawah tanah, di mana mayat busuknya hanya akan menjadi tulang dan tengkorak.

Apakah bos dan karyawan di sini semuanya sama?

Mereka semua bersikap seolah-olah lebih baik dari semua orang.

Aku tersenyum lebar.

“Kurasa dia melihat apa yang tidak dilihatnya pada siapa pun. Aku pasti beruntung kalau begitu.”

Ekspresi membunuh di wajahnya memberiku sedikit kepuasan.

"Terserahlah. Ikuti aku dan aku akan menunjukkan mejamu.”

Aku mengikuti di belakangnya dengan cermat, mataku menatap tajam ke punggungnya.

Begitu dia berbalik, aku memasang senyum manis di wajahku.

Dia menunjuk ke meja yang di atasnya terdapat laptop putih.

Meja itu didorong jauh ke dinding, terletak di samping pintu ganda yang besar.

"Kau akan duduk di sini," katanya.

“Kau diperbolehkan meletakkan satu barang pribadi di mejamu karena Pak Campbell tidak terlalu suka bila ada banyak barang. Tugasmu adalah menjawab telepon dan menyelesaikan tugasnya.

"Kau mengerti?"

"Ya."

"Bagus. Selamat datang di Campbell Industry. Aku akan melihat berapa lama kau akan bertahan.”

Aku menggigit lidahku dan memaksa bernapas melalui hidungku.

"Aku jamin akan lebih lama darimu."

Aku melihat alisnya berkedut, tapi dia tidak mengatakan apa-apa. Dia pergi, meninggalkanku untuk terbiasa dengan mejaku.

Tiga puluh menit kemudian, Pak Campbell masuk seperti badai yang siap menyedotmu ke dalam pusarannya.

Wajahnya yang tidak menunjukkan emosi dan mata sedingin batu itu bisa mengenyahkan keberadaanmu.

Aku berdiri terpaku, tidak mampu mengalihkan pandanganku dari otot lengan, dada, dan kakinya.

Cara setelan Armani birunya menempel di tubuhnya seperti kulit kedua.

Ada gerakan mematikan dan pemangsa yang sempurna saat dia berjalan.

Jantungku berdebar-debar karena terpesona.

Dia adalah pria berkuasa, luar biasa dalam segala hal, dan hanya dengan melihatnya sekarang, kemuliaannya hampir membuatku berlutut.

Aku seperti baru pertama kali melihatnya.

Semua orang menganggukkan kepala tanda ucapan selamat pagi kepadanya, tetapi dia mengabaikan mereka dan berjalan melewati mereka semua dengan begitu anggun ketika dia pergi ke kantornya.

Dia sangat kasar.

Aku tinggal di mejaku selama beberapa menit sebelum mengumpulkan keberanianku dan mendekati ruang kerjanya.

Aku mengetuk pintunya. Sekali, dua kali, tanpa ada balasan apa pun.

Aku mengetuk lagi.

Dengan keras kali ini.

"Apa?!" Suaranya dalam dan menggelegar.

Rasanya seolah-olah bergemuruh di dalam gedung.

Aku menelan empedu yang naik ke tenggorokanku, memutar kenop dan mendorong pintu hingga terbuka.

Aku berjalan ke dalam ruangannya yang dingin dan menutup pintu di belakangku.

"Selamat pagi, Pak," sapaku, jantungku berdebar kencang.

Pak Campbell perlahan mengangkat kepalanya untuk melihatku.

Dia tampak lebih menakutkan daripada yang bisa kubayangkan, dan aku tidak bisa mengendalikan getaran yang mengguncang tubuhku ketika mata perak itu tertuju kepadaku.

Tidak ada yang familier dari tatapannya.

Aku menarik napas.

Tatapannya menjelajahiku, dengan gerakan yang hampir malas.

Aku bisa merasakan kebosanan. Aku bisa merasakan kekesalan.

Jarak yang hampir sedingin es membuatnya terpisah.

Mata kami tetap terkunci satu sama lain, untuk satu momen yang panjang dan menegangkan.

Seratus perasaan masuk ke dalam diriku saat itu juga. Seolah-olah segala sesuatu di dunia ini berdiri diam.

Pria ini... dia menakutkan. Dan aku mungkin secara tidak sengaja telah menjual jiwaku kepadanya.

"Ya? Apakah aku bisa membantumu?" dia menyalak.

