Berahi Tak Terkendali - Book cover

Berahi Tak Terkendali

Megan Blake

Bab Dua

OLIVIA

Dor! Dor!

Gedoran keras di pintu membangunkan Olivia dari tidurnya yang tidak tenang.

Dia berbalik di tempat tidurnya, seprai sutra putihnya mengumpul di pinggangnya, dan dia tengkurap. Olivia menepuk-nepuk wajahnya, mencoba mengusir rasa kantuk yang menempel padanya. Tadi malam sangat melelahkan.

Dia meninggalkan pekerjaan begitu saja—sesuatu yang akan membuatnya mendapat konsekuensi—dan dia mengurung diri di apartemennya.

Sang alpha—siapa pun dia—telah membuatnya sangat terangsang, dan dia harus memuaskan dirinya sendiri.

Itu cukup untuk memuaskannya tadi malam. Buktinya masih ada di tempat tidurnya; vibrator merah muda. Dia mengerang, menggenggamnya sebelum melemparkannya ke laci nakas yang terbuka.

Gedoran di pintu terus berlanjut.

"Ya," bentaknya, jengkel.

Kakinya mendarat di lantai kayu yang dingin dan dia meraih sweter terlalu besar yang dibuang di lantai.

Dia mengenakannya, menariknya sampai melewati bokongnya dan menuju pintu depan. Demi Tuhan. Dia mengayunkan pintu terbuka, alisnya menyatu saat pintu mengungkapkan penyusup itu.

"Will," katanya dengan napas rendah.

Mata cokelatnya mengamati Olivia dari ujung kepala sampai ujung kaki, seringai tersungging di bibirnya. "Apakah ada orang lain di sini atau kau seperti ini untukku?" tanya Will, menunjuk pakaiannya.

"Lucu," katanya sambil menyingkir. "Aku ingin tahu apakah Jess akan menganggapnya lucu juga."

"Kau tahu aku bercanda," katanya, menutup pintu di belakangnya. “Namun, aku serius. Ada orang di ranjangmu?”

“Aku menjauh dari orang-orang selama periode ini. Kau tahu itu." Memang, Olivia hampir tidak melakukannya tadi malam, tapi itu bukan salahnya. Bagaimana dia bisa tahu akan ada alpha di UGD yang siap menerkamnya?

Dia tidak bisa disalahkan untuk itu, kan?

“Ada saatnya tidak.” Ada kilatan di mata Will, singkat, tetapi sulit dilewatkan, terutama karena pandangannya tertuju kepada Olivia.

Will adalah yang pertama baginya.

Dia adalah seorang beta, diusir dari kawanannya ketika orang tuanya meninggal. Ibunya terlahir sebagai manusia, ayahnya adalah manusia serigala sejak lahir. Dia pergi dan tinggal bersama kakek-nenek dari pihak ibu setelah mereka meninggal.

Will sangat mirip dengan Olivia, serigala yang tidak pada tempatnya. Olivia mempelajari apa yang sedikit dia ketahui tentang kehidupan barunya dari Will.

Will sudah banyak melupakannya karena dia masih sangat kecil saat pindah ke rumah kakek-neneknya.

Namun, Will memang mempunyai insting lebih kuat daripada dia. Will selalu menjadi manusia serigala—tidak seperti dia. Pada usia 25 tahun, Will beberapa tahun lebih tua darinya, dia telah mengalami masa berahi pertamanya jauh sebelum Olivia.

Namun, Will ada di sana ketika Olivia mengalami masa berahi pertamanya. Dan Will mengambil keperawanannya. Olivia memang sedikit menyukainya. Olivia bisa jujur ke​​pada Will, dia bisa menjadi dirinya sendiri tanpa syarat.

Will adalah orang yang menemukannya pertama kali dia berubah. Will membawanya kembali ke rumahnya dan membantunya melewati masa transformasi.

Begitulah cara mereka bertemu. Jika bukan karena Will, Olivia mungkin telah menyakiti seseorang—atau mati.

Will telah menyelamatkan hidupnya dan dia akan selalu berutang kepadanya untuk itu. Dia telah membimbingnya sebaik mungkin, terkadang memperlakukannya seperti anak kecil.

Olivia tidak pernah menyesali apa yang terjadi.

Tidak menyesali kali pertama mereka berhubungan intim, tidak juga beberapa kali setelahnya. Memang tidak pernah benar-benar menenangkan gairahnya, tetapi itu cukup.

