Ratu yang Hancur - Book cover

Ratu yang Hancur

Danni D

0
Views
2.3k
Chapter
15
Age Rating
18+

Summary

Ariel adalah manusia serigala berusia 20 tahun yang bermimpi menjadi prajurit kawanan. Setidaknya, begitulah impiannya sampai dia diculik oleh Para Pemburu dua tahun lalu, dan dipakai menjadi subjek untuk eksperimen mengerikan. Dengan bantuan Dewi Bulan, akhirnya Ariel memperoleh kembali kebebasannya. Namun, menemukan jodohnya dan menata kembali hidupnya mungkin akan menjadi lebih sulit dari dugaan.

Rating Usia: 18+

Lebih banyak

90 Chapters

Hadiah dari Dewi

ARIEL

"Ayo, Ariel, tunjukkan kemampuanmu."

Lengan berotot Xavier melingkari tubuhku, dan dia mendorong punggungku ke dinding.

Aroma tanah dari tubuhnya membuatku merasa pusing, dan sulit bernapas saat dadanya yang lebar menempel di dadaku.

Aku kehilangan fokusku, tapi aku tidak bisa membiarkan itu terjadi.

Aku tidak boleh menyerah.

Aku harus membuktikan kemampuanku.

Dengan cepat, aku meraih pergelangan tangan Xavier, menariknya ke atas bahuku, dan memutar tubuhku—membalikkan pria itu hingga telentang.

Aku menyeringai. "Apakah itu yang ingin kau lihat?"

Kerumunan menjadi antusias—ya, kerumunan. Karena aku berada di tengah ujian terberat dalam hidupku, dan semua orang menunggu untuk melihat apakah aku akan bersinar di kesempatan ini, atau akan jatuh tersungkur.

Semua rekan satu timku menyemangati dari pinggir arena, berharap aku lulus ujian terakhir ini untuk menjadi prajurit kawanan seutuhnya.

Tiba-tiba, aku merasa kakiku dijegal dari bawah, dan aku mendarat di punggung, dengan keras.

Dalam sekejap, Xavier menimpaku—seperti benar-benar berada di atasku.

Aku hanya mengenakan bra olahraga, dan tubuh kami yang basah oleh keringat saling menempel saat dia menjepitku.

Dia membungkuk dan berbisik di telingaku. “Menyerah saja, Ariel. Jangan memaksa.”

Jantungku berdebar kencang, siap meledak dari dadaku.

Napas Xavier terasa panas di leherku. “Mungkin nanti kita bisa melakukan ini tanpa pakaian.”

Tangannya meluncur ke bawah perutku ke pahaku, mencengkeramnya erat-erat, dengan penuh hasrat.

Tubuhku menggeliat di bawahnya, mendambakan sentuhannya, menyerah kepada sensasi panas ini.

Menyerah adalah tawaran yang menarik, terutama mengingat betapa seksinya Xavier, tetapi saat ini ada hal yang lebih penting di pikiranku...

Aku menikmati ekspresi keterkejutan Xavier saat kuayunkan kakiku ke atas dan kulingkarkan di lehernya, membuatnya tercekik di dalam kuncianku.

Yang lebih penting lagi—menghajarnya.

"Sepertinya sekarang aku yang unggul,” bisikku.

Aku menekan pahaku sekencang mungkin, memastikan Xavier tidak bisa melepaskan diri.

Beberapa saat kemudian Xavier mengetuk tanah, menandakan dia menyerah.

Kerumunan pun bersorak-sorai, dan rekan-rekan setimku mengerumuni arena, melompat, berteriak, menyemprotkan minuman olahraga ke segala arah.

Aku menjatuhkan diri ke lantai, linglung. Apakah benar aku baru saja mengalahkan Xavier? Apakah aku sungguh menang?

Xavier bangkit lebih dulu dan mengulurkan tangannya. Aku meraihnya dan dia menarikku ke atas, langsung menuju dadanya.

“Bagus, Ariel. Hari ini, kau berhasil membuktikan diri sebagai prajurit sejati.”

Dia membungkuk, dan untuk sesaat kupikir dia akan menciumku, tapi kemudian—

Xavier menggeram pelan di telingaku. “Dan malam ini, kau akan membuktikan apakah dirimu layak menjadi alpha dengan cara lain.”

Tenggorokanku seakan tercekat jantungku sendiri, dan aku sungguh tidak bisa berkata-kata.

Oh, Dewi—Xavier menginginkan AKU?

***

Aku duduk di pinggir danau yang tenang, dinaungi kanopi pepohonan di atasku, dan kulepas sepatu botku, serta melemparkannya ke samping.

Kucelupkan kakiku ke dalam air dan menghela napas lega.