Aku menatapnya, tidak bisa memahami apa yang dimaksudnya. Apakah aku tidak diizinkan datang untuk menyambutnya sampai dia membutuhkanku?

Sebelum aku bisa mengatakan sesuatu, dia melontarkan lebih banyak pertanyaan kepadaku.

“Bagaimana kau bisa sampai di sini? Siapa yang membiarkanmu masuk?” Dia menekan interkom dan bicara ke dalamnya.

“Siapa yang membiarkan wanita ini masuk?

“Apakah aku membayarmu untuk membiarkan orang asing masuk ke kantorku?! D—Dan kau malah bertanya wanita mana yang kumaksud? Kau dipecat!"

Dia meninggikan suaranya kepada pria malang yang menerimanya.

Itu adalah suara yang mewakili kematian mendadak bagiku.

“Tolong, Pak Campbell, kau mempekerjakan aku untuk menjadi asistenmu. Lauren Hart, ingat?” tanyaku dengan suara tercekat dan memohon.

Jantungku berdebar kencang dan sepertinya aku tidak bisa bergerak.

Naluri terdalamku memperingatkanku untuk tidak lebih jauh membuat marah orang ini.

Dia seperti badai yang tak kenal ampun, kekuatan yang tidak bisa diperhitungkan.

Mason mengangkat alisnya saat dia menangkapku, mengarahkan penanya kepadaku saat sadar.

“Kau terlihat sangat berbeda. Yah, tidak seburuk penampilanmu tempo hari, tapi ini adalah sebuah kemajuan.”

“Ya, Pak,” jawabku, berusaha menjaga nada suaraku tetap ringan dan sederhana.

“Aku akan mencoba untuk bisa menyesuaikan diri dengan harapan perusahaan ini.”

Akhirnya dia mengalihkan pandangannya dariku, dan menjawab, "Aku tidak melihat bagaimana itu bisa terjadi, Nona Hart."

Aku melihatnya mencoret-coret sesuatu di secarik kertas.

"Ambil ini." Aku segera bergerak untuk mengambil kertas itu darinya, jari-jari kami hampir bersentuhan dalam prosesnya jika dia tidak segera melepaskannya sebelum itu terjadi.

“Itu email dan kata sandiku.

“Balas semua emailku. Abaikan yang tidak relevan. Jangan menjadwalkan pertemuan tanpa berkonsultasi denganku terlebih dahulu. Jangan, dalam keadaan apa pun, Nona Hart, mempublikasikan emailku.

“Jaga agar emailku tetap pribadi. Jika aku mengetahui bahwa kau telah mendiskusikannya dengan siapa pun, baik itu keluargamu ataupun temanmu, kujamin, kau akan sangat menyesalinya.”

Jantungku mulai berdetak kencang, dan aku benci fakta bahwa dia bisa membangkitkan kecemasan ini dalam diriku. Dan dia melakukannya dengan sengaja.

Tentu saja begitu.

“Setiap pagi tepat pukul sembilan pagi, kau akan membuatkanku teh, bukan kopi. Aku suka teh hitam. Seharusnya tidak terlalu dingin dan terlalu panas.

Semua arsip yang perlu kutandatangani harus ada di mejaku sebelum aku tiba di sini.

“Kau tidak diperbolehkan memasuki ruang kerjaku, dan tak ada pengunjung yang boleh datang pada pukul 12 sampai 1 siang. Kau akan memesan makan siangku dari restoran Roseire. Ini hanya satu jam perjalanan dan aku tidak peduli bagaimana caramu sampai di sana. Minta saja pesanan biasaku.

"Ingatlah bahwa aku membutuhkan makananku dalam keadaan panas dan tersaji di mejaku pada pukul 2 siang. Jika ternyata makananku dingin, aku akan memotong gajimu sesuai dengan harga makanannya.”

Apakah dia serius?

Ya Tuhan, dia sangat suka memerintah.

Lihatlah dia duduk di sana, menyatakan perintahnya seperti memerintah bumi atau semacamnya.

Tuhan, jika orang ini memang menguasai dunia, maka sudah pasti kita semua akan hancur.

Aku belum menghabiskan waktu lama di hadapannya, tetapi aku tahu dunia akan menderita di tangannya.

“Apa kau mendengarkanku?” Dia tampak marah.

Kemarahan terpancar dari wajahnya, tatapannya melintasiku dengan kritis.

Sesuatu yang gelap berkedip di ekspresinya yang membuat perutku bergejolak.