Setelah pertama kali mereka tidur bersama, Olivia hampir mengharapkan sesuatu terjadi di antara mereka setelahnya, tetapi tidak pernah terjadi. Will kembali ke peran temannya, seolah-olah tidak menidurinya malam sebelumnya.

Beberapa hari pertama, Olivia merasa canggung, tetapi Will menjelaskan kepadanya bahwa serigala tidak selalu berperilaku seperti diri mereka yang biasa selama masa berahi.

Mereka berada di mode otomatis, beberapa membiarkan insting mengambil alih lebih dari yang lain.

Will adalah tipe serigala itu. Dia tidak punya pengendalian diri yang terbaik karena tidak ada yang mengajarinya.

Olivia punya kontrol lebih karena dia punya sisi manusia lebih kuat.

Mungkin itu yang membuatnya tetap mengenakan celananya kemarin…

"Itu dulu," dia memutuskan untuk menjawab. Sejak Jess masuk ke dalam hidupnya, mereka tidak pernah tidur bersama lagi.

Ada beberapa kesempatan di mana dorongan itu membuat mereka hampir melakukan kesalahan, tetapi mereka tidak pernah melewati batas. Olivia tidak akan pernah memaafkan dirinya sendiri jika mereka melakukannya. Will dan Jess adalah kawanannya, keluarganya.

Hanya mereka yang dia punya di dunia ini.

"Benar."

"Kurasa kau bersenang-senang tadi malam."

Will tertawa. "Ya." Dia mengangkat pandangannya, menatap kamar tidur Olivia melalui pintu yang terbuka.

"Dan aku menebak dari laci yang terbuka bahwa kau juga bersenang-senang."

Rasanya asyik mengalihkan perhatian Olivia dari kesenangan hebat yang hampir dia alami. Namun, dia tidak akan menceritakan itu kepada Will. Benarkah? Namun, kepada siapa lagi dia bisa menceritakannya, siapa lagi yang bisa dia tanyai?

Hanya ada Will. Dia akan sangat marah… Dialah yang memperingatkannya tentang alpha, mengajarinya tentang mereka… “Will—dengar…”

Kedua alisnya menyatu. “Aku tidak suka nada itu…” potongnya.

"Aku bekerja tadi malam."

“Selama masa berahi?”

“Ya… aku—aku harus membantu Cassie.”

“Itu bukan tindakan cerdas.”

“Aku tahu… Boleh kuselesaikan ceritaku?”

Will mengangguk, melipat tangan di depannya.

“Baiklah, baiklah, maaf.”

Baiklah. Ceritakan sekaligus. Dia bisa cerita kepadanya. ~Cepat ceritakan, Olivia.~ “Ada seorang alpha di UGD.” Olivia mengalihkan pandangan darinya, fokus kepada ujung sweternya yang tiba-tiba begitu menarik.

"Seorang alpha?"

"Ya."

Emosi menutupi matanya yang gelap, rahangnya terkatup sesaat sebelum seluruh tubuhnya tenang. "Liv, apa kau bercinta dengan alpha?"

Olivia menginjak-injakkan kakinya ke lantai, berbalik, memamerkan gigi tumpulnya kepadanya. "TIDAK. Aku sudah katakan kepadamu. Aku tidak melakukan apa-apa tadi malam.”

"Kau di tengah-tengah masa berahi, dengan alpha, dan kau tidak bercinta?" Will mengangkat alis, jelas tidak percaya.

"Tidak." Olivia menghela napas, lubang hidungnya melebar. "Terjadi begitu cepat—kupikir dia memang mencoba—tapi aku lari."

"Kau lari dari alpha?"

"Ya. Kau ingin aku mengulangi semuanya?”

"Dan dia membiarkanmu?"

“Apa maksudmu dia membiarkanku? Aku bukan barang.”

“Omega yang sedang berahi? Kau bisa saja dianggap barang baginya, Liv. Kau tidak mengerti, ya? Alpha melakukan apa yang mereka inginkan, mengambil apa yang mereka inginkan.

“Alpha dari kawanan lamaku membunuh orang tuaku dan kemudian menyingkirkan aku. Mereka melakukan apa yang mereka inginkan dan tidak peduli.”

Will mengacak-acak rambut dengan jari-jarinya. “Aku sudah memberitahumu ini jutaan kali. Aku bahkan tidak tahu kenapa dia membiarkanmu pergi.”

"Mungkin dia tidak menginginkan omega yang terlahir sebagai manusia."