Kakiku menyiksaku. Pelatihan memang selalu menyiksa, tetapi itu benar-benar membuatku tangguh, dan hari ini, semua akhirnya terbayar.

Aku bukan lagi seorang calon anggota…

Hari ini, secara resmi aku sudah menjadi anggota prajurit kawanan.

Aku menatap bangga tato bulan sabit di bagian dalam lenganku—tanda seorang prajurit.

Kawananku, Kawanan Bulan Sabit, memiliki salah satu program pelatihan prajurit terbaik dan timku sudah bagaikan keluarga keduaku.

Kami menyebut diri kami "X-Squad" untuk menghormati pemimpin tim kami yang tak kenal takut, Xavier.

Sebenarnya, dia yang membuat nama itu, tapi menurutku itu cukup menarik.

Suara gerutuan dan geraman parau tiba-tiba menarik perhatianku ke dermaga terdekat.

Yang dibicarakan muncul…

Xavier sedang berlatih tarung dengan rekan satu tim kami, James.

Dia mengirimkan pukulan secepat kilat ke arah James, membuatnya oleng, lalu melompat ke udara dan mendaratkan tendangan tepat ke perutnya, menghempasnya jatuh terduduk.

Xavier perlahan melepas bajunya untuk memperlihatkan tubuhnya yang kencang dan lekukan otot-ototnya saat dia menyeka keringat dari tubuhnya yang berkilau.

Astaga, dia sangat bugar…

Xavier tersenyum sombong kepada James. "Kau memang sudah mendapatkan tanda bulanmu, tapi kau masih bukan tandinganku, Jamesy.”

Xavier mulai pamer, dan saat aku condong ke depan untuk melihat lebih jelas, aku hampir jatuh tertelungkup di danau.

Aku berhasil menjaga keseimbanganku tepat waktu, mendapati diriku menatap bayanganku di air.

Rambutku yang berwarna kastanya benar-benar berantakan, tapi mata kuning gelapku menonjol dari kotoran di seluruh wajahku.

Ketika aku masih kecil, Ayah selalu bilang bahwa mataku terlihat seperti bunga matahari, jadi dia mulai memanggilku bunga matahari kecilnya sampai aku memprotes julukan feminin tersebut.

Aku bukan bunga, aku seorang prajurit! Aku biasa berteriak marah.

Jadi, dia mulai memanggilku prajurit kecilnya, dan panggilan itu bertahan hingga sekarang.

Dari semua orang, aku tidak sabar memberitahukannya terlebih dahulu tentang diterimanya aku ke dalam program prajurit.

Aku tahu dia akan sangat bangga kepadaku.

ibuku, di sisi lain...

Dia berpikir bahwa tidak baik bagi anak perempuan menjadi prajurit. Dia selalu bilang aku harus lebih seperti adikku, Natalia.

Natalia tidak akan pernah terlihat dengan rambut kusut dan wajah kotor—penampilannya selalu begitu rapi dan sopan.

Ketika mendongak, aku melihat Xavier sedang menatapku dari dermaga. Aku langsung sadar diri, mencoba meluruskan simpul di rambutku.

Perkataan Xavier tadi masih segar di benakku, tetapi aku tidak yakin apa yang akan aku lakukan.

Kami belum menjadi jodoh, dan sebagian dari diriku ingin menunggu...

Namun, Dewi, dia benar-benar seksi. Dia menyeringai kepadaku, dan aku segera berbalik, malu.

Uh, kenapa aku terlihat sangat berantakan sekarang?

Aku selalu mengira Xavier menyukai tipe yang manis seperti adik perempuanku. Aku tidak pernah berpikir bahwa ~aku~ adalah tipenya.

Aku sungguh menyesal tidak mandi setelah sesi latihan, tetapi aku sangat bersemangat untuk mendapatkan tanda prajuritku.

"Untuk apa repot-repot," suara arogan tapi meyakinkan terdengar dari belakangku.

“Kau selalu terlihat seperti baru saja melawan sekawanan serigala—menyisir rambutmu dengan jari tidak akan mengubah itu.”

Oh, Amy, jangan pernah berubah.

Sahabatku, Amy, duduk di sebelahku dan menyenggol bahuku.

Aku terkejut kami bisa berteman baik, mengingat dia lebih mirip Natalia daripada aku, tetapi kami tidak terpisahkan sejak kecil.

“Aku sudah dengar beritanya! Kita harus keluar merayakannya!” katanya, sambil menendangkan kakinya ke dalam air, di sebelah kakiku.

"Jujur, aku lelah," kataku. “Kita mungkin harus menunda perayaan itu satu malam lagi.”

Ditambah lagi, aku mungkin punya rencana dengan Xavier malam ini…

"Wajahmu memang terlihat lebih merah dari gerhana bulan total," katanya ketika dia tiba-tiba melihat Xavier berparade di sekitar dermaga, bertelanjang dada. “Apakah itu karena latihan atau karena dia.”