Sambil mencerna semua ucapannya, aku menganggukkan kepalaku.

Matanya menyipit. “Kau tidak boleh hanya mengangguk. Kau harus bicara ketika kau diajak bicara, apakah kau mengerti?"

"Ya, Pak.” Aku menunduk sebelum menatapnya.

Ekspresi sengit di wajahnya membuatku ketakutan.

Dia melanjutkan dengan nada dingin dan tak kenal ampun.

"Aku mengambilnya sendiri untuk memberikan ini kepadamu." Dia melemparkan apa yang terlihat seperti buku panduan ke arahku. "Baca itu. Ikuti petunjuknya. Jika kau ingin berada di sini setidaknya seminggu.”

"Aku berjanji tidak akan mengecewakanmu," kataku pelan.

“Aku tidak peduli jika kau mengecewakan aku, Nona Hart. Aku akan senang melihatmu melakukannya. Itu hanya akan membuktikan apa yang kupikirkan tentangmu. Jangan berpikir kau telah secara resmi berhasil masuk ke Campbell Industry.

“Kau sedang dalam masa uji coba. Kesalahan apa pun akan membuatmu keluar dari sini lebih cepat daripada kedipan matamu. Seperti yang kukatakan, kau bukan satu-satunya yang ingin memiliki pekerjaan ini.

"Orang-orang dengan bakat lebih darimu." Dia menautkan jari-jarinya di depannya.

"Dan jangan pernah berpikir bahwa kau istimewa."

Dasar keparat.

Sebuah balasan muncul di bibirku, tapi dia membungkamku dengan tangannya yang terangkat.

“Itu saja.”

Aku berbalik dan diam-diam meninggalkan kantor.

Aku merasa seperti baru saja diberi tahu bahwa seseorang yang kukenal meninggal dunia dan aku sedang berduka atas orang tersebut.

Aku bahkan tidak tahu harus berpikir apa.

Aku tahu Mason Campbell adalah pria dengan banyak karakter, dan menjadi pria kasar adalah salah satunya, tetapi aku tidak pernah tahu bahwa dia sekasar ini.

Tanpa melakukan kontak mata dengan siapa pun, aku berjalan ke mejaku.

Aku duduk, menghitung satu sampai sepuluh sebelum mengalihkan perhatianku kembali ke panduan karyawan yang diberikannya kepadaku.

Aku mulai membolak-baliknya ketika mendengar bunyi batuk.

Aku mengangkat kepalaku dan menghadap Jade, yang memberiku ekspresi "Aku membencimu, tapi tidak ada yang bisa kulakukan untuk mengatasinya.”

"Ya?"

Dia memutar matanya.

"Aku seharusnya memberimu tur sialan, seolah-olah aku tidak punya hal yang lebih baik untuk dilakukan," dia mencibir, berbalik tanpa menungguku mengatakan apa-apa.

Aku menatap wujudnya yang melangkah mundur, bertanya-tanya kapan dia mulai PMS atau apakah sifat menyebalkannya selalu muncul secara alami? Apakah semua orang di sini memang begitu mengerikan?

Aku tidak ingat kapan terakhir kali menemukan diriku dikelilingi oleh orang-orang keji.

Bahkan sekolah menengah tidak seburuk ini, dan itu tentu sangat bermakna.

Nona wajah jalang ini mungkin mengira dia adalah salah satu orang yang lebih baik di perusahaan ini, orang yang akan menginjak kakimu apa pun yang terjadi dan orang yang beranggapan bahwa dia patut ditiru dan diikuti.

Yah, aku tidak akan membiarkan siapa pun menginjak-injakku.

Aku kembali mengarahkan pandanganku ke buku panduan, membuka halaman pertama.

"Kau tidak ikut?" Aku mendengar Jade membentakku.

Melirik wajahnya yang marah, aku mengangkat alisku.

“Oh, aku tidak tahu bahwa kau ingin aku mengikutimu. Seharusnya kau bilang begitu.”

Aku menutup buku panduan dan bangkit untuk mengikutinya.

Tiga puluh menit berikutnya berjalan dengan sangat membosankan.

Jade menunjukkan setiap ruangan di gedung itu dan aku tahu aku tidak akan mengingat semuanya karena aku tidak memberikan perhatian penuh kepada penjelasannya.

Aku hampir menari dengan gembira saat bisa duduk kembali di kursiku.