Will pernah memberitahunya bahwa serigala memandang rendah orang-orang yang tidak dilahirkan dengan cara ini atau mereka yang punya darah campuran seperti dirinya. Tidak ada kebanggaan menjadi manusia serigala. Kau harus terlahir sebagai manusia serigala.

“Aku tidak berpikir itu penting baginya. Dalam pergolakan berahi? Seorang alpha akan bercinta dengan apa pun—siapa pun.”

“Yah, nyatanya dia melepaskanku. Kau mau aku bilang apa?”

"Dia menyentuhmu?"

Jika Olivia tidak tahu situasinya, dia akan berpikir dirinya mendengar sedikit kecemburuan dalam suara Will.

Namun, tidak mungkin. Karena Will bisa memilikinya, tetapi tidak menginginkannya—dan Olivia tidak bisa menyalahkannya. Ada terlalu banyak masalah nantinya. Risikonya terlalu besar, kehilangannya terlalu banyak. Ditambah lagi, dia bahagia dengan Jess… kan?

"Sedikit."

Olivia tidak akan membahas itu. Dia sudah mengatasi patah hati awal itu sejak lama. Bukan salahnya jika Olivia menempel kepadanya karena Will adalah satu-satunya yang dia miliki setelah transformasi mengerikannya.

"Sedikit?"

"Ya. Oke. Dan aku bilang tidak kepadanya, tapi—”

"Tapi apa?"

Telinganya menjadi merah, dadanya mengembang saat dia mencondongkan kepalanya ke depan. Apa Olivia akan mengatakannya dengan lantang?

"Rasanya seperti aku mengatakan ya..." Olivia tidak berlari cukup cepat. Dia tidak melawannya.

Dia membiarkan alpha itu menyentuhnya, membiarkannya mengambil lebih dari yang dia inginkan.

Memikirkan tangan pria itu pada dirinya lagi sudah cukup untuk membawa kehangatan dalam dirinya. Bagaimana bisa ini terjadi?

Will menepuk bagian belakang lehernya, memutar kepalanya ke samping. "Alpha cukup sulit untuk ditolak."

Will membiarkan pembunuh orang tuanya mengusirnya tanpa perlawanan—hanya karena alpha memerintahkannya.

Olivia tidak pernah tahu tarikan alpha, tekanan yang disebabkan perintah mereka terhadap pikiran seseorang. Will telah mengatakan kepadanya bahwa itu tak terlupakan, tapi Olivia tidak mengerti sampai sekarang.

Will mengatakan itulah alasan dia tidak pernah bergabung dengan kawanan lagi. Dia tidak ingin seseorang punya kuasa seperti itu atas hidupnya, atas keputusannya.

Will ingin bebas dan satu-satunya cara untuk melakukannya adalah dengan terbebas dari segala jenis alpha.

Kadang-kadang dia merindukan punya kawanan lebih besar, panggilan sama seperti yang Olivia miliki, tetapi derita yang tidak pernah hilang di hatinya selalu mengingatkannya bahwa dia lebih baik tanpa kawanan besar.

"Yah, mudah-mudahan aku tidak perlu bertemu dengannya lagi."

Alpha tidak akan mengejarnya, kan? Olivia bukan siapa-siapa. Selain fakta bahwa dia bekerja di rumah sakit, pria itu tidak tahu apa-apa tentang dia. Tentu saja dia tidak akan membalas dendam. Olivia tidak menyakitinya, dia tidak melakukan apa-apa.

Yah—mungkin dia telah melukai egonya sedikit, tetapi tidak seorang pun kecuali mereka yang tahu itu.

Bukannya alpha itu harus membuktikan dirinya superior atau semacamnya. Dia mungkin punya sekawanan wanita yang siap ditiduri olehnya.

Alpha itu tidak membutuhkan Olivia.

"Apakah mereka sungguh kejam?"

"Bagaimana menurutmu?" katanya, kemarahan menetes dari setiap kata-katanya.

Will telah memengaruhi Olivia untuk takut kepada mereka.

Olivia tahu bahwa sebagai manusia serigala, menghindari mereka dan kawanannya adalah hal terbaik. Dia menjaga dirinya dikelilingi oleh manusia karena serigala jarang melarikan diri dari wilayah kecil mereka. Mereka tidak bergaul dengan baik dengan manusia.

Jelas, mereka perlu menjalankan tugas, berinteraksi—beberapa punya pekerjaan, menurut Will—tetapi sebagian besar membatasi kontak.