"Aku tak mengerti apa yang kau bicarakan," kataku, wajahku menjadi hangat.

Tolong katakan kepadaku kau tidak menaksir orang bodoh berotot itu,” kata Amy, sambil menggelengkan kepalanya. "Kau tahu dia mendapat posisi ketua tim hanya karena dia calon alpha selanjutnya.”

“Dia juga petarung yang sangat hebat,” balasku, membelanya.

“Astaga, kau ingin dia menjadi jodohmu!” kata Amy, meledek. "Kau ingin melahirkan anak-anaknya, bukan?"

"Tidak!" Aku berteriak, memercikkan air kepadanya. “Aku sama sekali tidak berpikir begitu tentangnya! Satu-satunya hubungan yang kami jalin adalah teman satu tim.”

Tentu, teruslah katakan itu kepada dirimu sendiri.

"Kurasa kau akan tahu pasti saat usiamu 18 tahun beberapa bulan lagi," jawabnya, dengan mengangkat alis.

Manusia serigala hanya bisa mengenali jodohnya ketika mereka berdua berusia 18 tahun, jadi kemungkinan besar dia benar; jodohku bisa saja berada di dekatku selama ini.

Namun, beberapa serigala tidak pernah menemukan jodohnya…dan akhirnya kawin dengan serigala lain di posisi yang sama.

Membayangkan tidak menunggu jodoh sejati, itu membuatku sedih.

“Bayangkan saja—jodoh yang ditakdirkan untukmu, kemungkinan bisa siapa saja dalam kawanan ini,” kata Amy sambil menghela napas.

“Atau kawanan lain,” jawabku, mengoreksinya. “Jodoh tidak selalu berada di dekat kita. Meskipun jika Dewi berkehendak, kita tidak perlu mencari terlalu jauh.”

“Jika jodohku di suatu kawanan terpencil, di belahan dunia lain, kurasa mungkin aku akan pindah menganut agama baru,” kata Amy sambil menyeringai.

Kami berdua tertawa terbahak-bahak dan kembali berbaring di rumput. Saat langit menjadi gelap, bentuk bulan sabit menjadi jelas.

“Kurasa aku hanya perlu menunggu dan melihat takdir apa yang tertulis untukku,” kataku sambil tersenyum.

DUA TAHUN KEMUDIAN

Aku merasakan rantainya semakin erat, dan aku melawan keinginan untuk berteriak kesakitan. Belenggu perak menusuk pergelangan tanganku.

Kau mungkin mengira bahwa aku akan terbiasa dengan rasa sakitnya setelah dua tahun diperlakukan seperti binatang yang tidak berharga, menjadi percobaan sains, tetapi terkadang ini sungguh tak tertahankan.

Tahun pertama adalah yang terburuk…

Eksperimennya—menyuntikkan dosis mikro wolfsbane cair ke dalam pembuluh darahku dan menganalisis efeknya pada tubuhku. Juga sisi serigalaku.

Di awal, aku menyadari bahwa rasa terbakar yang mengalir melalui pembuluh darahku adalah wolfsbane yang melemahkan dan memutuskan hubunganku dengan sisi serigalaku.

Sudah setahun penuh aku terpisah dengan wujud serigalaku. Hanya bisa merasakan keberadaannya dengan samar jauh di dalam pikiranku, sedang merintih kesakitan dan sedih.

Tidak pernah dalam hidupku, aku merasa begitu sendirian seperti saat ini.

Mereka merenggut keluargaku…

Teman-temanku…

Juga serigala di dalam diriku.

Mataku mulai terpejam merasakan sakit yang teramat besar.

Aku merasakan tamparan keras di pipiku yang sudah memar.

“Jangan pingsan dulu. Hari ini baru saja dimulai.” Curt, pemimpin para pemburu, menancapkan kukunya yang kotor ke bahuku.

"Pergilah ke neraka," kataku, mengumpulkan sedikit perjuangan yang tersisa.

Mata abu-abu Curt yang dingin—walau terdengar aneh—adalah satu-satunya hal yang membuatku bertahan. Terpikir olehku untuk mencabut kedua mata itu dari kepalanya...

Aku sering teringat pertama kali aku melihat mata itu—di malam yang sama aku diterima di pelatihan prajurit.

Aku tertidur di tepi danau, dan ketika bangun, mata itu berada di atasku, melotot kepadaku dengan penuh kebencian.

Kawanan kami tidak pernah melakukan kekerasan terhadap umat manusia, tetapi itu tidak penting bagi para pemburu.

Mereka hanya ingin memberantas manusia serigala seluruhnya.