Akhirnya, tur itu berakhir.

Berada di hadapan Jade menyedot semua kebahagiaan kecil yang tersisa dalam diriku.

Tepat pukul 08.55, aku bergegas mengambilkan teh untuk Pak Campbell.

Aku berhenti sejenak, mencoba mengingat apakah dia memberitahuku berapa banyak gula yang diinginkannya di dalamnya, atau apakah dia menginginkannya sama sekali.

Aku mengambil risiko besar dan tidak memasukkan gula ke dalam tehnya.

Ini bisa menyelamatkanku atau malah mengeluarkanku dari perusahaan.

Ketika dia memberiku izin untuk memasuki kantornya, aku melakukannya dengan sangat tenang, sama sekali tidak merasa ketakutan.

Aku meletakkan secangkir teh di depannya dan menunggunya untuk menyuruhku pergi.

Pak Campbell meluangkan waktu untuk menyelesaikan pekerjaannya di laptopnya sebelum mengambil tehnya.

Aku menghela napas lega ketika dia tidak berteriak tentang kurangnya gula dalam tehnya.

"Kau boleh pergi," katanya dengan dingin.

Dia masih belum menatapku.

"Sama-sama, Pak," kataku, berbalik untuk keluar dari kantor.

Suaranya menghentikanku untuk bergerak.

"Apa yang baru saja kau katakan?" Ada ketidakpercayaan dalam nada suaranya, kemarahan. Gelombang kemarahan mengerikan yang membuat kakiku gemetar.

"Kau sedang menyindirku, Nona Hart?"

Aku menggelengkan kepalaku, mencoba menunjukkan saat yang tepat saat indraku meninggalkan tubuhku.

Aku tidak sedang menyindirnya. Bagaimana mungkin aku menyindirnya ketika aku tahu aku memiliki bos sepertinya?

Hanya insting yang membuatku mengatakannya.

"Aku minta maaf, Pak. Aku tidak bermaksud buruk.” Aku tidak bisa menghitung berapa kali aku meminta maaf sejak pertama kali aku bertemu dengannya.

Dan sesuatu memberitahuku bahwa aku akan lebih banyak meminta maaf di masa mendatang.

Dia menyipitkan matanya, mencoba menghancurkanku dan membuktikan bahwa ucapannya bahwa aku lemah dan tidak mampu menangani tekanan itu benar adanya.

Setidaknya, itulah yang kupikir dilakukannya.

"Kau boleh pergi."

Aku berlari keluar dari sana, bernapas dengan benar ketika aku keluar dari matanya yang melotot.

Terdengar suara tawa kecil dimulai dan aku berputar ke arah sosok itu.

Seorang pria tinggi kurus sedang menatapku, bibirnya melengkung membentuk seringai.

Dia memiliki rambut hitam pendek di kedua sisinya, dan jambul di tengahnya agak panjang dan berantakan.

Ketika dia melihatku sedang melihatnya, dia bergegas mendekatiku.

“Selamat,” suaranya yang dalam berkata dengan sedikit lelucon.

“Kau selamat dari dua kunjungan ke ruang kerjanya. Waktunya untuk merayakan.”

Aku hanya bisa tersenyum.

Satu, karena aku tahu dia mungkin mengatakan yang sebenarnya, dan dua, karena aku tahu aku akan menyukainya. Menurutku, dia terlihat berbeda.

Aku membungkuk sedikit untuk memberikan hormat kepadanya, yang malah membuatnya tertawa lagi.

Aku kemudian berkata, “Maukah kau mengukirnya dalam cangkir dan meletakkannya di mejaku?”

“Wah, pintar. Itu akan memberikan kepuasan sendiri. Aku suka itu."

Aku mengulurkan tanganku, senyumku semakin lebar.

“Aku Lauren. Lauren Hart.”

Pria berambut jahe melepaskan satu tangan dari cangkirnya dan menggelengkan kepalaku.

“Senang bertemu denganmu, Lauren. Aku Aaron Hardy. Sangat menyenangkan melihat seseorang keluar dari ruang kerja bos tanpa meneteskan air mata.”

“Bisa dibilang aku cukup pemberani.”

Dia mengangguk, memiringkan kepalanya ke sisi lain untuk mengamatiku.

“Atau bodoh. Kenapa kau mengambil pekerjaan ini?” dia bertanya, dan sebelum aku bisa menjawab, dia memotongku dengan seruan, “Aha! Sepertinya aku tahu!