Itu membuat Olivia mudah berbaur dengan manusia.

Membuatnya melupakan apa yang terjadi kepadanya pada malam amat penting itu, membuatnya berpura-pura bahwa dia tidak berubah selamanya. Satu gigitan—hanya itu yang diperlukan untuk mengubah hidupnya.

Dan tidak ada seorang pun yang bisa memperbaiki kerusakan itu.

Hanya dia dan kehidupan barunya.

"Maaf. Aku tahu apa yang mereka lakukan kepada keluargamu.”

"Mereka sangat kejam." Dia menghela napas. "Mungkin kau harus mengambil cuti beberapa hari."

"Will, aku tidak bisa melakukan itu."

“Katakan kau sakit. Dia mungkin sedang mengintaimu. Mereka menyukai tantangan. Tunggu beberapa hari sampai dia pergi, dan kemudian kembali.”

Olivia meletakkan tangan di pinggulnya. “Kau sungguh berpikir dia akan menungguku? Kupikir dia punya hal lain untuk dilakukan selain menguntit rumah sakit manusia.”

"Kenapa dia bisa ada di sana?"

Kilasan malam sebelumnya membanjiri pikirannya. Daging telanjang, tangan besar mengepal di tubuhnya… Ingatan yang salah, Olivia. Darah—lukanya. “Dia terluka.”

"Dan dia datang ke rumah sakit?"

Will mengerucutkan bibirnya. “Rumah sakit manusia,” jelasnya.

Olivia mengangkat bahu. "Aku tidak tahu—"

“Itu tidak biasa. Dia tidak akan pernah mengekspos dirinya seperti itu.”

"Aku tidak tahu. Bukan aku yang menerimanya. Seharusnya ada riwayat… berkas… sesuatu.”

Di berkas akan ada namanya atau nama apa pun yang dia beri tahukan kepada mereka—jika dia berbicara. Kadang-kadang pasien memberikan informasi sangat sedikit, bahkan jika diperlukan untuk menyelamatkan hidup mereka.

Bukannya Olivia bisa sungguh memercayai apa pun yang pria itu beri tahukan. Namun, tak ada salahnya diperiksa. Olivia tidak terlalu memikirkan kehadirannya di sana sampai sekarang. Jika Will curiga… mungkinkah seorang alpha liar? Dia juga tidak memiliki kawanan?

Itu akan membuatnya lebih berbahaya.

"Bisakah serigala yang terlahir sebagai manusia menjadi alpha?" tanya Olivia, matanya mencari jawaban negatif.

"Aku meragukan itu. Aku belum cukup banyak mengetahuinya, tetapi aku akan terkejut. Dan bahkan jika mungkin, siapa yang mau mengikuti mereka?”

"Benar." Mereka tidak akan mengikuti alpha seperti itu—jadi mungkin pria itu akan mengasingkan diri. Bagus, sekarang Olivia perlu mencari tahu lebih banyak tentang dia. “Aku bisa kembali dan—”

"Tidak."

Will mencengkeram pergelangan tangannya, ibu jarinya menekan titik nadi. "Aku sudah bilang. Menjauh.”

Mata cokelatnya berkilauan dengan emosi yang tidak bisa Olivia kenali, tetapi kata-katanya berdenyut di dalam dirinya. Apakah rasa takut? Dia menelan ludah dan mengangguk.

“Baiklah, aku akan menunggu.” Mungkin.

Olivia pikir Will terlalu berhati-hati. Olivia tidak menyakiti siapa pun. Kenapa dia ingin tahu? Selain itu, apa yang akan pria itu lakukan? Menyerang Olivia di tempat ramai?

Alpha itu tidak akan bisa menyakiti Olivia di tengah rumah sakit. Ditambah lagi, jika alpha itu mencoba mengikutinya, Olivia bisa kabur. Pria itu akan kehilangan minat dengan sangat cepat.

Will menggelengkan kepalanya, desahan berderak dari dadanya.

“Kenapa aku tidak percaya kepadamu?”

“Karena kau mengenalku?”

“Terlalu mengenalmu.”

Will belum melepaskan tangannya. Jari-jarinya semakin erat melingkari pergelangan tangannya, kehangatan menyebar ke seluruh tubuh Olivia. Terkadang, OIivia bisa mengingatnya.

Mengingat tubuhnya yang besar di antara kedua kakinya, bagaimana rasa saat Will memompanya. Will kasar saat pertama kalinya, tetapi Olivia tidak mengeluh.