Namun, apa yang mereka inginkan dariku—mengapa mereka membiarkanku hidup untuk dijadikan eksperimen selama dua tahun—aku tidak tahu.

"Kurasa kau harus diajarkan untuk tahu diri, anjing kampung," kata Curt sambil mengambil jarum suntik berisi cairan perak.

"Tidak... TIDAK!" Aku berteriak saat dia menusuk kulitku.

Tulang belakangku mulai meregang, dan suara retak yang mengerikan bergema di seluruh ruangan saat tulangku patah.

Dia memaksa sisi serigalaku keluar, tetapi perak itu mencegah penyembuhan pada tubuhku selama transformasi.

Rasa sakitnya tidak dapat dibayangkan.

Aku merasa tulang rusukku menusuk paru-paruku dan darah keluar dari mulutku.

Bahkan, darah keluar dari beberapa bagian tubuhku saat tulang-tulangku menembus kulitku seperti mencabik-cabik.

"Sial, sial, sial!" Curt berteriak. “Sepertinya dosis yang kuberikan terlalu banyak! Medis! Cepat kemari!”

Aku sangat ingin melolong karena rasa sakitnya, tetapi yang bisa kukeluarkan hanyalah desahan parau yang menyedihkan.

Ruangan mulai terlihat kabur dan menggelap.

"Stabilkan dia!" Curt berteriak. ”Jangan sampai kehilangan subjek tes terbaik kita. Dia hampir sempurna!”

Saat kegelapan mereda, aku mendengar suara lembut dan halus…

“Jangan menyerah, anakku.”

***

Aku duduk di tepi danau lagi, seperti dua tahun yang lalu, tapi kali ini bukan Amy yang duduk di sebelahku, melainkan seorang wanita yang belum pernah kulihat sebelumnya.

Dia cantik dalam segala hal—mata biru pucat, rambut perak panjang terurai di punggungnya, dan kulit halus seperti susu yang hampir tampak bersinar.

Siapa wanita menawan ini?

“Halo, Ariel. Andai saja kita bisa bertemu dalam keadaan yang lebih baik,” kata wanita itu dengan hangat.

“Siapa…siapa kau? Dan bagaimana kau mengenalku?” Aku bertanya, bingung.

“Namaku Selene, meskipun ada beberapa dari mereka yang memanggilku Dewi Bulan,” jawabnya sambil tertawa lembut.

Oh Dewi, SANG Dewi Bulan. Astaga…

“Jangan gugup, anakku. Aku harus meminta maaf kepadamu.”

Dewi Bulan meminta maaf kepadaku? Kurasa aku tidak merasakan kehadirannya untuk beberapa waktu.

“Kau tidak seharusnya dibawa oleh para pemburu,” katanya dengan tenang, senyum hangatnya tidak pernah lepas dari wajahnya.

“Namun, kakak perempuanku, Fate, dia sangat pendendam dan dia punya rencana lain dalam benaknya. Kami sangat jarang bertatap muka.”

“Aku tahu perasaan itu,” kataku, memikirkan saudariku sendiri.

“Untuk memperbaiki kesalahan ini, aku menganugerahkan kepadamu hadiah—karunia penyembuhan.”

Selene mencondongkan tubuh ke depan dan mencium keningku. “Semoga kau bisa menyembuhkan rasa sakitmu sendiri...dan rasa sakit orang lain. Jadilah cahaya bagi mereka yang paling membutuhkannya.”

Saat Selene duduk kembali, dia meletakkan telapak tangannya di pipiku dan matanya berbinar.

“Satu hal lagi, Ariel. Ini bukan kehidupan yang kurencanakan untukmu. Kau harus melarikan diri dari tempat ini—dan menemukan jodohmu.”

“Jodohku? Tunggu, siapa jodohku?”

Aku merasakan kehangatan mengalir di tubuhku saat Dewi mulai memudar.

“Temukan dia, Ariel. Hanya kau yang bisa menyembuhkannya.”

***

Aku tersentak bangun, masih terbelenggu di meja operasi, meski ruangan kosong.

Apakah itu hanya mimpi aneh karena demam?

Saat kabut mimpi mulai memudar, satu hal menjadi jelas.

Seharusnya aku sudah mati.

Sebelum pingsan, seluruh tubuhku patah, tulangku menonjol keluar dari tubuhku, dan aku kehilangan begitu banyak darah...

Jadi, bayangkan keterkejutanku saat aku menjulurkan leher untuk melihat tubuhku yang babak belur, dan malah melihat bahwa...

Semua lukaku telah sembuh.

Next chapter
Diberi nilai 4.4 dari 5 di App Store
82.5K Ratings
Galatea logo

Unlimited books, immersive experiences.

Galatea FacebookGalatea InstagramGalatea TikTok