“Ini karena gajinya, bukan? Karena selama ini selalu begitu.”

Aku memutar mataku. " Yah, memang seperti itu. Aku butuh uangnya.”

“Ah.”

“Kau sangat baik kepadaku. Bagaimana mungkin kau bersikap baik kepadaku? Semua orang membenciku atau belum membenciku. Mereka semua begitu tegang. Kenapa orang-orang di sini tidak bisa sedikit santai?”

Dia tertawa, bahunya bergetar. “Percayalah ketika aku mengatakan bahwa mereka iri kepadamu. Pak Campbell tidak mempekerjakan—maafkan pilihan kataku—seseorang sepertimu.

“Dia hanya suka karyawan yang berasal dari kelas tinggi, orang-orang yang tidak akan mempermalukan perusahaannya. Namun, mereka pikir kau mungkin spesial untuknya.”

Aku mendengus.

“Itu ucapan yang sangat bodoh. Dia membenciku."

“Dia membencimu sama seperti dia membenci semua orang. Jangan diambil hati.”

"Kenapa ya?”

"Dan untuk pertanyaan itu, Lauren sayangku, kami masih belum mendapatkan jawabannya," katanya, mengedipkan mata.

"Ayo kembali bekerja, atau tidak nanti harus tetap berada di kantor selama satu jam setelah bekerja."

Aku melangkah di sampingnya, tampak terkejut.

"Kau serius?"

"Tidak," jawabnya sambil menekan "k'. "Dia tidak seberengsek itu."

Aku berhenti berjalan, memberinya pandangan terbaikku, “Kau bercanda?” Dia berbalik dan mengangkat bahu.

"Oke, mungkin dia memang berengsek."

"Berengsek berkelas, jika kau bertanya kepadaku."

Seseorang berdeham dan aku membeku kaget, jantungku berputar 360 derajat.

Tawa Aaron-lah yang membuatku tersadar.

"Ya Tuhan," dia tertawa terbahak-bahak. “Kau seharusnya melihat wajahmu. Kau pikir itu dia.”

“Bukan?”

"Tidak, tapi kau harus berhati-hati dengan kata-katamu."

Seorang gadis berambut hijau tersenyum kepadaku, mengayunkan lengannya di leher Aaron.

"Apakah ini si gadis baru?"

Aku berdiri tegak, mendorong bahuku ke atas dan menatap lurus ke matanya.

Dia tertawa.

"Ya ampun, aku tidak menggigit," katanya, geli melihatku mencoba berdiri tegak.

Aku segera santai, berpikir bahwa dia tidak bermaksud jahat. Tidak ada tanda-tanda penghinaan. "Aku Athena."

Aku mengangkat alis.

Dia menyeringai. "Ibuku aneh."

“Lauren. Kau memiliki rambut hijau dan kau tidak dipecat.”

Aku tahu pasti bahwa Mason tidak akan pernah mempekerjakan seseorang dengan rambut hijau.

“Itu karena dia tidak bisa memecatku. Aku bibinya.”

"Apa?! Namun, kau tidak terlihat seperti—”

“23 tahun?” tanya Athena.

“Ya, banyak yang bilang begitu kepadaku. Dia lebih tua dariku, tapi aku bibinya, bla bla. Ibunya adalah saudara tiriku.”

"Wow." Aku yakin Mason hanya menunjukkan sikap baik kepada Athena saja.

Athena menatap wajahku yang bingung.

"Oh, Sayang, hanya karena aku bibinya, bukan berarti aku luput dari kemarahannya.”

"Ya, tapi kau seperti satu-satunya orang yang dihormatinya," kata Aaron.

Dia mengangkat bahu seolah itu bukan masalah besar. Aku tidak pernah berpikir Pak Campbell mampu menghormati siapa pun.

Egonya yang sangat besar sebesar bumi tidak akan mampu menangani hal seperti itu.

Untuk seorang pria yang menuntut rasa hormat ke mana pun dia pergi, itu adalah hal yang aneh untuk didengar.

“Ayo kembali bekerja.”

Aku menepuk bahu Aaron sebelum pergi ke mejaku.

Ada hari yang panjang dan menyakitkan di depanku.

Next chapter
Diberi nilai 4.4 dari 5 di App Store
82.5K Ratings
Galatea logo

Unlimited books, immersive experiences.

Galatea FacebookGalatea InstagramGalatea TikTok