Mereka berdua menginginkannya, insting mereka yang mendorong. Olivia adalah serigala pertama yang Will tiduri.

Itu pertama kalinya Will meniduri seseorang yang tidak dia khawatirkan akan sakit. Ketika bersama Jess, Will harus mengendalikan dirinya karena wanita itu manusia.

Mereka melalui masa-masa bersama tanpa beban, mengabaikan semua demi kebutuhan sendiri.

Jantung Olivia berdetak kencang dan dia memaksakan pandangannya kembali ke lantai. Dia tidak bisa membiarkan kepalanya memikirkan itu. Ini bukan dia.

Dia tidak berkhayal tentang pacar orang lain. Dia tidak akan pernah mencuri pacar wanita lain. Dan dia menyukai Jess—mereka berteman.

Kemudian lagi, dia bertanya-tanya apakah Jess masih akan membiarkan Will berada di dekatnya jika Jess tahu masa lalu mereka.

Will memilih untuk tidak memberitahunya. Olivia sangat menentangnya, tetapi Will yakin bahwa persahabatan mereka harus berakhir jika Jess tahu. Jess tidak akan membiarkan mereka dekat lagi.

Memikirkan kehilangan sahabatnya memang memilukan, tapi—berbohong? Dia tidak pernah menikmatinya. Tetap saja, ini bukan hubungan asmaranya, dan tidak peduli seberapa besar rahasia itu menggerogoti dirinya, dia membiarkan Will yang memutuskan.

Dia hanya berharap Jess tidak mengetahuinya sendiri. Itu akan jauh lebih buruk.

Keheningan yang tak tertahankan di antara mereka dipecahkan oleh suara dering ponselnya.

Will akhirnya mengalihkan pandangannya dari Olivia saat mengeluarkannya dari sakunya. Dia membawa ponsel ke telinganya, senyum muncul di wajahnya. "Hai, Sayang." Dia berhenti. "Ya, dalam perjalanan." Dia tertawa. "Aku juga mencintaimu."

“Jess?”

"Ya. Aku harus—aku harus pergi. Namun, berjanjilah kepadaku kau tidak akan melakukan hal bodoh?”

"Aku berjanji."

Dia mengangguk. “Dan jika kau melakukannya, setidaknya hubungi aku sebelum kau dalam masalah?”

Dia memang mengenalnya sedikit terlalu baik. “Baik, Ayah.”

"Aku hanya mengkhawatirkanmu, Liv."

"Aku tahu. Terima kasih."

Will melepaskan cengkeramannya dan membiarkan tangan Olivia jatuh ke dalam kekosongan. Kulit yang sebelumnya tersentuh jari-jarinya kini terasa dingin, dan dia menahan keinginan untuk meraihnya lagi. Dia bukan miliknya.

Namun, sepertinya Will bisa merasakannya. Dia berhenti, membalikkan tubuhnya sehingga bisa bersandar ke depan, dan mencium puncak kepala Olivia.

Tolong, dengarkan sekali ini saja. Aku tidak ingin sesuatu menimpamu.”

Kata-kata tersangkut di tenggorokan Olivia, dan satu-satunya cara dia bisa menjawabnya adalah dengan menganggukkan kepala. Inilah kenapa dia setuju berbohong bahkan ketika itu membuatnya merasa tidak nyaman. Will selalu menjaganya, selalu melindunginya.

Temannya ini menginginkan yang terbaik untuknya.

Will memberinya senyum kecil sebelum berbalik dan berjalan pergi, ponselnya tergenggam di tangannya. Dia akan menemui Jess. Tentu saja; wanita itu segalanya bagi Will. Seperti seharusnya.

Olivia melihat pintu menutup, meninggalkannya sendirian di apartemen kosong. Jika menarik napas dalam-dalam, dia masih bisa mencium aroma Will yang tersisa. Itu tidak baik.

Seolah emosinya tidak cukup untuk menghancurkan dirinya—dia tidak membutuhkan ini. Inilah sebabnya dia membenci masa berahi.

Mengingatkannya kepada hal-hal yang ingin dia lupakan, hal-hal yang tidak boleh dia pikirkan.

Lebih buruk lagi, ada dua orang yang terjebak di kepalanya sekarang dan dia tidak menginginkan keduanya. Kenapa dia tidak bisa menjernihkan pikirannya?

Satu kesalahan dan hidupnya menjadi seperti ini.

Olivia dengan cepat mengamati ruangan, mencari celana. Dia menemukan celana olahraga hitam tergeletak di sofa dan menghampirinya. Dia mengenakannya lalu dengan cepat mengikat rambutnya menjadi sanggul.

Dia tidak ingin tinggal di sini. Dia membutuhkan udara segar dan pengalih perhatian.

Mungkin Will benar, mungkin dia tidak harus pergi bekerja, tetapi dia harus keluar dari sini.

Dia mengambil tasnya dari gantungan baju di dekat pintu dan melarikan diri dari apartemen. Membanting pintu hingga tertutup di belakangnya dan meraba-raba kuncinya sejenak sebelum akhirnya menguncinya.

Will seharusnya sudah kembali ke mobilnya sekarang dan seharusnya tidak ada risiko bertemu dengannya.

Olivia berjalan ke lift dan menekan tombol turun.

Saat melangkah mundur, menunggu pintu terbuka, dia tidak bisa mengusir perasaan takut yang menjalar di tulang punggungnya. Sepertinya dia bisa merasakan tatapan seseorang padanya.

Olivia menggelengkan kepalanya, mengabaikannya karena dia menjadi gila dengan kejadian baru-baru ini. Namun, dia meraih tombol lagi dan menekannya beberapa kali. Dia mengetuk-ngetukkan kakinya ke tanah, menggumamkan kutukan pelan. "Ayolah."

Dari sekian banyak hari, lift bodoh ini memutuskan rusak pada hari ini.

Firasat itu semakin kuat dan terlepas dari upaya terbaiknya, Olivia mendapati dirinya menoleh, melihat sekeliling. Tidak ada siapa-siapa, tidak ada apa-apa.

Bahkan saat dia mencoba melihat ke ujung lorong, dia tidak bisa melihat bayangan. Tidak ada seorang pun. Dia sendirian.

Ini semua salah Will. Olivia bahkan tidak pernah menyangka ada alpha mungkin mengejarnya.

Will adalah orang yang menempatkan paranoia ini di kepalanya. Baik-baik saja. Bagaimana bisa pria itu tahu di mana Olivia tinggal? Alpha itu tidak mungkin mengikutinya pulang. Tidak, tidak. Semua baik-baik saja. Olivia sendirian dan menjadi gila. Sudah cukup.

Dia perlu menghilangkan perasaan itu dan mengeluarkan kata-kata Will dari benaknya. Alpha itu tidak peduli. Jika peduli, dia tidak akan membiarkannya pergi sejak awal.

Pintu akhirnya terbuka dengan bunyi “ting” dan kelegaan melanda dirinya.

Dia buru-buru melangkah masuk. Dia menekan tombol dan kemudian bersandar ke dinding lift. Dia melihat pintu, menunggu untuk menutup. Kenapa begitu lama?

Dia mengunyah bibirnya, menyeimbangkan dari ujung kaki ke ujung jari kakinya. Ayolah. Ayolah. Akhirnya, pintu mencicit, menutup di depannya, menghalangi pandangannya dari lorong.

Dan kemudian pintu berhenti.

Dia terkesiap, napas tercekat di tenggorokannya saat pintu tetap terbuka tidak lebih dari satu inci.

Untuk waktu yang begitu singkat sehingga ketika dia berkedip, hilang sudah, dia berani bersumpah telah melihat jari-jari mencengkeram celah pintu, membiarkannya terbuka.

Namun, kemudian, tidak ada yang terjadi.

Tidak ada yang masuk.

Pintu tertutup seolah-olah tidak pernah menghentikan gerakannya.

Ini hanya khayalanmu, katanya kepada dirinya sendiri. Jika seseorang menghentikan pintu, akan terbuka kembali sepenuhnya, bukan? ~Ya~.

Dia memaksa dirinya untuk menelan ludah, jantungnya berdetak seperti genderang. Perutnya melompat dan firasat itu anehnya terasa tidak asing.

Mungkin dia memang harus merasa paranoid?

Dia menekan banyak naluri serigalanya, tetapi beberapa instingnya hampir tidak akurat selama bertahun-tahun. Mungkinkah instingnya salah lagi? Atau serigalanya menuntunnya ke jalan yang salah?

Persetan dengan janjinya.

Dia harus pergi bekerja dan mencari tahu tentang alpha itu.

Untuk berjaga-jaga.

Next chapter
Diberi nilai 4.4 dari 5 di App Store
82.5K Ratings
Galatea logo

Unlimited books, immersive experiences.

Galatea FacebookGalatea InstagramGalatea TikTok